Purnama diatas Selat Peleng |
Purnama memantulkan kemilau peraknya di riak gelombang laut, mengiringi perjalanan kami menyeberangi Selat Peleng untuk kemudian memasuki Teluk Bangkalan menuju Salakan, kota pelabuhan sekaligus ibukota Banggai Kepulauan.
Perahu kayu raksasa ini lumayan penuh muatannya, bukan cuma mengangkut penumpang saja, namun juga dipergunakan sebagai alat transportasi berbagai komoditas dagang yang menghubungkan masyarakat di Banggai kepulauan dan Banggai daratan.
Setelah sekitar empat jam mengarungi samudera, kapal merapat di Salakan. Waktu menunjukkan kurang lebih pukul satu dinihari. Segera suasana hiruk pikuk di pelabuhan menyergap, menyambut langkah pertama kami di Pulau yang mungkin namanyanya saja tidak cukup dikenal oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pulau lumayan besar ini bernama Pulau Peling a.k.a Pulau Peleng
Setelah sekitar empat jam mengarungi samudera, kapal merapat di Salakan. Waktu menunjukkan kurang lebih pukul satu dinihari. Segera suasana hiruk pikuk di pelabuhan menyergap, menyambut langkah pertama kami di Pulau yang mungkin namanyanya saja tidak cukup dikenal oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pulau lumayan besar ini bernama Pulau Peling a.k.a Pulau Peleng
Pada Sebuah Kapal (kayak judul sebuah novel..hehe.. ) |
Sebetulnya ini adalah kali yang kedua saya menginjakkan kaki di Salakan. Namun di kesempatan yang pertama, saya cuma punya waktu hanya satu jam karena harus segera kembali lagi ke Luwuk.
Beruntung salah seorang teman kami (inisialnya Y-A-N-A) memiliki kerabat di Salakan, tak jauh dari pelabuhan sehingga kami bisa menumpang istirahat di rumah beliau. Sebagian diantara kami melanjutkan tidur yg terinterupsi perjalanan yang harus ditempuh dengan jalan kaki dari pelabuhan. Sebagian kecil-termasuk saya-malah asik mengobrol sampai terdengar azan subuh, membahas kondisi politik terkini dan masa depan negeri ini (berattt… eeuuyyy……..).
Saat asik ngobrol tiba2 terdengar suara rintihan, seperti suara rintihan perempuan. Anehnya suaranya datang dari ruang tengah. Padahal cewek-2 tidurnya di kamar. Kami yg masih terjaga dan mendengar suara tsb cuma senyum-senyum.
“Ngorok….”, kata Om Yul.
“Siapa yg ngorok ?“, tanya saya.
“Bang Roz”, jawab Pak Hagung.
“Oooo…….”
Paginya Bang Roz Komplain. Dia semalam “tindihan” (fenomena seperti tubuh dibebani sesuatu, ingin banget bangun tapi nggak bisa). Bang Roz sangat berharap ada yg dengar dan membantunya bangun.
“Koq ngga ada yg bangunin aku sih. Aku berharap banget ada yg denger dan berusaha ngebangunin”, katanya.
“Ya maappp…., kirain ngorok beneran, Bang… HaHaHa……
Sepulang sholat subuh di masjid dan hari mulai terang, kami baru menyadari bahwa komplek perumahannya meskipun sederhana namun tertata rapih. Jalan yang mulus dan lebar dilengkapi dengan selokan di kedua sisi jalan. Sebuah perencanaan konsep pemukiman yang cukup matang.
Setelah semua bangun dan sarapan roti selai, kami segera berangkat menggunakan mobil sewaan menuju Bulagi Selatan, tempat obyek wisata Lalanday.
Berhubung supir yg kami sewa belum sarapan dan sekalian bungkusin nasi untuk kami, akhirnya kami berhenti dan nyari nasi kuning dulu di pasar Salakan. Sambil nungguin si supir nyari nasi kuning, kami bersantai santai dulu…
Jalan menuju Bulagi cukup mulus secara merata, meski relatif sempit dan berkelok kelok, seperti halnya jalur Trans-Sulawesi. Namun kondisinya jauh lebih baik daripada jalur Trans Sulawesi di Banggai daratan.
Menginjakkan kaki di Banggai Kepulauan seperti membawa kami ke masa silam. Masa sebelum era modernisasi yang membawa budaya materialistis dan hedonis melanda negeri ini. Tak banyak kendaraan lalu lalang disini. Tak banyak pula bangunan berlantai lebih dari satu. Masyarakatnya hidup sederhana dengan mengandalkan mata pencaharian dari sektor kelautan dan perkebunan.
Sepanjang perjalanan, kendaraan bermotor yang berpapasan dengan kendaraan kami bisa dihitung dengan jari. Sepi banget, kaannn ?
Menginjakkan kaki di Banggai Kepulauan seperti membawa kami ke masa silam. Masa sebelum era modernisasi yang membawa budaya materialistis dan hedonis melanda negeri ini. Tak banyak kendaraan lalu lalang disini. Tak banyak pula bangunan berlantai lebih dari satu. Masyarakatnya hidup sederhana dengan mengandalkan mata pencaharian dari sektor kelautan dan perkebunan.
Sepanjang perjalanan, kendaraan bermotor yang berpapasan dengan kendaraan kami bisa dihitung dengan jari. Sepi banget, kaannn ?
Kurang dari dua jam menempuh jalan darat dari Salakan, kami tiba di Lalanday, sebuah obyek wisata di Bulagi Selatan. Obyek wisata ini sebetulnya lumayan fasilitasnya. Jalannya bagus dan dibuat ada gazebo gazebo untuk tempat istirahat. Namun karena kunjungan wisatawan ke Pulau ini sangat sedikit, otomatis tempat ini sepi pula dari wisatawan.
Panorama Lalanday |
Siapa yang menyangka di bawah air yang tenang ini arusnya begitu kuat |
Obyek wisata Lalanday merupakan tempat pemandian air tawar yang berbatasan langsung dengan laut.
Setelah menceburkan diri saya baru menyadari bahwa arus dari sumber air tawar yang mengarah ke lautnya cukup kuat dan tidak terlihat dari permukaan karena dari atas terlihat sangat tenang.
Ini sebuah pengalaman baru buat saya, berenang diantara campuran air tawar dan air asin.
Di dalam air, percampuran kedua jenis air yang berbeda berat jenis itu seperti air gula yang kita aduk untuk membuat minuman. Suhunyapun berbeda drastis. Kadang saya merasakan hangat (seperti biasanya berenang di laut), dan tiba2 berubah menjadi dingin seperti ketika mandi di sungai.
Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, tempat pertemuan air tawar dan air laut biasanya merupakan kerajaan siluman. Kalo emang bener, koq pinter banget silumannya ya..milih tempat yg secantik ini…hihihi…
Sebuah ketinting kecil lumayan menghibur kami untuk dipakai bersampan bergantian.
Yang perlu dicatat adalah arus yang cukup kencang tersebut bisa menimbulkan kepanikan ketika berenang, karena berat sekali untuk kembali ke tepian dikarenakan kencangnya arus di bawahnya yang mengarah ke laut meskipun kelihatan tenang di permukaannya.
Setelah puas dan mandi bilas di kolam air tawar, kami segera meneruskan perjalanan kembali ke Salakan. Di perjalanan kembali ke Salakan, kami mampir di dua spot wisata yaitu air terjun Patukuki dan Pantai Teduang.
Air Terjun Patukuki dan Pantai Teduang |
Setelah makan siang di Salakan (banyak rumah makan sederhana di sekitar pelabuhan), kami sempatkan mengunjungi Monumen Trikora. Rupanya Salakan ini pernah menjadi tempat berkumpulnya (meeting point) kapal kapal perang RI saat peristiwa Pembebasan Irian Barat. Jalan masuk ke monumen ini melalui sebuah lapangan sepak bola dan di bagian bawahnya terdapat relief yg menggambarkan persiapan penyerangan.
Diatasnya sedikit, terdapat monumen dengan daftar nama namal kapal perang RI yang ikut serta dalam operasi militer tersebut. Untuk mencapai Tugu Trikoranya sendiri kita harus menaiki anak tangga yang lumayan tinggi. Lumayan capek deh, buat yg jarang olahraga seperti saya…hehehe…
Tiba di puncaknya kita bisa melihat pemandangan kearah laut. Barangkali ini maksud dari pembuatan tugu ini di tempat yang cukup tinggi. Supaya kita bisa membayangkan saat saat Pelabuhan Salakan dipenuhi oleh kapal kapal perang RI yang dulu cukup ditakuti oleh Belanda.
Tiba di puncaknya kita bisa melihat pemandangan kearah laut. Barangkali ini maksud dari pembuatan tugu ini di tempat yang cukup tinggi. Supaya kita bisa membayangkan saat saat Pelabuhan Salakan dipenuhi oleh kapal kapal perang RI yang dulu cukup ditakuti oleh Belanda.
Monumen Dan Tugu Trikora |
Andaikata bangsa kita bisa kembali seperti itu, sebagai bangsa yang memiliki harga diri dan disegani bangsa asing. Semoga perjuangan merebut tanah Papua yang sangat dramatis dan menewaskan Komodor Yos Sudarso itu dapat kita bayar dengan menjaga agar tanah Papua tetap berada dalam bingkai utuh NKRI. Sebab menurut sumber yang saya baca, penguatan armada maritim sehingga menjadi armada terbesar di Asia pada waktu itu menggunakan dana pinjaman luar nergeri yang sangat besar (dengan kondisi devisa yang belum cukup) yang kelak menimbulkan gejolak inflasi.
Setelah puas dan berfoto2, kami berpamitan ke keluarga Yana dan segera kembali ke pelabuhan dengan menumpang kapal cepat ke Luwuk. Dengan kapal cepat, kami hanya butuh waktu satu setengah jam ke Luwuk.
Kapal Cepat - ada pramugarinya lohhh... |
Selamat tinggal Pulau Peleng. Potret daerah2 di pulau Jawa di tahun 80-an (kata Om Ikhwan, loohh…)
Lansekapmu yang elok berupa kombinasi pegunungan dan pantai sungguh menyejukkan hati. Ahh…andaikata pulau ini letaknya tak jauh dari tempat tinggal saya (ngelamun lagi).
Namun kalau dipikir-pikir, biarlah pulau elok ini tetap berada disini.
Jauh dari jangkauan tangan2 kapitalis rakus di pulau besar bagian selatan Indonesia sana.
lupa ngitung, berapa banyak tangga kita naik ke monumen Trikora..?? pada ngoss semua jadi ngga ada yang ngitung termasuk saya... (Roz)
ReplyDeleteIyaa...ngga diitung ya bang Roz. Pokoke lumayan bikin ngosh ngosh..
ReplyDeleteMakasih udah posting ttg kampung aq (lalanday)
ReplyDeleteizin share yah
Sama sama. Makasih udah berkunjung
DeleteSilahkan aja kalo mau dishare..