Monday, January 6, 2014

Curhat Soal Kamera



Melulu membuat tulisan berisi catatan perjalanan (traveling) belakangan ini mulai membuat saya jenuh dan hanya merasa menjadi travel blogger. 

Ingin sekali merefleksikan pemikiran dengan membuat tulisan yg lebih serius. Namun semua ide dan gagasan telah terbang. Entah kemana perginya hasrat menulis saya. Project pembuatan cerpen yg pernah saya gagas juga mandeg, hanya dua cerpen yang selesai. 

Hufffhh…betapa sulitnya membangkitkan kembali naluri (bukan bakat loohh..) yang sekian lama terkubur. Bagaimana cara memulainya, yach ? 

Artikel ? Essai ? Puisi ? wuidiiiyyy…kayaknya udah ngga sanggup lagi.
Coba cerita tentang kamera dehhh…(ini bukan berarti saya mengerti tentang kamera)

Baru sekitar 1,5 – 2 tahun belakangan ini (saya lupa persisnya) saya tertarik dengan kamera yang lebih serius. Sebelumnya saya tidak pernah peduli dengan kualitas foto yang dihasilkan sebuah kamera. 

Di awal era kamera digital dengan kualitas megapixel, saya membeli sebuah kamera saku bermerk Polaroid. Kalau tidak salah dulu harganya 1,6 jutaan (cukup mahal juga pada waktu itu). Cukup lama juga kamera tsb saya pakai dan sudah cukup banyak jasanya dalam mendokumentasikan perjalanan hidup keluarga kami hingga akhirnya saya nyatakan almarhum sekembalinya dipinjam oleh adik ipar saya untuk berbulan madu.

Setelah itu saya coba beli kamera saku digital yang murah, berharga sekitar 800 ribuan. Saat itu saya masih cuek aja dengan hasil foto2 yg saya buat. 

Kemudian datanglah booming  kamera DSLR. Harga DSLR low-end yang terjangkau membuat orang berbondong bondong membelinya. Entah sekedar gaya2 an atau menjurus ke serius, nyatanya melihat orang kemana mana menenteng DSLR mulai menjadi suatu hal yang lumrah.

Awalnya saya meminjam CANON EOS 600 D  lensa kit II 55-135mm milik kakak ipar saya dengan maksud ingin belajar menggunakan kamera DSLR. Trip ke Sawarna, 4 pulau di Kepulauan Seribu,  Gunung Pancar dan Kota Tua adalah pengalaman awal saya bersentuhan dengan DSLR (lihat foto2 di postingan tentang trip ke tempat2 tsb).

Saat itu pula saya mulai mencari2 referensi mengenai teknik2 dalam photography. Senior di kantor juga sempat memberi workshop kilat mengenai Aperture, Shutter Speed, DOF dan Komposisi. Sedikit pengetahuan mengenai cara2 pengaturan kamera ini coba saya terapkan secara trial n error dalam beberapa kali ‘hunting’.

Saat akan mengadakan perjalanan ke Dieng, tiba2 saya ingin punya DSLR sendiri. Malam sebelum keberangkatan ke Dieng, saya coba memboyong Canon EOS 600 D yg sudah cukup familiar buat saya. Saya membelinya dalam keadaan bekas pakai, namun kondisinya masih seperti baru. Kondisi budget saya pada waktu tsb membuat saya memutuskan membeli lensa murah meriah Canon EF 50 mm f 1.8. Sebuah keputusan bodoh yang baru saya sadari dalam aksi jeprat-jepret di Dieng.

Memangnya kenapa ?
Lensa 50 mm ini hanya Ok untuk dipakai foto portrait (meskipun saya rasa hasilnya masih kurang tajam). Efek bokehnya juga juga Ok dengan bukaannya yang lebar. Namun hobi traveling saya membutuhkan lensa dengan focal length yang lebih lebar untuk mendapatkan foto landscape ataupun bergaya narsis dengan background landscape. Lensa ini membuat saya mati gaya karena rasanya seperti memakai kacamata kuda.

Banyaknya keperluan membuat saya menunda-nunda membeli lensa yg lebih lebar hingga akhirnya saya ditugaskan ke Sulawesi. Dalam banyak trip, kamera tsb setia menemani perjalanan saya ngebolang di bumi celebes ini. Hingga pada suatu titik saya merasa DSLR terlalu berat dan sangat ribet untuk teman ngebolang. Apalagi fokus kami saat ini adalah eksplorasi alam bawah laut dan saya mulai memikirkan untuk membeli snorkel set sendiri. Otomatis barang bawaan saya bakal semakin berat.

Saat cuti terakhir, saya putuskan untuk ‘menceraikan’ kamera tersebut (sebetulnya dikarenakan lagi BU juga…hehe..). Akhirnya sekarang saya nggak punya kamera yg ‘serius’ lagi deh…(hikkss..hikss..)

Saat ini (sembari ngumpulin budget) saya sedang menimbang nimbang kamera yg akan saya pinang selanjutnya. 

Ini daftar incarannya :


1. Sony alpha Nex-6 or (at least) Sony alpha Nex-5N


Keduanya masuk kategori mirrorless interchangeable. Ya! Karena saya merasa DSLR terlalu berat, maka saya ingin kamera yg lebih ringan dengan kualitas yg tidak kalah dengan DSLR. Mirrorless-lah jawabannya. Dan dari hasil membaca beberapa review, saya tertarik dengan dua kamera diatas.





2. Sony RX 100 Mark II
 
Ganti alirannya koq terlalu ekstrim ? Dari DSLR ke kamera saku (compaq/prosumer).
Saya membayangkan betapa praktisnya bepergian dengan kamera yg bisa dimasukkan ke dalam kantong. Apalagi nanti kalau pergi haji, kamera ini bakal lebih aman untuk mendekati ka’bah. Ngga terlalu khawatir dirampas ‘asykar’. Tinggal beli tripod kecil, bisa narsis sama istri di bumi rasulullah :)
Bagaimana dengan kualitas gambar ? Kamera saku dengan sensor 1 inch (terbesar di kelasnya) ini cukup mumpuni koq. Lihat saja lensa premium Carl Zeiss yg disematkan di kamera ini. Bukaannya pun lebar sehingga cukup bisa diandalkan untuk memotret dalam kondisi kurang cahaya (low light). Barangkali ini yg membuat harga barunya melebihi DSLR pemula.

Saya suka Sony pada detail warnanya dan fitur panoramanya (nggak perlu software photo stitcher lagi). 


3. Olympus Stylus (Tough) TG-2

Ini dia kamera yang cocok untuk traveler sejati. Bisa dibawa nyilem sampai 15 meter, punya fitur GPS, tahan jatuh dari ketinggian 2 meter, tahan di suhu yang ekstrim dan ditindih bobot seberat 100 kg (wow). Yang jelas, hasil foto2 bawah laut seorang teman yg menggunakan kamera ini membuat saya ngeces. Setelah saya baca lagi reviewnya, ternyata kamera ini punya fitur canggih microscopic yang sangat membantu kita dalam membuat foto2 makro karena konon mampu memperbesar detail yg tidak terlihat dengan mata telanjang. Bukaannya pun cukup lebar untuk bisa memotret dalam kondisi low light.
Hasil foto2 teman saya tersebut menyadarkan saya bahwa kamera kompak pun bisa membuat foto2 yang enak dilihat, meskipun harus melalui proses editing juga (bukankah fotografi itu 50% nya adalah editing?).
Dalam dua trip terakhir, saya meminjam kamera underwater punya Bos. Ternyata asyik juga moto keindahan bawah laut meskipun tingkat kesulitannya tinggi.
Saya rasa kamera ini sudah bisa memenuhi kebutuhan saya. Bisa dipakai menyelam, tahan banting, ringan dan kompak namun tidak terlalu mengorbankan kualitas.
Kemana mana menenteng kamera ini masih cukup nyaman tanpa berkesan sebagai fotografer profesional. DSLR ataupun mirrorless menurut saya berpotensi membuat obyek yg kita ambil secara diam2 (candid) merasa terintimidasi.


4. Canon EOS 60 D (DSLR menengah)












Lho, koq balik lagi ke DSLR?
Kata istri saya, lebih gaya kalo make DSLR :)

Dah ahhh…mau bobo dulu.
Siapa tahu mimpi bisa ngeboyong keempat-empatnya :P



Desa Uso, malam kelima di tahun 2014




No comments:

Post a Comment