Untuk kesekian kalinya PM (dulu Provoost-Red) Halim memberhentikan kendaraan saya ketika akan berangkat ke kantor melewati Halim. Tentu saja, tanpa stiker khusus saya tidak diperkenankan memasuki daerah yang jalan-jalannya bukan merupakan jalan untuk umum tersebut.
Alasan saya harus melewati Halim untuk route berangkat ke kantor cukup sederhana saja sebetulnya.
Pertama, tentu saja menghindari kemacetan akses ke Jakarta dari arah Pondok Gede dengan melewati komplek AURI yang lengang.
Kedua, siapapun mafhum bahwa Halim merupakan satu dari sedikit paru-paru Jakarta yang masih tersisa. Sejenak memanjakan paru-paru sendiri, tentu boleh dong.
Faktor ketiga, nostalgia kenangan akan lingkungan dan atmosfir tempat saya melewatkan sebagian besar dari masa kecil dan remaja saya (cailee…mentang-mentang habis reunian SMP di Halim..hehe..)
Kembali ke Pak PM, beliau berkata,”Mau kemana Pak?”
Saya jawab,”Saya warga Dwikora Pak” (menyebut nama sebuah komplek di dalam Kelurahan Khusus Halim tempat keluarga saya dulu tinggal selama lebih kurang dua puluh tahun) seraya menyebutkan kata “mantan/eks” dalam hati untuk sedikit menghapus rasa bersalah saya. Dan saya pun segera dipersilahkan melewati pos pemeriksaan dan melanjutkan perjalanan.
Tiba-tiba, segera benak saya melayang ke sebuah tempat di padang Kurusetra kancah tempat berkecamuknya perang kolosal Baratayudha.
Alkisah, untuk menghentikan sepak terjang Begawan/Resi Durna (Drona), sang guru dan penasehat Kurawa, pihak Pandawa menggunakan sebuah strategi yang bisa dibilang agak licik. Dibuatlah sebuah issue yang mengabarkan bahwa Aswatama, putra kesayangan sang resi telah gugur di medan perang. Dengan demikian diharapkan sang begawan akan kehilangan semangat hidupnya begitu mendengar kabar kematian putranya.
“Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalu berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha” (sumber kutipan : Wikipedia)
Konon, karena “kebohongan kecil” yang berakibat besar tersebut Yudhistira alias Puntadewa mendapat ganjaran dari para dewa secara langsung. Sebelumnya, karena tidak pernah berbohong Yudhistira mendapatkan reward yakni roda kereta perangnya tidak pernah menyentuh tanah alias terbang diatas tanah. Namun setelah kebohongan tersebut, ia pun harus menuai punishmentnya; roda keretanya amblas ke dalam tanah seketika.
Kembali ke cerita saya, saya jadi memikirkan apakah ganjaran yang akan saya daptkan nantinya bagi kebohongan kecil yang saya lakukan secara sadar dan berulang-ulang di atas. Mengingat yang saya lakukan juga bukan kategori “white lie”, sebuah idiomatik bahasa Inggris yang digunakan untuk sebuah kebohongan yang harus dilakukan untuk suatu tujuan yang baik.
Kebohongan yang dilakukan Yudhistira bertujuan melindungi kelangsungan perikehidupan manusia, yaitu agar Pandawa (sebagai lambang kebaikan) dapat mengalahkan Kurawa (sebagai lambang kejahatan dan keserakahan).
Sedangkan kebohongan yang saya lakukan sama sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, melainkan hanya menguntungkan diri saya sendiri.
Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil yang dilakukan secara berulang-ulang.”
Peradaban ini berikut derasnya arus materialisme dan hedonisme telah membentuk sebagian besar manusianya menjadi semakin permisif terhadap berbagai jenis pelanggaran (baca : dosa) terhadap norma norma kehidupan yang disepakati oleh umat manusia (nyaritemendotcom).. He3
Korupsi sampai trilyunan rupiah dimulai dari berbohong. Pembunuhan berencana tidak lepas dari kebohongan. Punya istri simpanan, pasti akan berbohong. Perdebatan konyol pasangan artis-artis (saat perceraian) di infotainment, diwarnai dengan banyak kebohongan. Betapa seringnya kita membohongi anak-anak kita dengan penuh kesadaran bahwa mereka hanyalah anak-anak yang mudah dibohongi. Betapa banyaknya kebohongan di sekitar kita dan melingkupi atmosfir kita.
Alangkah ringan dan mudahnya kita melakukan kebohongan-kebohongan. Jika sudah demikian terbiasanya, masih dapatkah nantinya kita mengajarkan anak-anak kita mengenai arti sebuah kejujuran?
Ketika seorang pemuda yg gemar berjudi, berzina dan minum minuman keras menghadap Rasulullah untuk masuk Islam dan bertobat kekasih Allah itu cuma mengatakan “Ucapkanlah kalimat syahadat, dan jangan berbohong setelah itu!”. Tentunya kita tahu kesudahan cerita tersebut.
Ahh…saya bukan Yudhistira…apalagi Rasulullah. Pula, banyak dosa-dosa lain yang saya perbuat jauh lebih berat kadarnya dibandingkan sekedar membohongi Pak PM seperti tadi (mohon maaf ya Pak PM?!).
Duh Gusti Allah.
Jadikan sholat-sholat kami sebagai pelebur dosa-dosa yang kami lakukan diantara waktu-waktu sholat kami..ya Allah..
No comments:
Post a Comment