Wednesday, January 15, 2014

Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Kedua

Akhirnya, ABK kapal kami melempar jangkarnya.

Pulau yang dikelilingi terumbu karang di permukaan dangkal ini membuat kapal tak bisa merapat ke pantai sehingga membutuhkan perahu dayung kecil untuk mendarat. Banyaknya penumpang membuat proses antar jemput dari dan ke pantai ini memakan waktu yg cukup lama. Itupun sebagian peralatan, terutama peralatan masak memasak kami tinggal di kapal karena kami memang tidak berniat berlama lama di pulau ini. Menurut pengalaman kami, makin siang biasanya ombak akan semakin besar.

Selanjutnya kami mulai bersnorkeling dan berfoto ria di Pulau Tinalapu.


Nyilem Kleb @Tinalapu


 
Tinalapu - underwater view

 
Nyilemers in action























Tak perlu panjang lebar saya ceritakan tentang Pulau Tinalapu karena ulasan mengenai pulau ini sudah pernah saya posting sebelumnya.

Bedanya yaitu kali ini saya sudah punya snorkel set baru. Jadi nggak cuma berenang pakai goggle swim seperti biasanya :P

Mengenai Pulau Tinalapu silahkan baca postingan saya sebelumnya disini


Atau postingan saya di detik travel sbb :





Sebelum tengah hari kami sudah bersiap kembali ke Pagimana.
Namun dikarenakan besarnya ombak maka perantara kapal kami dan nakhoda memutuskan untuk singgah di Tanjung Jepara -tempat nakhoda kapal kami tinggal- sebelum kembali ke Pagimana. 

Untungnya ombak yang besar ini mengarah ke Tanjung Jepara. Beberapa kali kami rasakan kerasnya ombak yg datang dari arah belakang dan menghantam baling baling mesin kapal kami. Beberapa kali juga saya rasakan kapal kami terangkat diatas ombak. Mungkin kapalnya pengen surfing (hehe..).

Akhirnya kapal kami sampai di Tanjung Jepura, tepatnya di sebuah desa kecil yang ditinggali sekelompok nelayan Suku Bajo. Kuatnya ombak masih terasa meskipun kapal kami telah sandar di dermaga. Kami segera turun dari kapal dan menurunkan barang2 bawaan. 


Kampung Terapung Suku Bajo Yang Hampir Tak Tersentuh Pembangunan

Kami dibawa menuju rumah milik nakhoda kapal kami untuk beristirahat sejenak. Sebuah rumah kayu terapung sederhana beralaskan potongan2 bambu, namun tergolong mewah dibandingkan rumah2 di sekitarnya yang kondisinya memprihatinkan.

Susahnya bagi kami, desa ini kesulitan air bersih. Sehingga boro boro mau mandi untuk membersihkan diri setelah berenang di laut, sekedar buang air kecil pun kami tidak tega menggunakan sedikit stok air tawar yg mereka punya.

Kampung Suku Bajo di Tanjung Jepara
Lantai rumahnya dari bilah2 bambu.

Desa penolong kami ini juga tidak dialiri listrik.

Sebagian rumah memiliki genset yg hanya digunakan saat malam hari, mulai jam 6 hingga jam 12 malam.


Untuk transportasi, cuma sepeda motor-lah alat transportasi darat yg mungkin juga hanya dimiliki oleh beberapa orang.

Jadi tontonan anak-anak :)
Ini adalah kenyataan yg terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Saat sebagian yg yang lain membuang buang air bersih dengan berendam di bath tub yang nyaman, membuat kolam renang pribadi, menyirami rumput golf dengan luas hektaran, saudara2 kita disini kesulitan air bersih. Bahkan untuk sekedar MCK pun mereka mesti berhemat air. Fasilitas umum, sekolah dan sarana kesehatan boleh dikatakan tak ada sama sekali.

Saat kami membagi bagikan buah apel ke anak2 kampung ini, mereka sangat bersuka cita dan tidak serta merta langsung memakannya. barangkali itu adalah pertama kalinya mereka mendapatkan buah apel. Sungguh kita yg ditakdirkan untuk tidak tinggal di daerah seperti ini mesti merasa bersyukur.
Di seberang rumah Bapak Nakhoda ini ditumbuhi pohon pohon kelapa yang tinggi. Pohon pohon tersebut bergoyang goyang dengan kerasnya karena tertiup angin kencang. Saya mengurungkan niat untuk duduk duduk dibawahnya karena takut kejatuhan buah kelapa dari pohonnya.


Kencangnya angin laut saat itu.
Baru kali ini saya lihat pohon kelapa bergoyang dengan kerasnya


Penduduk setempat mengatakan bahwa sudah bbrp hari ini angin bertiup sangat kencang dan membuat mereka tak berani melaut. Coba bayangkan, orang2 yg hidupnya dibawah garis kemiskinan ini harus pula berhenti melaut yg notabene mrpkan mata pencahariannya.


Pemuda setempat yg kami temui di dermaga bahkan mengatakan bahwa jika kami bersikeras kembali ke Pagimana dalam kondisi angin dan ombak sekencang ini, kapal kami pasti akan terbalik di tengah laut.
(ini nasihatin apa nyumpahin?)




Diantara kami, sebagian asyik berbincang bincang, sebagian lagi tidur tiduran sementara sebagian yg lain memasak untuk makan siang kami. Anggota Dewan Syuro bermusyawarah dengan perantara kapal kami mengenai cara yg akan ditempuh untuk kembali ke Pagimana. Jarak dari desa ini ke Pagimana sekitar 3 jam perjalanan darat. Kami memikirkan beberapa alternatif untuk pulang sbb :

1. 10 orang yg bertugas sbg driver menjadi volunteer untuk menempuh resiko kembali ke Pagimana lewat laut. Semua barang dan perlengkapan diturunkan terlebih dahulu. 
# perkiraan waktu = 8 jam (tanpa istirahat)

2. 6 org yg bertindak sbg supir dalam rombongan mengojek 6 motor ke Pagimana dan menjemput kami sampai ke desa ini.
# perkiraan waktu = 10 jam (tanpa istirahat)

3. Mencari mobil yang bisa disewa untuk mengangkut kami, yang baru bisa ditemukan di desa terdekat yang berjarak setengah jam perjalanan dengan sepeda motor.
# perkiraan waktu = 11-12 jam (dimulai dengan mencari mobilnya)


# Drama mirip reality show "Amazing Race" pun dimulai #

Opsi pertama coba dijalankan. Para driver yg siap mempertaruhkan nyawanya ini dengan heroik menuju dermaga dan segera naik ke atas kapal. Namun kencangnya angin dan kuatnya ombak membuat nyali kami ciut kembali. Lebih baik tidak mengambil resiko.

Opsi keduapun langsung dicoret karena ternyata tidak mudah mencari sepeda motor (yang jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari) yang bisa disewa.

Opsi trakhir akhirnya yang diambil. Perantara kapal kami berangkat menggunakan sepeda motor ke desa terdekat untuk mencari mobil yang bisa disewa.

Sekitar dua jam kemudian beliau kembali dengan kabar bahwa hanya ada dua mobil yang bisa disewa. Satu Hi-Lux pick up single cabin. Dan satunya lagi Toyota Avanza. Hmmm...tiga puluh enam orang dan hanya ada dua mobil ?
Karena tak ada pilihan lain, kami terpaksa mengiyakan.


Bersambung ke Bagian Ketiga
















No comments:

Post a Comment