Indonesia sungguh diberkati, dimana Tuhan menampakkan
secuil surga-Nya di banyak titik di seluruh penjuru nusantara. Dan salah satunya
yang masuk dalam kategori 7 Hidden
Paradise di Indonesia versi On The Spot (beserta Raja Ampat, Pulau Derawan dan
lain2) yaitu Sawarna.
Setelah hanya mendengar namanya
saja sejak bbrp tahun lalu, dengan bermodalkan Field Trip Report para bloggers
petualang, akhirnya kali ini saya merancang perjalanan menuju tempat tersebut.
Rasanya hampir semua blog yang menceritakan Sawarna habis saya ubek-ubek, demi
tidak menyia-nyiakan waktu liburan kami -orang2 kantoran- yang sangat singkat.
Akhirnya Jum'at malam selepas jam
kantor dan jam lembur (soalnya baru berangkat jam 8 lewat), ke-12 'bolang
jadi-jadian' ini berangkat menuju salah satu ujung pesisir selatan Pulau Jawa tsb dengan menggunakan Isuzu Elf carteran.
Sawarna sebetulnya bisa ditempuh
dari dua jalur, melalui Pelabuhan Ratu atau Serang. Dengan alasan menghindari
jalur Pelabuhan Rati yang medannya cukup ekstrim, supir kami memilih melewati
Serang, meskipun dia sendiri juga belum pernah mencoba jalur tsb. Nanti tanya2
saja di jalan, pikir kami (meski baru saya sadari kemudian bahwa pikiran tsb
terlalu naïf).
Perjalanan malam melalui Serang
memang tidak dianjurkan karena relatif sepi, minimnya penerangan dan fasilitas
umum di sepanjang jalan. Dan ternyata betul kata orang bahwa jalan menuju surga
itu tidak mudah. Kami sempat nyasar dua kali dan berpuluh kilometer terbuang
sia-sia. Untungnya ini jaman canggih dan kami dipersenjatai dengan smartphone
dan tablet yang bisa akses GPS mengunakan
Google Map sehingga praktis, pak supir cuma mengikuti arahan penunjuk
jalan dari para penumpangnya (hadeuuhhh….apa nggak kebalik tuh ??).
Akhirnya, hampir setengah tujuh
pagi kami baru memasuki kawasan desa wisata Sawarna yang terpencil ini. Gagal
sudah daftar pertama dalam itinerary kami, yaitu hunting sunrise di Lagoon
Pari.
Memasuki perkampungan Sawarna
diawali dengan melewati jembatan gantung yang terkenal itu. Jembatan ini
maksimum bisa dilewati 10 orang. Itupun bergatian dengan sepeda motor yang juga
melewati jembatan yang goyang pinggulnya cukup yahud ini. Usai menyeberang,
kami dimintai retribusi 3000 rupiah
sebagai biaya pemeliharaan jembatan tersebut.
|
Jembatan gantung menuju Sawarna |
Tiba di homestay, saya dibuat kecewa
dengan lokasinya yang sangat tidak bagus. Padahal saya sudah booking homestay
yang banyak direkomendasikan tsb jauh2 hari sebelum lebaran. Dengan dalih
homestaynya penuh dan pengunjung yang sudah booking bbbp bulan sebelumnya kami
diberikan rumah baru sederhana namun di lokasi yang tidak seperti bayangan
saya, yaitu dengan view persawahan sebagaimana ditawarkan banyak homestay di
Sawarna. Namun untungnya rumahnya cukup bersih dan kamar mandinyapun bersih.
Setelah menaruh barang dan sarapan
di rumah pemilik homestay, maka dimulailah petualangan bolang alias 'bocah
ilang' ini.
Saudara pemilik homestay ini
memandu kami menuju destinasi pertama, yaitu Goa Lalay. Untuk menuju goa
tersebut, kami harus kembali ke jalan utama dan melewati jembatan gantung lagi.
Seluruh perjalanan ini kami tempuh dengan berjalan kaki. Mengingat kelelahan
teman2 di trekking kali ini- terutama cewek2nya-, saya cukup menyesal mengapa kami
tidak menggunakan mobil saja hingga kita berbelok dari jalan beraspal menuju
persawahan.
Melewati persawahan, kebun kebun,
menyeberangi jembatan gantung dan parit2 adalah bagian dari trekking kali ini.
Dengan diiringi dayang2 kecil, anak2 yang tinggal di dekat lokasi goa lalay,
akhirnya sampailah kami di muka goa kelelawar
tersebut.
|
Trekking menuju Goa Lalay
|
Pintu Masuk
Goa Lalay |
|
Tujuan berkutnya yatu Lagoon Pari.
Jalur trekkingnya lumayan berat
karena harus naik turun jalan berbukit. Pokoknya nggak kalah sama Ninja Hatori
yang mendaki gunung-turuni lembah dehhh….
|
Trekking dari Goa Lalay menuju Lagoon Pari |
Di kelelahan kami, dari arah muka mulai terdengar suara debur ombak. Dan
akhirnya kami tiba di Lagoon Pari, the hidden beach. Yaa…pantai ini betul2
tersembunyi. Ketika kami disana saja, selain dari beberapa nelayan dan kedai2
kecil penjual kelapa muda dan makanan ringan, rombongan wisatawan yang ada
yaitu cuma rombongan kami. Berasa seperti private beach gitu..dehh….Kelapa muda
menjadi pelepas dahaga dan lelah kami dalam perjalanan ke Goa Lalay dan Lagoon
Pari.
Pantai Lagoon Pari ini pasirnya
putih dan ombaknya tenang. Sayangnya
kami sudah kesiangan sampai disitu, padahal saya ingin sekali berenang. Namun
keindahan pantai ini tidak dilewatkan begitu saja oleh para 'model dadakan'
dalam rombongan kami.
|
gaya favorit pantai |
|
|
the models (pict-nya kecil-kecil aja ya..takut dilirik agency :p) |
|
Dari Lagoon pari kami menuju
Karang Taraje. Antara Lagoon pari dan Karang Taraje ini terdapat spot spot
karang berlubang di tengahnya. Ada
ikan ikannya juga loohhh…..
Segera saya ceburkan tubuh yang
mulai lelah ini ke bath tub alami tersebut. Dan tindakan saya tidak salah
karena air yang terjebak di kubangan tersebut rasanya dingin, seperti air
sungai. Padahal di pinggiran kubangan tsb airnya hangat.
|
bath tub alami |
Di dekat Karang Taraje terdapat
bongkahan batu2 besar dan tebing yang menarik untuk dijadikan obyek foto.
Puas mengambil foto di Karang
Taraje, kami kembali pulang ke homestay melalui Lagoon Pari dan terus menyisir pantai
ke arah barat melewati Karang Beureum.
Dan di perjalanan pulang inilah
puncak keletihan para bolang jadi-2an ini. Betis-betis yang mulai protes sejak
naik-turun bukit dari Goa Lalay betul2 susah diajak kompromi, terutama bagi
cewek-2nya. A'a guide mengajak kami berbelok kearah daratan, mengambil jalan pintas dan tidak
melewati Tanjung Layar. Mengingat kelelahan teman2 langsung saja saya iyakan ajakannya,
karena Tanjung Layar memang sudah saya rencanakan akan kami kunjungi sore hari dan
keesokan harinya (akhirnya kami tidak sempat kesana sore harinya karena
kelelahan).
Namun ternyata yang disebut jalan
pintas-pun, tidaklah semudah yang dibayangkan. Di tengah terik matahari tsb
kami harus melewati jalan yang sedikit berbukit dengan kondisi jalanan berpasir
tebal. Untungnya sebagian besar rombongan kami memakai sandal gunung.
Bagi kami yang bukan anak gunung,
sungguh melelahkan perjalanan pulang menuju homestay ini. Di puncak kelelahan,
kami mulai berhalusinasi. Ada
yang minta istirahat dan langsung merebahkan tubuhnya di pasir yang penuh bebatuan, ada yang menceracau tidak karuan dsb
(lebaydotcom). Saya sendiri menyanyikan Hymne Pramuka ingat jaman kepanduan di
sekolah dasar dulu :)
Akhirnya kami sampai juga di rumah
pemilik Homestay dan segera menunaikan
hak para cacing di perut yang ikutan
protes. (o..iyaa..meskipun kami cukup kecewa dengan lokasi tempat menginap
kami, tapi masakan pemilik homestay ini muantabb lho……)
Sore harinya, selepas istirahat
kami berjalan jalan menyisir pantai Ciantir, namun tidak sampai ke Tanjung
Layar karena masih kelelahan. Dari pantai Ciantir ke Tanjung Layar terdapat
spot karang yang ditumbuhi semacam lumut atau vegetasi laut yang hijau bak
permadani terhampar di tepi laut.
Setelah itu kami kembali ke
Homestay untuk makan malam.
Demikian lah perjalanan kami hari
pertama di Sawarna.
Memasuki hari kedua di Sawarna
saya bangun pagi pagi dan bersama dua orang teman menuju Pantai Ciantir untuk
menikmati sunrise dan suasana pagi di pantai Sawarna. Sayangnya spot yang
terbaik untuk melihat sunrise di Sawarna yaitu di Lagoon Pari. Meski gagal
hunting sunrise di Lagoon Pari di hari pertama, namun jelas tidak ada diantara
kami yang mau kembali ke Lagoon Pari mengingat kelelahan fisik selepas
perjalanan di hari pertama masih terasa hingga sekarang.
|
sunrise at Ciantir Beach |
Dari Pantai Ciantir, kami kembali
ke rumah pemilik homestay untuk sarapan. Setelah sarapan agenda kami berikutnya
yaitu ke Tanjung Layar yang berjarak sekitar 700 m dari homestay. Saya
menyemangati teman2 yang masih kecapean setelah perjalanan kemarin untuk ikut
semua ke Tanjung Layar. Tanjung Layar merupakan salah sati ikon Sawarna. Kita
belum dibilang ke Sawarna kalau belum mengunjungi dan mengambil foto di Tanjung
Layar.
Menurut hasil surfing di
internet, Tanjung Layar yang berupa
karang raksasa berbentuk seperti layar perahu tsb bisa kita dekati di pagi
hari. Dan inilah salah satu alasan utama saya ke tempat tsb di pagi hari selain
pagi hari tempat tsb akan relatif sepi. Paling tidak di pagi hari orang2 yang
malas bangun pagi belum akan tiba disana dan makin menyulitkan kami dalam
mengambil foto2.
Dari kejauhan kedua karang raksasa
ini tampak biasa saja, sebagaimana banyak saya lihat gambarnya di internet.
Namun begitu didekati…..ckckckkck…..Subhanalloh….betapa
indah dan eksotisnya tempat tersebut.
|
Tanjung Layar |
Hamparan gugusan karang membentang lebar sebagai akses kita mendekati
kedua karang raksasa tsb. Di sebelahnya lagi terdapat benteng karang yang mirip
seperti di Karang Taraje dan Karang Beurueum yang mengalirkan air seperti air
terjun ketika diterjang ombak yang besar.
Puas mengambil gambar di Tanjung
Layar, kami beristirahat dan minum kelapa muda yang rasanya lebih enak daripada
kelapa muda di Lagoon Pari kemarin. Setelah memuaskan dahaga, kami segera
kembali ke pantai Ciantir untuk habis-habisan bermain air di hari terakhir ini,
disebabkan siangnya kami harus segera kembali ke Jakarta. Kabarnya pantai ini merupakan surga
para peselancar dari mancanegara. Namun sewaktu saya kesana sepertinya saya
hanya melihat seorang surfer. Dan memang ada bule Australia bersama keluarganya yang
kebetulan menginap di salah satu homestay yang dimiliki pemilik homestay kami
saya lihat sedang bersiap surfing ketika kami kembali ke homestay. Kemungkinan
bulan ini bukan musimnya bule-bule surfing di Sawarna.
Di pantai ini sebetulnya tidak
dianjurkan berenang karena ombaknya yang besar. Namun demi memenuhi hasrat
untuk bermain air, maka kami semua menceburkan diri ke laut.
|
enak bener..main di pantai yang bersih |
|
paus-paus terdampar di Sawarna |
Setelah puas bermain air dan ombak
di laut, kami segera kembali ke homestay untuk mandi dan bersiap kembali menuju
Jakarta.
Setelah berpamitan dengan pemilik homestay, kami segera kembali pulang ke Jakarta.
Rute yang kami ambil dalam perjalanan pulang kali
ini melewati Bayah-Malimping-Gunung Kencana-Rangkas Bitung-Serang untuk
menghindari jalanan yang rusak di jalur Saketi-Malimping yang kondisinya banyak
yang rusak. Lagi-lagi GPS menjadi andalan kami, karena jalur ini menurut saya
lebih panjang dari jalur waktu perjalanan berangkatnya.
Aahhhh…Sawarna yang penuh warna…
Tetaplah seperti itu...dan jauhi
tangan tangan kapitalis yang ingin menjamahmu.
Cuma kesederhanaan pendudukmu dan
kearifan lokal-lah yang akan membuatmu tetap bersinar, meski cerita indah tentangmu
hanya terdengar dari mulut ke mulut...
.