Melulu membuat tulisan berisi
catatan perjalanan (traveling) belakangan ini mulai membuat saya jenuh dan
hanya merasa menjadi travel blogger.
Ingin sekali merefleksikan
pemikiran dengan membuat tulisan yg lebih serius. Namun semua ide dan gagasan
telah terbang. Entah kemana perginya hasrat menulis saya. Project pembuatan
cerpen yg pernah saya gagas juga mandeg, hanya dua cerpen yang selesai.
Hufffhh…betapa sulitnya
membangkitkan kembali naluri (bukan bakat loohh..) yang sekian lama terkubur.
Bagaimana cara memulainya, yach ?
Artikel ? Essai ? Puisi ? wuidiiiyyy…kayaknya
udah ngga sanggup lagi.
Coba cerita tentang kamera dehhh…(ini
bukan berarti saya mengerti tentang kamera)
Baru sekitar 1,5 – 2 tahun
belakangan ini (saya lupa persisnya) saya tertarik dengan kamera yang lebih
serius. Sebelumnya saya tidak pernah peduli dengan kualitas foto yang
dihasilkan sebuah kamera.
Di awal era kamera digital dengan
kualitas megapixel, saya membeli sebuah kamera saku bermerk Polaroid. Kalau
tidak salah dulu harganya 1,6 jutaan (cukup mahal juga pada waktu itu). Cukup
lama juga kamera tsb saya pakai dan sudah cukup banyak jasanya dalam
mendokumentasikan perjalanan hidup keluarga kami hingga akhirnya saya nyatakan
almarhum sekembalinya dipinjam oleh adik ipar saya untuk berbulan madu.
Setelah itu saya coba beli kamera
saku digital yang murah, berharga sekitar 800 ribuan. Saat itu saya masih cuek
aja dengan hasil foto2 yg saya buat.
Kemudian datanglah booming kamera DSLR. Harga DSLR low-end yang
terjangkau membuat orang berbondong bondong membelinya. Entah sekedar gaya2 an
atau menjurus ke serius, nyatanya melihat orang kemana mana menenteng DSLR mulai
menjadi suatu hal yang lumrah.
Awalnya saya meminjam CANON EOS
600 D lensa kit II 55-135mm milik kakak
ipar saya dengan maksud ingin belajar menggunakan kamera DSLR. Trip ke Sawarna,
4 pulau di Kepulauan Seribu, Gunung
Pancar dan Kota Tua adalah pengalaman awal saya bersentuhan dengan DSLR (lihat
foto2 di postingan tentang trip ke tempat2 tsb).
Saat itu pula saya mulai mencari2
referensi mengenai teknik2 dalam photography. Senior di kantor juga sempat
memberi workshop kilat mengenai Aperture, Shutter Speed, DOF dan Komposisi. Sedikit
pengetahuan mengenai cara2 pengaturan kamera ini coba saya terapkan secara
trial n error dalam beberapa kali ‘hunting’.
Saat akan mengadakan perjalanan
ke Dieng, tiba2 saya ingin punya DSLR sendiri. Malam sebelum keberangkatan ke
Dieng, saya coba memboyong Canon EOS 600 D yg sudah cukup familiar buat saya. Saya
membelinya dalam keadaan bekas pakai, namun kondisinya masih seperti baru.
Kondisi budget saya pada waktu tsb membuat saya memutuskan membeli lensa murah
meriah Canon EF 50 mm f 1.8. Sebuah keputusan bodoh yang baru saya sadari dalam
aksi jeprat-jepret di Dieng.
Memangnya kenapa ?
Lensa 50 mm ini hanya Ok untuk
dipakai foto portrait (meskipun saya rasa hasilnya masih kurang tajam). Efek
bokehnya juga juga Ok dengan bukaannya yang lebar. Namun hobi traveling saya
membutuhkan lensa dengan focal length yang lebih lebar untuk mendapatkan foto
landscape ataupun bergaya narsis dengan background landscape. Lensa ini membuat
saya mati gaya karena rasanya seperti memakai kacamata kuda.
Banyaknya keperluan membuat saya
menunda-nunda membeli lensa yg lebih lebar hingga akhirnya saya ditugaskan ke
Sulawesi. Dalam banyak trip, kamera tsb setia menemani perjalanan saya
ngebolang di bumi celebes ini. Hingga pada suatu titik saya merasa DSLR terlalu
berat dan sangat ribet untuk teman ngebolang. Apalagi fokus kami saat ini
adalah eksplorasi alam bawah laut dan saya mulai memikirkan untuk membeli
snorkel set sendiri. Otomatis barang bawaan saya bakal semakin berat.
Saat cuti terakhir, saya putuskan
untuk ‘menceraikan’ kamera tersebut (sebetulnya dikarenakan lagi BU
juga…hehe..). Akhirnya sekarang saya nggak punya kamera yg ‘serius’ lagi deh…(hikkss..hikss..)
Saat ini (sembari ngumpulin
budget) saya sedang menimbang nimbang kamera yg akan saya pinang selanjutnya.
Ini daftar incarannya :
1. Sony alpha Nex-6 or (at least)
Sony alpha Nex-5N
Keduanya masuk kategori
mirrorless interchangeable. Ya! Karena saya merasa DSLR terlalu berat, maka
saya ingin kamera yg lebih ringan dengan kualitas yg tidak kalah dengan DSLR.
Mirrorless-lah jawabannya. Dan dari hasil membaca beberapa review, saya
tertarik dengan dua kamera diatas.
2. Sony RX 100 Mark II
Ganti alirannya koq terlalu
ekstrim ? Dari DSLR ke kamera saku (compaq/prosumer).
Saya membayangkan betapa
praktisnya bepergian dengan kamera yg bisa dimasukkan ke dalam kantong. Apalagi
nanti kalau pergi haji, kamera ini bakal lebih aman untuk mendekati ka’bah.
Ngga terlalu khawatir dirampas ‘asykar’. Tinggal beli tripod kecil, bisa narsis
sama istri di bumi rasulullah :)
Bagaimana dengan kualitas gambar
? Kamera saku dengan sensor 1 inch (terbesar di kelasnya) ini cukup mumpuni
koq. Lihat saja lensa premium Carl Zeiss yg disematkan di kamera ini. Bukaannya
pun lebar sehingga cukup bisa diandalkan untuk memotret dalam kondisi kurang
cahaya (low light). Barangkali ini yg membuat harga barunya melebihi DSLR
pemula.
Saya suka Sony pada detail warnanya dan fitur panoramanya (nggak perlu software photo stitcher lagi).
3. Olympus Stylus (Tough) TG-2
Ini dia kamera yang cocok untuk
traveler sejati. Bisa dibawa nyilem sampai 15 meter, punya fitur GPS, tahan
jatuh dari ketinggian 2 meter, tahan di suhu yang ekstrim dan ditindih bobot
seberat 100 kg (wow). Yang jelas, hasil foto2 bawah laut seorang teman yg
menggunakan kamera ini membuat saya ngeces. Setelah saya baca lagi reviewnya,
ternyata kamera ini punya fitur canggih microscopic yang sangat membantu kita
dalam membuat foto2 makro karena konon mampu memperbesar detail yg tidak
terlihat dengan mata telanjang. Bukaannya pun cukup lebar untuk bisa memotret
dalam kondisi low light.
Hasil foto2 teman saya tersebut
menyadarkan saya bahwa kamera kompak pun bisa membuat foto2 yang enak dilihat,
meskipun harus melalui proses editing juga (bukankah fotografi itu 50% nya
adalah editing?).
Dalam dua trip terakhir, saya
meminjam kamera underwater punya Bos. Ternyata asyik juga moto keindahan bawah
laut meskipun tingkat kesulitannya tinggi.
Saya rasa kamera ini sudah bisa
memenuhi kebutuhan saya. Bisa dipakai menyelam, tahan banting, ringan dan kompak
namun tidak terlalu mengorbankan kualitas.
Kemana mana menenteng kamera ini
masih cukup nyaman tanpa berkesan sebagai fotografer profesional. DSLR ataupun
mirrorless menurut saya berpotensi membuat obyek yg kita ambil secara diam2 (candid)
merasa terintimidasi.
4. Canon EOS 60 D (DSLR menengah)
Lho, koq balik lagi ke DSLR?
Kata istri saya, lebih gaya kalo
make DSLR :)
Dah ahhh…mau bobo dulu.
Siapa tahu mimpi bisa ngeboyong keempat-empatnya
:P
Desa Uso, malam kelima di tahun
2014