Wednesday, September 22, 2010

Belajar dari Astri Ivo, Kesombongan Menakar Kadar Keislaman (baca : Keimanan) Orang Lain…Astaghfirullah..

Ramadhan lalu di puncak acara kegiatan Ramadhan di kantor, kami mengundang Astri Ivo, artis penyanyi dan bintang film era 80-90an.  Memutuskan nama beliau sebagai pembicara bukan tanpa kontroversi diantara panitia. Mulai dari budget honor penceramah sampai dengan praduga mengenai isi/materi ceramah dan membandingkan kapasitas keilmuan dengan para Ustad/Ustadzah lain kami bincangkan dalam diskusi email (karena terbatasnya waktu utk sekedar temu rapat).

Misi awalnya mengundang orang beken yaitu mencoba menarik minat karyawan agar hadir lebih awal dan mendengarkan taushiyah di acara bukber di kantor.  Dari kalangan akhwat muncullah nama2 Neno Warisman, Astri Ivo dan Ratih Sanggarwati.  Berhubung Mbak Neno sedang tidak terima order ceramah karena menemani anaknya di Syiria, pilihan saya jatuh ke Astri Ivo.

Singkat cerita tibalah hari-H dimana saat acara buka bersama yang terakhir, kami mengundang 100 anak yatim dari bbrp yayasan.  Karena pengalaman pembicara datang telat di bukber pertama, maka saya berusaha menghadirkan pembicara tepat waktu dengan perkiraan waktu yg cukup ketika menjemput Mb.  Astri.

Di mobil, saya sempat ngobrol dengan Mbak Astri (utk mencairkan suasana bow!), biar Mbak Astri yg cantik nggak tahu kalo saya dag dig dug ngobrol dengan artis…hehe.  Oya waktu berangkat saya sempat sms istri saya, "lg jemput Astri Ivo.  Kira2 cantikan mana sama Mama yach?" (hehe…nggak usah saya beberkan balas membalas sms-ny coz nanti juga pasti ke-sensor habis oleh badan sensor blog).

Dari obrolan tsb saya diberitahu bahwa Mb.  Astri sedang mengaji di sebuah pengajian Salafi di Jakarta Selatan.
Wahhh...betapa terkejutnya saya.  Terbayang betapa dunia keartisan yang dulu digelutinya sangat kontradiktif dengan ajaran2 salafi yang oleh musuh2 Islam disebut sbg fundamentalis.  Luruh sudah rasa under estimate saya terhadap beliau.  Tadinya saya pikir paling2 beliau hanya akan mengekspose pengalamannya mendapatkan hidayah keislaman dan memakai busana muslimah.  Namun yang saya dapati adalah seorang artis yang serius mendalami keislaman.

Sesampainya di kantor ternyata peserta-nyalah yang terlambat.  Karyawan2 datang telat.  Anak2 yatim pun banyak yang telat.  Sayang sekali, karena terbukti bahwa Mb.  Astri sangat interaktif dengan anak2.  Suasana jadi hidup meski anak2 banyak yang tidak bisa bersuara jika ditanya (penyebabnya hampir bisa dipastikan karena rasa kurang percaya diri akibat kondisi ekonomi keluarga).

Dari isi2 taushiyahnya selanjutnya, saya makin ‘tertampar’ mengetahui batapa kaffahnya keislaman Mb.  Astri, yang membuat saya seperti tidak ada apa2nya dibandingkan keislaman dan keimanan beliau.  Yang paling saya ingat adalah nasihatnya untuk tidak meninggalkan sholat sunat rawatib karena Rasulullah SAW yg sudah dijamin masuk surga-pun tidak pernah meninggalkannya.  Duh Mbak Achi, saya seringkali meninggalkannya (shalat sunat rawatib-muakkad) dengan seribu satu macam dalih.



Ya Allah...

Hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui kadar Iman dan ketaqwaan seseorang.

Jauhkan aku dari prasangka… Jadikan aku hamba yang tidak merendahkan derajat kekasih2MU.

Karena sejatinya hanya Engkaulah Yang Maha Tahu

*Thanx to Mb.  Achi..

Friday, June 18, 2010

Bumi Cinta

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Habiburrahman El Shirazy

Setelah sukses dengan Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, kali ini Kang Abik beranjak dari Mesir, negeri yang pernah jadi tempatnya bermukim.

Bumi cinta menceritakan tentang kehidupan Muhammad Ayyas, mahasiswa dari Indonesia yang harus menyelesaikan thesisnya dengan melakukan penelitian di Rusia, negeri yang dulu sangat ditakuti dengan ideologi sosialis komunisnya, yang kini menjelma menjadi negeri yang penuh kebebasan.

Ayyas harus menghadapi sekian banyak ujian sebagai muslim yang taat. Yang paling utama yaitu godaan dari gadis gadis molek Rusia. Diceritakan sejak awal, bagaimana Ayyas yang taat kepada ajaran agama harus berbagi apartemen dengan dua gadis cantik yang menganut faham free sex, yang kemolekan wajah dan tubuhnya sanggup menggoda lelaki manapun.

Ayyas juga berhadapan dengan pembimbing penelitiannya, seorang doctor muda, cantik nan cerdas yang juga menaruh hati padanya dan Ayyas pun menaruh hormat padanya, namun sayangnya mereka berbeda keyakinan.
Konflik lain diciptakan Kang Abik dengan cerita bagaimana pekerjaan sesungguhnya dua teman se-apartemen Ayyas yang molek tersebut. Yang satu ternyata adalah agen Mossad dan yang lainnya adalah pelacur kelas atas di Rusia.

Seperti biasanya, Kang Abik selalu berusaha menceritakan dengan detil keadaan Negara yang menjadi tempat setting cerita. Di Rusia inipun Kang Abik berusaha mendeskripsikan eksotisme negeri beruang merah ini, lengkap dengan cerita2 kekejaman yang dilakukan Stalin dan Lenin, dua diantara pelaku sejarah yang terkenal kebengisannya karena bertanggungjawab menghilangkan jutaan nyawa umat manusia.

Sayangnya ceritanya agak dipaksakan untuk selesai. Menurut saya jumlah halamannya bisa diperbanyak dengan sedikit menyinggung mengenai keluarga Ayyas di tanah air. Juga bagaimana Ayyas membiayai hidupnya, sama sekali tidak disinggung. Satu lagi detil yang diabaikan Kang Abik yaitu proses Ayyas melaksanakan penelitiannya sama sekali tidak disinggung. Malahan Ayyas dijadikan pembicara di seminar dan berakhir dengan talk show di sebuah stasiun televisi.

Penyelesaian konfliknya pun saya rasa kurang tuntas. Mestinya Kang Abik bisa lebih mendramatisir akhir hubungan Ayyas dengan Doktor Anastasia, pembimbingnya. Tentang akhir gadis Mossad yang ternyata adalah putri muslim Palestina juga tidak jelas. Bumbu percintaan yang menjadi nilai jual Ayat-Ayat Cinta dan KCB tidak saya temukan disini.

Bagaimanapun, sebagaimana tujuannya sebagai Novel Pembangun Jiwa novel2 Kang Abik saya rekomendasikan untuk dibaca, termasuk yang satu ini.

Saturday, May 29, 2010

Pelajaran Cinta Dari Ainun-Habibie

“Ainun dilahirkan untuk Habibie”, kata Pak Habibie.  Ahh..tak dinyana, betapa romantisnya mantan presiden kita yang pernah jadi icon orang pintar di Indonesia ini.  Sang Mr.  ‘Crack’ ini (disebut demikian karena konon beliau mampu menghitung keretakan pesawat terbang), tidak hanya sekedar bicara.  Kata kata tersebut diucapkan mengiringi kepergian istri tercintanya, Ainun.

Tak pelak lagi kisah cinta mereka segera menjadi trending topics di twitter.  Bagi saya beliau jauh lebih romantis ketimbang pasangan penyanyi yang di awal pernikahannya melejitkan hits hits duet lagu bertemakan keagungan cinta.  Setidaknya Pak Habibie membuktikan ikrar cinta “Till death do us part”, dibandingkan usia pernikahan pasangan penyanyi tersebut yang mungkin hanya seperempat atau sepertiga usia pernikahan Pak Habibie.

Bu Ainun telah mengorbankan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi Dokter Spesialis Anak, demi mendampingi suami tercintanya kemanapun beliau bertugas.  Pak Habibie membalasnya dengan menjadikan beliau istri tercintanya, setia sampai akhir hayat pejuang kemanusiaan tersebut.

Fenomena kawin cerai di kalangan selebritis agaknya mulai membuat masyarakat jengah.  Kisah cinta Ainun- Habibie terbukti mendapat simpati dari banyak pihak.  Betapa banyak bahtera pasangan pasangan cinta yang kandas di tengah jalan dengan alasan yang sederhana, ‘adanya orang ketiga’.

Tak salah jika kita mengagumi seseorang yang bukan pasangan hidup kita.  Namun hendaknya kekaguman kita tidak membuat kita hanyut dalam cinta terlarang yang berkepanjangan.  Percayalah bahwa urusan jodoh termasuk salah satu yang telah menjadi ketetapanNya.  Betapapun seringnya kita melihat ‘rumput tetangga’ yang lebih hijau, hendaknya jangan sekali-sekali kita mencoba invasi untuk menguasai ataupun mengakuisisinya.
Meminjam bahasa teman saya, “Sudah jadi kavling orang tuh, buat apa juga masih didemenin”.

Untuk alasan yang lebih agamis, beberapa memilih jalur poligami.  Saya bukan orang yang anti poligami, karena memang hal ini dibenarkan secara syar’i.  Namun secara kodrati manusia memiliki kecemburuan dan sifat possessive terhadap orang-orang yang dicintainya.  Ini yang menyebabkan hampir semua kaum hawa (tidak semua, lho!) tidak bersedia dimadu.

Bukankah Rasulullah SAW tetap setia dengan istri tercintanya Khadijah Al Kubro sampai beliau wafat?  Saat itu beliau sudah berumur sekitar 50 tahun, yang berarti usia pernikahan beliau dengan Khadijah sekitar 25 tahun dan beliau tetap setia hingga akhir hayat istri tercintanya tersebut.  Disebutkan dalam riwayat hadits, betapa berdukanya Baginda Rasul dengan kepergian istri tercintanya tersebut yang menjadi salah satu sebab Allah menghiburnya dengan meng- Isra’ Mi’rajkan beliau.

Dua tahun berikutnya beliau baru berpoligami, dengan alasan lebih pada sifat ‘menyantuni’ wanita wanita (janda-janda) ketimbang alasan pemuasan nafsu lahiriah.  Belakangan saya baru dengar dari ustad saya bahwa salah satu hikmah Rasulullah menikahi Aisyah yang usianya sangat muda adalah; Aisyah banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang hubungan suami-istri yang didasarkan dari pengalamannya, hidup bersama Rasulullah.  Ini membuat saya berpikir bahwa hal tersebut sudah dipikirkan masak-masak oleh Rasulullah dan bukan mustahil itu merupakan perintah dari Allah.  Siapa lagi yang akan menyampaikan hadits2 tadi, kalau bukan istrinya yang masih muda, dan juga sangat dicintainya tersebut.

Kembali ke Ainun-Habibie, beliau adalah potret keagungan cinta masa kini, yang bukan sekedar teori dalam bentuk indahnya syair, puisi ataupun lagu.  Cinta Pak Habibie terhadap Bu Ainun adalah cinta dalam dalam mahligai perkawinan yang Insya Allah mendapat keridhaan Allah SWT.  Meski tak ada syair-syair puitis seperti puisi cinta Qays sang ‘Majnun’ terhadap Layla.  Meski beliau tak sanggup membangun 1000 candi dalam semalam seperti bukti cinta Bandung Bondowoso terhadap Roro Jonggrang.  Beliau adalah teladan kita yang nyata dalam hal ini.

Saat terjadi prahara dalam rumah tangga seorang sahabat, saya kirimi ia bait-bait lagu “Prahara”,



Harapku….
Jangan dulu berpisah
Kenanglah saat cinta merekah

                                                          
Pintaku….
Jangan dulu menyerah
Sebelum sesal nanti terlambat sudah
                                                         

Semoga kita bisa mencontoh teladan Ainun-Habibie dan diberikan rumah tangga yang awet dalam ridha Allah SWT.

Sebab, bukankah cinta datang untuk menyatukan dua hati yang berbeda?


Jatiwaringin, long weekend (Lagi sok romantis)

Saturday, April 24, 2010

Sholat Subuh Berjamaah di Masjid

Ada sebuah nuansa berbeda yang saya rasakan saat sholat subuh berjamaah di masjid.  Saya seperti merasakan sedang sholat bersama calon-calon penghuni surga.  Pernah seusai sholat dan kultum, saya ikut bersalaman dengan mereka sesudahnya.  Dan yang saya bayangkan adalah saya sedang bersalaman dengan wajah-wajah ahli surga.  Tentu saja ini sekedar perasaan saya saja.  Sebab yang berhak menentukan seseorang akan masuk surga atau neraka hanyalah Allah SWT.

Namun jelas saya merasa rendah diri ketika bersama-sama mereka yang konsisten menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid.  Mereka yang mengawali aktifitas di pagi hari dengan ritual yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah SWT.  Tidak seperti saya yang 'angin-anginan' dan sering memanjakan raga saya dengan menunda-nunda sholat subuh dan akhirnya hanya sholat di rumah dengan berbagai berbagai macam dalih.
Padahal saya ingat ucapan seorang ustad saya, Ustad Furqon al-Faruqiy -Semoga Allah memuliakan beliau-, "Jangan biasakan berdalih dengan Allah.  Allah sangat tidak suka bila kita banyak dalih ketika kita malas beribadah kepadanya".

Sebetulnya banyak juga manfaat lain yg saya rasakan ketika mengerjakan sholat subuh di masjid.  Berjalan kaki di pagi hari ke masjid saat udara segar merupakan olahraga ringan namun menyegarkan di pagi hari.

Menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid bukan perkara ringan.  Buktinya tidak banyak orang yang istiqomah mengerjakannya.  Attendance record saya di buku absen malaikat pasti timbul tenggelam saking banyaknya absennya.  Bahkan di puncak kemalasan, kadang sampai berbulan-bulan saya tidak sholat subuh di masjid.

Teringat saya akan ceramah seorang ustad di masjid, bahwa seorang petinggi Yahudi pernah berkata, "Yang kita takuti bukanlah banyaknya umat Islam berkumpul pada saat Sholat Jum'at.  Bukan pula banyaknya umat Islam saat sholat Ied.  Bahkan bukan pula banyaknya umat Islam berkumpul di padang Arafah saat menunaikan ibadah haji.  Yang harus kita takuti adalah ketika kita melihat banyaknya umat Islam menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid."

Ini sangat masuk akal sebetulnya.  Begitu banyak dalih atau alasan kita ketika kita tidak mengerjakannya.  Buru- buru siap-siap ke kantor-lah, hawa dingin-lah (apalagi bila harus mandi janabah sebelum sholat), kurang enak badan-lah.  Ahh…panggilan Allah itu bahkan kita kesampingkan dengan seribu macam dalih yang lebih sepele lainnya.  Beberapa kali sepulang sholat Subuh di masjid saya melihat warnet game online masih dipenuhi remaja2 yg mungkin tidak tidur semalaman karena asyiknya main game.

Rasulullah SAW bersabda,"Sholat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah sholat Isya dan Sholat Subuh".  Banyak sekali fadhilah (keutamaan) sholat subuh berjamaah yang bisa kita baca di artikel artikel di internet.

Semoga Allah kuatkan azzam saya untuk dapat terus memenuhi panggilan suciNYA di waktu subuh, untuk mengawali aktifitas harian saya dengan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT.

Monday, April 12, 2010

Sebulan Nge-Blog (Antara Foto, Blog dan Menulis ‘Note’ di FB)

Tak terasa sudah sebulan usia blog saya. Sebagai pemula, waktu sebulan yang cukup produktif buat saya. Hal ini dikarenakan saya ingin segera memenuhi halaman blog saya supaya tidak terlihat kosong. Mudah-mudahan bukan sekedar ‘hangat-hangat tahi ayam’ semangat di awal saja dan melembek sesudahnya. Meskipun saya sadar nantinya produktifitas saya bisa saja turun drastis di saat kebosanan melanda dan tidak ada mood sama sekali buat menulis di blog.

 

 

Memiliki sebuah blog dan keinginan untuk menulis ternyata membawa dampak positif, setidaknya buat saya pribadi. Betapa keinginan untuk berbagi cerita dan menulis jurnal pribadi membuat saya berusaha untuk lebih memaknai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang saya lihat dan saya alami sendiri sehari-hari, Betapa selama ini perjalanan hidup saya tidak terdokumentasikan secara naratif, karena memang saya tidak pernah membuat diary secara khusus. Masih mendingan lah..saya menyimpan cukup banyak foto-foto.

 

Foto memang bisa ‘berbicara’. Namun bukan menurut orang yang ada dalam foto tersebut melainkan menurut imajinasi orang yang melihatnya. Dan kebanyakan foto-foto yang saya simpan hanyalah momen-momen liburan dan foto-foto bersama teman-teman saya. Bukan bermaksud ‘mengecilkan’ arti foto. Namun, ya begitu-lah. Kebanyakan wajah-wajah gembira para ‘banci foto’, istilah gaulnya. Tap tak bisa dipungkiri, melihat album foto membantu kita mengingat teman-teman, saudara-saudara dan momen-momen yang kita lewatkan bersama mereka.

 

Bila foto lebih mengeksplorasi obyek, angle, background, lighting dan bermacam teknik fotografi (yang tidak saya kuasai) lainnya, menulis buat saya merupakan bentuk ekspresi lain yang tidak tertangkap oleh kamera. Menulis memerlukan keberanian untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan kita, yang tidak semua orang berani melakukannya.

Fenomena facebook berperan positif untuk masalah ini. Bagaimana untuk menulis/updating status misalnya, orang-orang berani mengungkapkan hal-hal apa yang sedang dikerjakan atau terpikirkan olehnya. Saya perhatikan betapa orang-orang yang dulu saya kenal pendiam pun, saat ini malah aktif mengupdate statusnya di FB.

 

Facebook memang menyediakan aplikasi ‘note’ yang fungsinya saya pikir sama dengan blog. Namun buat saya, rasanya koq lebih nyaman untuk menulis di blog ya?

Nggak tau aja, namun memang menulis di blog sendiri dengan bikin ‘note’ di FB memang ‘taste’-nya beda (setuju nggak?).

Makanya setelah saya jenuh fesbukan, saya baru pingin nge-blog. Mungkin kebalikan dari blogger-blogger yang sudah senior yang sudah sejak lama nge-blog dan ketika fenomena facebook muncul, baru ikut fesbukan.  

 

Yo wisss….Keep on Writing, lahhh…!!!

 

Tuesday, April 6, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya (bagian 2 - selesai)

(Mesti baca dulu cerita sebelumnya)

Baru paginya kisah tentang Zahra saya posting, sorenya menjelang Ashar, Zahra dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Malam sebelumnya Saka (sahabat saya dan Risyad juga) bermimpi melihat Zahra bisa bicara lancar dan berjalan sebagaimana anak-anak yang sehat. Barangkali teman saya ini mimpi melihat Zahra sedang bermain di sebuah taman di surga.

Sebetulnya saya akan tulis cerita ini di hari itu juga. Namun karena kelelahan (baru pulang ke rumah pukul 22.30 WIB setelah sejak siang menemani ayah Zahra di RS dan ikut prosesi penguburan dll),  maka baru hari ini sempat menulis kisah lanjutannya.

Saya dan Saka menunggu di ruang tunggu ruang PICU ketika Zahra meninggal. Kami langsung berangkat ke rumah sakit begitu mendengar kabar dari Adi, seorang sahabat kami juga bahwa Risyad sudah mengisyaratkan bahwa kemungkinan sembuh bagi anaknya sangat kecil.

Menurut ayahnya Zahra meninggal dunia dengan tenang, tidak sampai muntah darah dsb, seperti yang biasa dialami penderita penyakit berat lainnya. Diagnosa terakhir adalah infeksi paru. Sebagaimana saya sebutkan di tulisan pertama bahwa dokter spesialis parunya mengatakan bahwa fungsi kerja parunya tinggal sekitar 30 %.

Risyad, ayah Zahra Cuma mengatakan, “Selesai sudah” sekeluarnya dari ruang PICU. Saya peluk sebentar teman saya tersebut dan melihat sekilas raut kesedihan di wajahnya, meski ia tetap berusaha tegar dan mengatakan bahwa saat ini dia lebih tegar karena pada hari pertama Zahra masuk PICU dokternya sudah memberikan pilihan yang sulit, yaitu mau dipasangkan alat bantu pernafasan, dengan resiko ketergantungan pada alat tsb menjadi tinggi, atau tidak sama sekali. Dan Risyad memilih opsi yang terakhir karena ingat kasus Pak Harto yang di akhir hidupnya tergantung pada peralatan medis yang dipasang di tubuhnya.

Zahra dibawa pulang dari RS menggunakan ambulans. Gerimis mengiringi kepulangan bocah kecil, putri satu-satunya sahabat saya tersebut.

Setelah sholat maghrib berjamaah di musholla dekat rumahnya, Risyad masuk membopong jenazah putrinya untuk disholatkan. Saat itu juga saya membayangkan seandainya saya ada di posisinya. Membayangkan bahwa bocah kecil dalam bungkusan kain itu adalah anak saya sendiri membuat perasaan saya tidak karuan saking terharunya.

Risyad menjadi imam sholat jenazah bagi putrinya tsb. Setelahnya jenazah dibawa ke pemakaman malam itu juga untuk dimakamkan. Lagi-lagi Risyad sendiri yang masuk ke liang lahat dan menguburkan darah dagingnya tersebut.

Kembali ke rumah duka waktu sudah masuk Isya dan segera kami sholat berjama’ah di musholla. Selesai sholat di rumah duka diadakan taushiyah oleh Ustad Syaikhu, guru mengaji Risyad yang dating bertakziyah malam itu.

Isi taushiyahnya baguuuusss…sekali. Mata saya sampai tidak lepas dari memandang Ustad Syaikhu yang menerangkan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kematian.

Cara penyampaiannya sangat baik, dengan kemampuan orasi yang dimiliki oleh seorang ‘alim (yang banyak ilmunya) yang sering berceramah di banyak tempat. Ada banyak isi taushiyah beliau yang membekas di kalbu saya.

Beliau membuka taushiyahnya dengan menerangkan bahwa segala peristiwa yang kita alami harus meninggalkan bekas/hikmah pada diri kita. Bahwasanya dalam situasi dan kondisi apapun, terutama terutama saat kita ditimpa musibah, maka kita harus selalu memuji kebesaran Allah SWT. Allah sangat menyukai hambanya yang dalam keadaan susah namun terus menyanjungkan pujian terhadapNya.

Malam sebelumnya, seorang jama’ah Ustad yang sudah berumur sekitar 58 tahun meninggal setelah mengalami serangan jantung. Sebelumnya dia tidak pernah meninggalkan sholat berjama’ah. Ia mempunyai kebiasaan mandi sebelum sholat Ashar berjamaah di masjid. Begitu ia terkena serangan jantung dan orang-2 sibuk akan membawa beliau ke rumah sakit mana, beliau bersikeras ingin dimandikan dengan air panas dan akan mengerjakan sholat Ashar berjamaah.

Supir yang akan membawa beliau ke rumah sakit sampai menangis di balik kemudi mobil yang dibawanya memikirkan betapa orang yang sudah terkena serangan jantung masih memikirkan untuk sholat, ketimbang segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan kita yang sehat saja seringkali tidak ingat akan waktu sholat.

Seorang jamaah Ustad yang lain mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah rutin. Dokternya sudah memvonis bahwa ajalnya akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi. Saat menatap langit-langit atap rumah sakit, tiba-tiba dia mengingat semua nikmat yang diberikan Allah SWT, akan anggota-anggota tubuhnya. Disebutnya satu persatu anggota tubuhnya ,”Ya Allah, terima kasih atas nikmat mata. Terima  kasih atas nikmat kedua telinga, terima kasih atas nikmat jantung, ginjal..dst”. Tiba-tiba ia sembuh total sebagaimana sediakala. Dokternya sampai geleng2 kepala dibuatnya. Sebuah kasus yang belum tentu kemungkinannya terjadi satu juta berbanding satu.


Ustad juga bercerita mengenai bagaimana Rasulullah kehilangan putra kesayangannya, Ibrahim. Betapa Rasulullah juga menitikkan air mata kasih sayang seorang ayah yang harus berpisah dengan putra yang dicintainya. Beliau juga menceritakan bagaimana Urwah bin Zubair (putera Zubair bin Awwam, salah seoarang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah) harus kehilangan satu kakinya di hari yang  sama beliau kehilangan putra yang dicintainya. Urwah bin Zubair menolak dua pilihan metode anastesi di zaman itu, yaitu minum khamr (arak) atau dibius. Beliau memilih dipotong kedua kakinya pada saat berdzikir, memuji kebesaran Allah SWT.

Betapa memandangi anak di ruang ICU tidak berarti apa-apa dibandingkan Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya sendiri. Bukannya mengentengkan kematian anak, sebab ternyata Ustad sendiri sudah dua kali mengalami kehilangan putranya sendiri. Beliau melakukan sendiri hak-hak jenazah seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan puteranya. Untuk membantunya lebih tegar sebagai manusia biasa, beliau menyingkirkan semua benda-benda yang berhubungan dengan anaknya yang meninggal dunia.

Sebuah hadits shahih menyebutkan bahwa ketika malaikat menghalau anak-anak (yang meninggal dunia ketika masih kecil) untuk masuk ke surga, mereka tampak enggan. Ketika malaikat bertanya mengapa mereka seperti ogah-ogahan masuk ke surga mereka menjawab, “aku tidak mau masuk ke surga sebelum kedua orangtuaku masuk terlebih dahulu”.

Taushiyah ditutup dengan do’a khusyuk, yang membuat Saka yang duduk di sebelah saya menangis sesenggukan.

Saya tutup kisah tentang Ananda Zahra sampai disini. Semoga saya dapat mengambil banyak hikmah dari peristiwa ini. Bahwasanya kematian itu dekat…sangat dekat dengan kita. Semoga pula orangtua Zahra segera mendapatkan momongan lagi sebagai pelipur lara.

Selamat jalan Zahra, Insya Allah engkau akan segera dipertemukan kembali dengan kedua orangtuamu saat engkau menantikan mereka di pintu surga…

Amiin..


Jatiwaringin, paruh ketiga malam,
saat tangan-tangan lembutNYA membelai-belai penuh kasih
hati hati yang gerimis…











 

Sunday, April 4, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya

        Seorang sahabat saya -namanya Risyad Iskandar- diuji oleh Allah dengan cobaan yang sangat berat. Saat ini anaknya terbaring di PICU (Ruang ICU khusus anak) Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

Adalah Fatimah Az-Zahra, anak semata wayangnya, mengalami Alagille Non-Syndromic, suatu penyakit langka yang berhubungan dengan kegagalan fungsi hati (hepar). Meski saya tidak cukup mempunyai referensi mengenai penyakit ini, menurut orangtuanya ini mengakibatkan cairan empedu tidak mengalir dengan lancer.

Sebetulnya kasusnya mirip dengan Bilqis dan Fikri, penderita Atresia Bilier yang kasusnya mencuat beberapa saat yang lalu dan menimbulkan simpati banyak pihak. Namun yang ini agak berbeda dan sifatnya yang Non-Syndromic menyebabkan gejala perkembangannya agak sulit diamati. Menurut dokternya yang merawat, kemungkinan ini baru kasus pertama yang terjadi di Indonesia.

Pertama didiagnosis menderita kelainan fungsi hati adalah ketika Zahra berumur 2 (dua) bulan. Lahir di Klaten, dokter yang merawat tidak mengamati gejala-gejala awalnya. Namun ketika berumur  dua bulan, orangtuanya membawanya ke Yogya. Saat di Yogya tersebut, seorang dokter yang pernah belajar di luar negeri langsung memberikan vonis, “satu-satunya jalan adalah transplantasi hati, yang mesti dilakukan di luar negeri, “ katanya sambil menyebut beberapa Negara maju. Risyad, ayah Zahra yang saat itu baru tiba dari Jakarta kontan pingsan di tempat, begitu mendengar kabar tersebut.

Hari-hari berikutnya, hingga saat ini Zahra berumur sekitar empat tahun, adalah hari-hari panjang yang berkisah tentang ketabahan, kesabaran dan pengorbanan kedua orangtuanya.

Secara fisik, pertumbuhan Zahra agak lambat. Kulitnya dan kedua matanya berwarna kuning, yang bisa membuat siapapun iba dengan kondisi penyandang nama putri Rasulullah SAW ini. Bermacam upaya medis dan non medis (alternatif namun yang masih sesuai dengan koridor syar’i) terus dilakukan untuk kesembuhan ananda tercinta. Namun belum terlihat perkembangan yang signifikan. Kedua orangtuanya dengan sengaja berusaha menunda kehamilan demi mencurahkan perhatian penuh terhadap Zahra.

Satu-satunya tindakan yang dimungkinkan secara medis yaitu dengan jalan operasi transplantasi (dari orangtuanya), yang harus dilakukan di negara maju (direkomendasikan ke Jepang) dan membutuhkan biaya sekitar 5 (lima) milyar rupiah. Meskipun kedua orangtua Zahra bukanlah kategori orang yang tidak mampu (keduanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan yang cukup ternama di negeri ini), namun 5M sama sekali bukan jumlah yang sedikit.

Kegagalan fungsi hati ini memberi dampak terhadap bekerjanya organ-organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal dan paru-paru. Saat ini, dokter spesialis parunya menyatakan bahwa fungsi parunya tinggal 30 (tiga puluh persen), yang artinya satu-satunya tindakan medis yang telah disebutkan di atas harus segera dilakukan.

Orangtuanya siap untuk publikasi kasus ini sepulangnya Zahra dari rumah sakit nanti, agar dapat dilakukan penggalangan dana untuk operasi ananda tercintanya.

Kasus Bilqis berhasil meraih simpati masyarakat. Kabarnya ‘Koin Untuk Bilqis’ berhasil mengumpulkan Rp. 1,8 milyar dan sudah mencukupi untuk sebuah operasi transplantasi yang akan dilakukan di RS. Karyadi Semarang beberapa bulan lagi.

Sedangkan Fikri, yang sempat dipublikasi (bahkan muncul di program “Idola Cilik” di salah satu televisi swasta), meninggal akhir Februari lalu, saat ia berumur sekitar satu setengah tahun karena terlambat mendapatkan penanganan medis disebabkan ketidakmampuan orang tuanya secara finansial.

Saya bertemu dengan ayah Fikri, saat sama sama menjenguk Zahra. Rasa senasib mempertemukan Risyad dengan Abdul Salam, ayah Fikri. “Dapat cobaan seperti ini membuat kita banyak tambah saudara pak”, kata ayah Fikri pada saya.
Saat mempertunjukkan video dan foto-foto Fikri ketika masih hidup melalui laptopnya, pria sederhana ini berujar, “Sengaja saya buat ini Pak (membuat dokumentasi tentang almarhum anaknya), supaya hidup saya nggak ngawur, nantinya”.
  
Duhhh..melihat anak-anak saya bermain dengan gembira dan membandingkannya dengan kondisi Zahra membuat saya merenung, alangkah sedikitnya saya bersyukur atas nikmat kesehatan yang diberikan Allah terhadap anak-2 saya. Betapa mendengar tawa riang anak-anak hanyalah rutinitas yang saya anggap biasa, yang bagi Risyad sahabat yang saya kenal sejak SMA, mungkin adalah sebuah kemewahan dan nikmat yang tidak terkira.

Semoga Allah SWT segera memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.

Amiin Yaa Robbal ‘aalamiin..



Tuesday, March 30, 2010

Penerimaan Murid Sekolah Dasar, Satu Lagi Pelajaran Berharga Sebagai Orangtua

Pagi ini, kelabu menyelimuti jiwa saya.
Hari ini adalah pengumuman penerimaan murid baru di sebuah sekolah dasar tempat saya mendaftarkan anak sulung saya yang baru akan memasuki jenjang sekolah dasar.
Kebetulan mamanya anak2 sedang mengawasi ujian nasional di sebuah SMP. Mau tidak mau sebelum ke kantor saya sempatkan mampir untuk melihat pengumuman di sekolah tersebut.
Sebelumnya saya sangat pede bahwa anak saya akan diterima setelah melalui sebuah test. Anak saya memang belum lancar membaca meski telah mengenal semua  huruf alphabet. Ketika mendaftar pihak sekolah sempat mengatakan bahwa yang penting si anak telah mengenal dasar membaca, tidak harus lancar. Maka saya merasa tenang-tenang saja dan yakin bahwa anak saya bakal diterima.
Maka sesampainya di sekolah tersebut saya segera menghampiri papan pengumuman di dekat gerbang sekolah tersebut dimana saya lihat beberapa ibu-2 sedang mencari-cari  nama anaknya. Segera saya cari nama anak saya di tengah kerumunan beberapa ibu-ibu. Karena postur saya lebih tinggi, maka mereka maju di depan saya.
Silih berganti ibu2 di depan saya yang telah menemukan nama anaknya, namun belum juga saya temukan nama  anak saya. Saya terhenyak sekian lama sambil menatap papan tersebut, masih berharap bahwa saya terlewat membaca ke seratus enam puluh deretan nama anak tersebut.
Akhirnya saya menyerah. Nama anak saya tidak ada. “Anak saya tidak diterima”.
Tiba-tiba terlintaslah dalam benak tentang kemalasan2 saya mengajari anak saya sendiri untuk membaca. Betapa sebagai orangtua, sedikit sekali saya mencurahkan perhatian saya untuk anak saya. Selama ini sebagai pembenaran terhadap kemalasan saya, saya menganggap kasihan sekali anak-2 yg masih senang bermain, harus belajar dengan serius hanya untuk ambisi kedua orangtuanya yang ingin anaknya dianggap pintar. Sedih sekali hati saya ketika melanjutkan perjalanan ke kantor.
Dalam perjalanan ke kantor, di antara kesedihan saya teringat sebuah cerita motivasi.
Adalah Nancy Matthews Edison, seorang ibu yang mempunyai anak berumur sekitar empat tahun, suatu hari mendapati anaknya yang rada tuli tersebut pulang lebih awal membawa surat dari guru taman kanak-kanak tempatnya bersekolah. Kata si guru di surat tersebut,”Tommy, anak ibu, tuli dan bodoh. Saya harap ibu mengeluarkannya dari sekolah ini”.
Si ibu terhenyak membaca surat tsb dan segera membuat tekad yang kuat dalam hati, “Anak saya Tommy, memang agak tuli. Tapi ia bukan anak yang bodoh. Saya sendiri yang akan mengajarinya dan membuktikannya”.
Nyonya Nancy mengajari Tommy dengan pendidikan rumahan (Home Schooling) dan benar2 membuktikan tekadnya. Kelak seluruh dunia mengenal Tommy berkat kejeniusannya. Dialah si pemegang patent  lebih dari 1000 macam penemuan penting di dunia ini, Thomas Alfa Edison. “Si bodoh” ini dikenal sebagai penemu lampu pijar, yang tanpa dirinya mungkin kita masih membaca di malam hari menggunakan lilin.
Cerita saya memang tidak sedramatis Nancy dan Tommy. Namun tekad dan semangat Nancy sangat ingin saya miliki.
Anak saya tidak bodoh, saya sangat yakin dengan hal ini. Apalagi hanya karena tidak diterima di sekolah itu. Ini hanyalah akibat dari sebuah proses seleksi yg saya tidak kami perkirakan sebelumnya. (Perasaan waktu saya mau masuk SD dulu nggak pake proses yg beginian)
------------
“Mari Nak, terus belajar yang giat! Kita buat sekolah ini ‘menyesal’ karena telah menolak menjadikanmu salah seorang siswanya.”
“Ayah yakin, kamu pasti bisa…”

 

Friday, March 26, 2010

Kado Dari Sahabat

bapakku adalah orang pertama yang membawaku mengarungi dunia buku
bapak yang menyediakan begitu banyak buku untuk ukuran sebuah keluarga
yang tidak begitu  berada.
anak-anaknya –ketika masih kecil- belum tentu dibelikan mainan,
bahkan kalau kami merengek sekalipun
tetapi untuk buku, ia hampir pasti memberikan buku yang kami minta

saat masih kecil itulah awal perjumpaanku dengan old shatterhand dan winnetou,
tokoh rekaan karl may di padang prairi amerika yang bukunya saat ini ada di tanganmu
seperti kata goenawan mohamad, “buku-bukunya telah memberi sesuatu yang berharga
di masa remaja kita, yaitu keindahan dan kekuatan persahabatan…”
dua hal yang aku harap akan kamu temukan
saat membaca lembar demi lembar buku-buku ini
juga pada saat kita menjalani sisa hari yang terserak dalam kembara panjang
persahabatan kita

howgh!
sahabatmu
*************************************************************
Demikian surat pengantar dari sahabat saya, akan sebuah hadiah yang sangat berharga yang saya dapatkan sore ini, empat jilid novel (Tetralogi) Winnetou, sebuah karya pamungkas dari Karl May.
Kali ini saya tidak akan menceritakan isi buku ini karena saya memang belum membacanya (mungkin jika sudah selesai nanti akan saya tulis ‘review’ -nya). Saat ini saya akan sedikit bercerita mengenai sahabat saya yang satu ini.
Kami berkenalan saat satu kelas di kelas satu SMA, disatukan pula dalam sebuah organisasi kerohanian di sekolah dan kemudian jadi sering ‘runtang runtung’ berbarengan. Kami dipisahkan oleh jarak ketika saya memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Yogya.
Sempat melanjutkan romantisme persahabatan kami dengan saling berkirim surat. Namun Seiring waktu kami tenggelam dalam urusan masing-masing. Ketika kembali ke Jakarta, sempat runtang-runtung lagi dan kemudian ‘berjauhan’ lagi setelah masing2 disibukkan urusan pekerjaan dan  kami mulai menjalan kehidupan berkeluarga. Ada rentang waktu panjang dalam beberapa periode saya kehilangan komunikasi dengannya. Rentang waktu panjang yang juga saya sesali, dimana saat itu saya seakan kehilangan identitas diri.
Saat ini, saat saya merasa mulai ‘nyambung’ lagi dengannya merupakan momen yang tepat untuk menghidupkan kembali semangat persahabatan sejati kami, yang kami ikrarkan saat SMA dulu, yang tidak dapat ternilai dengan apapun.
Pribadinya sangat saya kagumi. Seorang yang berkarakter dan punya prinsip kuat dalam menjalani hidup ini. Membuat  saya malu bila berkaca dan melihat yang saya temukan pada diri saya hanyalah bayangan seorang yang tidak punya pendirian dan cenderung menjadi seorang hipokrit.
Kegemarannya membaca membuatnya seakan akan jadi ‘Tuan Segala Tahu’ dan membuat saya kerap terbengong bengong tidak mengerti. Ketajaman pena dan naluri  jurnalistiknya membuat saya malu jika ia membaca tulisan saya.
Pengalaman hidupku sangat pelangi, begitu yang pernah dikatakannya. Membawa kebaikan bagi orang2 di sekelilingnya. Memberi pencerahan bagi sekian banyak orang. Sementara saya tenggelam menjadi seorang yang egois, selalu menutup mata terhadap dunia sekitar, dan tidak pernah berbuat apapun bagi sesama.
Seolah, di masa ‘kejauhan’ kami, dia banyak mempelajari beragam hal dalam hidup ini dan memaknainya. Sedang saya cuma menyia-nyiakannya dan melewatkannya begitu saja.
Demikian sekilas mengenai sahabat saya yang saya kagumi. Yang membuat saya sangat beruntung mempunyai teman sepertinya.
Sekarang saya mau baca dulu buku pemberian darinya...yaa..

Sahabat…
Betapa bahagia berjumpa
Salamku…
Untuk berbagi beban
Kita saling mengisi
Tak perlu kita sendiri…..
(Sung by : KLA Project, satu dari band kesukaan kami berdua)

Kelak..kita wujudkan mimpi kecil kita
Bergenggam tangan erat saat menjejakkan kaki di tanah tertinggi di Pulau Jawa.




Thursday, March 25, 2010

Ikutan Komen Soal Ditundanya Kunjungan Obama ke Indonesia

Kemarin pagi sewaktu istri saya baru memindah saluran TV dan melihat berita tentang batalnya kunjungan Presiden Amerika Barrack Obama yang sangat dinanti-nantikan sebagian masyarakat Indonesia, spontan ia berkomentar. “Alah-alah…kayaknya lebay banget deh! Orang tinggalnya di Indonesia waktu itu masih kecil, mana mungkin dia inget (tentang Indonesia). ” katanya. Saya yang tadinya ikut-ikutan bangga ketika presiden negeri yang sok jadi polisi dunia itu dengan fasih menyebutkan nama beberapa makanan yang dijajakan keliling seperti sate dan bakso jadi mikirin komentar istri saya tersebut.

Saya coba putar memori otak saya yang sudah mulai sering ‘heng’ ini ke masa ketika saya sekolah dasar. Karena sedari kecil saya  tinggal di Jakarta, mungkin lebih mudah bagi saya untuk mengingat masa-masa kecil saya. Mengingat-ingat suatu kejadian pasti berhubungan dengan para pelaku kejadian, yang dalam hal ini berarti apa yang saya lakukan bersama keluarga ataupun teman-teman saya di masa kecil dulu.

Kebetulan teman-teman sekolah dasar saya banyak yang berasal dari taman kanak kanak yg sama. Bahkan banyak juga yang melanjutkan ke SMP yang sama. Sepatutnya ingatan saya akan masa kecil saya di Indonesia (baca : Jakarta) lebih kuat dari ingatan Barrack Obama tentang Indonesia. Apalagi secara usia saya jauh lebih muda dibandingkan beliau. Apa bisa ya beliau ingat teman-teman main waktu kecil yang jelas jelas berbeda bangsa dan warna kulit, yang pastinya menyebabkan pula hambatan-hambatan dalam berkomunikasi?

Yang juga bikin saya tidak mengerti, bagaimana presiden kulit hitam pertama di Amerika itu bisa mengingat bahwa negeri ini adalah negeri yang kaya akan keragaman. Melihat keragaman di Indonesia membantu membuatnya mengerti dan memahami bahwa dunia ini penuh dengan keragaman, begitu kira-2 yang dikatakannya.

Duh..kayaknya waktu kecil dulu, nggak sempat terlintas oleh saya deh, mengenai keragaman ini (maksudnya apa yang saya alami sehari-hari secara empiris selain pelajaran mengenai ke-Bhinneka Tunggal Ika-an yang didapat dari sekolah). Bisa jadi mungkin sensitifitas dirinya sebagai orang asing yang membuatnya lebih peka akan situsi dan kondisi sosial di Indonesia. Namun saya jadi sempat berburuk sangka bahwa Obama baru mempelajari tentang Indonesia, negeri yg pernah jadi tempatnya bermukim, justru setelah ia dewasa.

Apapun, buat saya Obama akan bisa membuat saya bangga jika ia tidak ikut-ikutan seperti kedua bapak-anak Bush yang sok jadi polisi dunia, namun membunuh ribuan masyarakat sipil tak berdosa. Saya akan angkat jempol untuk Obama manakala Amerika tidak mendikte urusan politik dalam dan luar negeri kita, apalagi dengan ancaman embargo senjata seperti yang pernah mereka lakukan.

Come on, Barry! You need to prove that you are the best American President with your best policy and real action. Not only showing that you could perfectly mention names of Indonesian food. 

Saya katakan pada istri saya, “waktu saya kecil tinggal di Italia dulu  saya sangat suka Pizzzzzzzaaaaaa... dan waktu tinggal di Amerika saya selalu ingat akan tukang hamburgerrrrrrrr……….” (Emang sapa luhhh..)

Thursday, March 18, 2010

Surat Buat Anakku Tersayang

  
Beberapa bulan lalu, anak sulung saya diminta gurunya di TK B (nol besar) untuk membawa surat yang ditulis oleh orangtuanya. Rencananya surat tersebut akan dibacakan di muka kelas. Atas desakan mamanya anak2, akhirnya saya luangkan waktu saya di pagi hari, tepat pada saat giliran anak saya untuk menyerahkan surat itu.
Namun ternyata pada hari itu gurunya berhalangan hadir. Dan pada hari berikutnyapun surat tsb tidak jadi dikumpulkan.

Daripada hilang begitu saja, saya posting saja di blog ini. Mudah-2an suatu hari kelak anak saya akan membacanya.

Berikut isi suratnya
 
Buah hatiku…
Tak terasa kini usiamu sudah menjelang enam tahun. Rasanya baru kemarin ibumu melahirkan anak pertamanya. Engkau tumbuh menjadi bocah yang sehat dan ceria. Meski kadang juga masih sering cengeng dan menjengkelkan. Ahhh…itu sangat lazim bagi anak-anak seusiamu.
Ayah dan Mama memakluminya, meski terkadang kami marah dan berlaku keras menghukummu jika nakal. Maafkan kami karena kadang kami kelewatan, menganggapmu sebagai orang dewasa, lupa bahwa kamu hanyalah anak kecil.
Percayalah bahwa apa yang kedua orangtuamu lakukan semua adalah untuk kebaikanmu kelak. Agar engkau bisa membedakan mana yang baik atau buruk, dan tumbuh menjadi manusia yang berbudi dan berakhlak baik.

Ananda yang pintar….
Meski saat ini engkau belum lancar membaca, namun ayah dan mama cukup gembira melihat perkembanganmu. Memang selama ini kami sadar, bahwa terkadang kami sendirilah yang malas dan tidak mau meluangkan waktu buat mengajarimu.
Belajarlah lebih giat lagi. Karena di zaman yang penuh kompetisi ini segalanya hanya bisa diperoleh melalui ilmu. Jika engkau sudah pandai membaca, banyak-banyaklah engkau membaca. Karena buku adalah jendela dunia.

Kakak yang maniezzz…….
Rukun rukunlah selalu dengan adikmu. Terkadang ayah dan mama berlaku tidak adil denganmu. Sebagai anak pertama engkau sering dipaksa untuk mengalah dengan adikmu di usiamu yang masih terlampau muda. Sayangilah adikmu dan jangan sering berantem lagi memperebutkan sesuatu. Adikmu memang nakal. Tapi percayalah, itu juga hanyalah bagian dari kenakalan anak-anak. Sama nakalnya dengan dirimu saat engkau seusianya.

Ziyan yang cantik…
Semoga kami bisa mendidik engkau dan adikmu, untuk bisa terus saling mengasihi hingga kalian dewasa nanti. Mempunyai keluarga yang bisa dibanggakan adalah impian ayah, sebagaimana kakek dan nenek kalian mendidik ayah dan tante tantemu hingga seperti sekarang ini. Kamu bisa melihat bagaimana rukunnya kami, saling mengasihi dan mendukung satu sama lain. Ketahuilah bahwa sesuatu yang dibanggakan itu tidak selalu diukur dengan kesuksesan karir, banyaknya harta dan kekayaan.

 
Mentari kecilku…….
Bersinarlah terus. Tuntutlah ilmu sampai batas kemampuanmu. Jadilah orang yang selalu haus akan ilmu. Selami luasnya samudera ilmu dan jelajahilah seluruh penjuru bumi Allah nan luas untuk memperolehnya. Bermimpilah dengan cita-citamu setinggi-tingginya. Lalu berusahalah semampumu dan buatlah rancangan mengenai apa yang harus engkau lakukan untuk mengejar dan mewujudkan mimpi-mimpimu.

 
Cahaya mataku….
Sembahlah Tuhanmu dengan mentaati dan menjalankan segala yang diperintahNya dan menjauhi segala laranganNya. 
Jadilah anak yang shalihah dan berbakti kepada kedua orangtuamu. Balajarlah ilmu agama karena ilmu agama adalah ilmu yang diwajibkan oleh Allah untuk kita pelajari. Dengan agama yang baik manusia akan memperoleh keselamatan di dunia dan akhirat. Percayalah selalu janji Allah bahwa akhirat itu lebih baik dan lebih kekal. Maka barangsiapa yang mengejar (kehidupan) akhirat, ia akan memperoleh keduanya (dunia dan akhirat). Sedangkan yang cuma mengejar (kehidupan) dunia, maka ia hanya akan mendapatkan dunia saja.
Maka ingatlah selalu bahwa kelak kita semua akan mati. Dan yang akan dibawa untuk kehidupan setelah mati nanti hanyalah amal yang kita kerjakan selama di dunia.
Oleh sebab itu, jangan pernah kaugadaikan agamamu hanya untuk memperoleh kenikmatan dunia yang semu.

Anakku tersayang…
Mungkin banyak kata-kata ayah di surat ini yang tidak engkau mengerti. Maafkan ayah karena ayah tidak begitu paham bahasa anak-anak. Untuk itulah engkau ayah titipkan kepada gurumu di sekolah untuk belajar. Patuhilah gurumu selalu karena merekalah orangtuamu di sekolah. Merekalah yang punya andil besar dalam menambah ilmu dan pengetahuanmu.
Kelak jika penguasaan kosa kata-mu bertambah banyak, engkau akan mengerti dengan sendirinya.

Cintaku....
Udah dulu ahh…ayah mau siap-siap berangkat kerja…

Dari ayah, yang selalu berharap yang terbaik untuk putra-putrinya.



Bagiku
Kau adalah gerimis
Adalah butir-butir udara
Adalah pucuk dedaunan

Bagiku
Kau adalah waktu
Yang dipenuhi matahari terbenam
(Asma Nadia)

Happy General Election Everyday!



Beberapa bulan belakangan ini saya tidak pernah lagi mengkhususkan diri menonton acara berita di televisi. Saya lebih banyak menonton film dan melihat acara acara bertema petualangan di tempat tempat eksotis di nusantara yang menarik minat saya.

Entahlah, rasanya bosan melihat tingkah polah para eksekutif dan legislatif negeri ini yang mempertontonkan lawakan kelas wahid. Jenuh melihat frekuensi dan intensitas kriminalitas yang telah dengan sukses membunuh nurani saya sehingga tidak lagi bergidik ngeri. Pun muak dengan sandiwara para selebritis yang mengaku sebagai seniman negeri ini yang membuat saya tidak mampu lagi membedakan apakah yang sedang mereka pertontonkan adalah lakon kehidupan di dunia nyata ataukah mereka sedang berakting di layer kaca.

Duhhh…seharusnya saya tidak mudah menggeneralisir segala sesuatu. Sebelumnya saya mohon maaf kepada pribadi tokoh-tokoh yang berada dalam ‘zona pengecualian’. Entahlah, sikap saya tersebut bisa mewakili kegundahan sebagian besar masyarakat marginal negeri ini atau tidak. Saya tidak mau ke-ge-er-an sebagaimana para mahasiswa yang merasa telah mewakili rakyat, namun saya sendiri merasa tidak terwakili dengan aksi aksi mereka yang belakangan cenderung anarkhis dan jauh dari sikap elegan sebagai agents of social changes.
 
Rasanya pesimis sekali mengharapkan bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dimata dunia internasional dengan kondisi seperti ini. Bangsa ini akan makin terpuruk saja dengan tontonan sehari-hari seperti ini.  Sikap skeptis dan apatis  saya  hanya  karena  vonis  pribadi  saya  terhadap  sebuah benda elektronik?
 
Televisi. Ya…benda ajaib bersegi empat itu kini merupakan produk elektronik buatan manusia yang paling ngetop di kolong langit ini. Lihatlah bagaimana pesawat yang tidak bisa terbang itu merubah peradaban umat manusia. Coba perhatikan  berapa jam dalam sehari tiap-tiap anggota keluarga anda memelototi kotak bergambar dan bersuara itu. Atau pasti anda juga pernah mengalami pemadaman listrik oleh PLN di malam hari dan pada saat itu anda berpikir betapa sepinya dunia tanpa televisi.
 
Nah..mengingat perannya yang sangat dominan dalam kebudayaan manusia tersebut, kita layak dan berhak mendapatkan tontonan yang mendidik, menghibur dan memberikan nilai tambah bagi peradaban. Bukan tontonan yang menumbuhkan rasa bosan, jenuh dan muak seperti yang saya alami.
 
Jika saat ini masih ada stasiun-stasiun televisi yang mempunyai cara pandang yang sama dengan saya, sedang sebagian besar yang lain hanya mengejar rating dan profit semata, maka di tangan kitalah (maksudnya benar-benar dalam artian harfiah ; memindah-mindah saluran menggunakan remote-control) televisi akan memberi pengaruh yang positif atau negatif pada kehidupan kita.
 
Ingat ! Sebagaimana pemilu, kita adalah pemilih yang bebas memilih. Dan jika anda salah memilih, akan ada konsekuensi logis yang harus anda tanggung, meski bentuk konsekuensi itu mungkin tidak anda rasakan untuk saat ini.
 
Happy General Election Everyday!
 

Monday, March 15, 2010

Kenapa juga mesti pake ID Roelkent?

Bukannya mau gaya-gayaan. Tapi segala  sesuatu pasti ada  sebab musababnya tho?  Begini ceritanya..

Sejak dulu (terutama sejak saya menggunakan kacamata) banyak yang bilang saya mirip ‘CK ‘ (Clark Kent) alias Superman. Dari perspektif mana ya ngeliatnya? Mirip alm. Christopher Reeve bintang Superman versi jadul,  kagak. Dean Cain di Lois & Clark enggak juga, Tom Wellington si Smallville apalagi. Brandon Routh di Superman returns? mungkin rada mirip (milih yang paling kece). Tapi ya sutralahh…

Yang pasti guru bahasa Inggris saya pun memanggil saya Mr. Kent. Diterima aja lah. Toh dia superhero kesayangan banyak anak-anak di seluruh dunia, termasuk saya sendiri meskipun sangat Amerika, negeri yang sok hebat itu. Salah sendiri Indonesia  nggak mampu menciptakan sosok pahlawan super yang namanya mendunia.

Walhasil sewaktu saya membuka akun email di yahoo kebingungan karena nama saya sudah banyak yang pake, terintaslah nama ini, gabungan panggilan nama saya dan si wartawan kikuk samaran pahlawan super. Akhirnya akun YM saya menggunakan ID ini pula, nama yang pernah langsung di-reject oleh kawan saya karena mungkin dikira spam.

Adapun alasan membuat blog ini adalah untuk menyalurkan hasrat menulis saya, meskipun mungkin cuma sedikit orang atau bahkan tidak ada yg membaca tulisan saya. Yahh..itung itung nulis diary lahh..syukur syukur  kalo ada yg mau baca.

So..nyoba terus nulis ahhh..daripada sering ngelamun bengong nggak disalurin..

 

Catatan Perjalanan Ke Kepulauan Seribu

Liburan ke Kepulauan Seribu biayanya mahal? Ya! Itu kalau anda mengunjungi resort dan berangkat dari pelabuhan Marina Ancol. Ingin mencoba kesana dengan budget lebih ringan? Mungkin bisa simak perjalanan saya ke Kepulauan Seribu bersama dua orang sahabat saya berikut ini.

Tadinya kami bermaksud naik bis dan angkot untuk mencapai Muara Angke. Namun berhubung hari libur dan takut ketinggalan kapal, maka selepas subuh kami naik taksi langsung ke dermaga Muara Angke. Sekitar pukul 6.00 kami tiba di Muara Angke. Segera saja bau-bau ‘sedap’ menyambut kedatangan kami.

Benar saja, sesampainya disana kapal sudah penuh dan akan segera berangkat ke Pulau Tidung. Ternyata kapal yang jadwal berangkatnya sekitar pikul 07.15 itu langsung angkat sauh begitu penumpangnya penuh.

Pukul 06.15 kapal kami berangkat menuju ke Pulau Tidung. Karena cuaca cerah (padahal beberapa hari sebelumnya Jakarta selalu diguyur hujan di pagi hari), kami duduk di bagian luar (atap kapal).  Kapal ferry ini mengangkut penduduk Pulau Tidung dan wisatawan2. Saya lihat beberapa sepeda motor juga diangkut kapal ini. Soal keamanan? Hehehe…Orang  Indonesia gitu Loohhh… Rasio life vest yang dibawa kapal ini dengan jumlah penumpang seperti anak perawan di sarang penyamun (hahaha…Jaka Sembung!!). Tapi ini justru memicu adrenalin lhoo…(khususnya buat orang yang berpikir keselamatan)
 
Selang beberapa saat setelah kapal angkat sauh, terlihat siluet deretan apartemen Re**ta yang seakan mempertontonkan keangkuhan metropolis, menghadap menantang perairan Laut Jawa, menjulang tinggi ke langit di bibir pantai Teluk Jakarta
 
Aihh..indahnya cuaca hari itu. Sambil berkelakar saya katakan pada teman saya kalau malam sebelumnya saya sudah mengadakan kesepakatan dengan Poseidon, sang dewa penguasa laut dalam mitologi Yunani.
Sekitar 3,5 jam kemudian kapal kami merapat di Pulau Tidung setelah ditarik ongkos Rp. 33 rb/orang. Seorang penduduk setempat (kenalan kami) menjemput kami di dermaga. Kamipun langsung menuju kantor sebuah instansi tempatnya bekerja yg akan kami gunakansebagai tempat kami menginap.
Sebetulnya ada beberapa losmen yang disewakan disana. Tarifnya sekitar 250 rb – 300 rb-an/malam. Namun saat itu bersamaan dengan rombongan dari Ca**on Adventure yang membooking hampir seluruh penginapan di pulau kecil tersebut. Untungnya kami sudah ada tempat menginap, meski itu sebuah kantor..hehe..

Setelah mengaso sejenak, kami berkeliling seputar lokasi penginapan, mencari sepeda yang bisa disewa dan untuk mengelilingi pulau. Namun ternyata sepeda sepeda sudah habis  disewa oleh rombongan Ca**on Adventure. Untuk mengisi perut, kami mampir di sebuah warung mie di dekat dermaga.


Kebetulan hari itu hari Jum’at. Segera kami mandi dan sholat Jum’at. Kata kenalan kami, penduduk di pulau tersebut 100% muslim.
Seusai Jum’atan kami segera berjalan kaki ke ujung timur pulau Tidung Besar (di pulau kecil ini tidak ada mobil lho). Di tengah jalan kami melihat ada sebuah perahu besar sedang dikerjakan. Kami mampir di tempat pembuatan kapal Ferry tersebut dan ngobrol dengan pembuatnya. Rencananya kapal itu akan menjadi kapal  Ferry terbesar di antara kapal2 yg ada di Pulau Tidung dan Pramuka. Katanya biaya pembuatan kapal kayu tsb setara dengan  2 unit avanza versi termahal !! Wauww…!!



Di ujung barat pulau tsb ada sebuah jembatan panjang yang menghubungkan pulau Tidung Besar dan pulau Tidung Kecil. Mungkin panjang jembatan tersebut sekitar 200 an meter. Di beberapa bagian, jembatan tsb dibuat melengkung untuk memudahkan kapal2 atau perahu yang lewat.. Di bawahnya, gradasi warna biru laut hingga hijau tosca  memanjakan mata kami…ambooyyy…….

Beberapa wisatawan berenang disekitar jembatan. Beberapa sedang snorkeling. Beberapa orang menjajal adrenalin dengan lompat ke laut melalui jembatan yang melengkung tadi. Saya tergoda untuk ikut melompat. Kami harus melihat ke belakang dulu, memastikan tidak ada perahu atau kapal yang sedang lewat. Beberapa saat saya sempat ragu-ragu karena lengkungan jembatan itu cukup tinggi, sekitar 5-6 meter dari permukaan laut. Setelah melihat cewek-cewek juga ikut melompat, waduh ..gengsi dong kalau nggak berani. Akhirnya…byurrr…..tahu-tahu asinnya air laut langsung saya cicipi.

Saya segera ke tepi dan menyewa peralatan snorkeling pada seseorang yang sedang mengurusi rombongan wisatawan. Berhubung ini pengalaman pertama saya snorkeling, rupanya sulit juga menyesuaikan gerakan kaki (dengan sepatu katak) dan menggunakan maskernya. Namun lama kelamaan mulai terbiasa dan kamipun snorkeling di area bawah jembatan Pulau Tidung Besar – Tidung Kecil. Airnya jernih. Karangnya lumayan bagus, namun agak kurang colourful. Kebanyakan berwarna cokelat. Mungkin karena pulau tsb merupakan tempat pemukiman. Atau barangkali waktu pembuatan jembatan sedikit mencemari karang2nya.
Maka kamipun tergoda untuk tidak lekas kembali ke Muara Angke dengan satu-satunya kapal Ferry dari Pulau Tidung-Muara Angke yang berangkat sekitar 07.00 – 07.30 pagi.
Menjelang maghrib, kami bergegas berjalan ke ujung barat pulau dan berharap melihat sunset. Sayangnya matahari kurang terlihat jelas karena faktor cuaca, sehingga kurang indah sewaktu diabadikan dengan lensa.
Malamnya, setelah kongkow-kongkow di atas kapal yang tertambat di dermaga (sempat tidur-tiduran beratapkan langit dan menikmati gemintang), kamipun memutuskan kembali ke tempat menginap untuk beristirahat.
 
Paginya, setelah sholat subuh kami bergegas ke ujung timur pulau lagi untuk mengejar sunrise. Rupanya banyak pula wisatawan yang mengkayuh sepeda dengan cepat ke arah yang sama dengan tujuan yang sama pula. Sesampainya di jembatan, banyak fotografer membidikkan lensa ke arah matahari terbit. Saya sempat putus asa karena matahari tak kunjung muncul. Padahal hari sudah mulai terang.
 
Tiba-2 muncullah sang surya yang ditunggu-tunggu, meski psosisinya sudah agak naik sekitar 30 derajat dari horizon. Disaat semua orang mengarah ke jembatan, kami menemukan spot yang cukup eksotis. Di ujung tanggul pemecah ombak, ada tiga buah perahu nelayan tertambat dan menghadap langsung ke arah matahari terbit. Habis-habisan deh kami ‘begaye’..hehe...  
Setelahnya, segera saya menelpon penyedia jasa perahu ke pulau pramuka. Rencananya kami akan kembali ke Muara Angke melalui ferry dari Pulau Pramuka yang berangkat sekitar jam 1 siang. Setelah tawar menawar disepakati harga sewa Rp. 350 rb termasuk menyewa peralatan snorkeling.
 
Pukul Delapan pagi kami meninggalkan Pulau Tidung menggunakan perahu karet. Di tengah laut kami melihat rombongan ikan-ikan tongkol melompat dikelilingi camar-camar laut yang menanti mangsa (kereeennnn….eeuuyyy!!). Sayangnya   waktu kami mendekat, mereka langsung bubar jalan..(eh….bubar berenang dan bubar terbang ding..)
Di dekat Pulau Air, terdapat spot untuk snorkeling yang bagus. Kami lihat beberapa perahu nelayan mengelilingi spot snorkeling tsb,  menunggu wisatawan yang sedang snorkeling. Perahu karet kamipun segera bergabung dan byuuurr…saya langsung nggak sabar menikmati secuil dari keindahan keragaman hayati bahari negeri kita ini.
Benar saja…mata kami segera disuguhi panorama bawah laut yang eksotis. Setelah puas snorkeling, kami berhenti di sebuah spot di Pulau air untuk mengambil foto-foto. Namun karena Pulau Air merupakan sebuah resort, kami hanya mendekati pulau sebuah pulau2 kecil di sekitarnya.
Setelah itu kamipun melanjutkan perjalanan ke Pulau Pramuka. Kami mampir di sebuah tempat makan yang meyediakan kamar mandi untuk bilas. Pulau Pramuka terlihat lebih ramai karena pulau ini merupakan kota administratif di kepulauan seribu. Terlihat bangunan bangunan yang cukup besar seperti Rumah Sakit Umum Daerah dan masjid  yang cukup besar. Tempat penyewaan peralatan scuba-diving dan snorkeling pun terlihat dari dekat dermaga.
Setelah mampir sejenak ke tempat budi daya penyu, kami segera menuju masjid besar di dekat dermaga untuk sholat dan menunggu kapal yang akan berangkat ke Muara Angke. Benar saja, ramainya pengunjung di hari-2 tsb membuat penumpang berebut naik begitu kapal ferrynya merapat. Kamipun memaksakan diri naik dan duduk di ruang nakhoda, meski katanya akan ada satu kapal lagi saking banyaknya calon penumpang.
Sayang sekali kepulangan kami harus diwarnai sebuah insiden yang cukup mengganggu. Dua kali kapal kami mogok dan terapung apung di laut karena kehabisan solar. Rupanya tanki solarnya bocor. Untung saja ombaknya tidak besar sehingga kami tidak sampai mabuk laut. Beruntung ada kapal lain yang mau memberi solar ke kapal kami dan kamipun bisa melanjutkan perjalanan. Ketika apartemen Re**ta mulai terlihat kapal kami mogok lagi. Cukup lama dan membuat kami mulai khawatir karena awan hitam mulai terlihat di kejauhan. Jam menunjukkan sekitar pukul 4 sore dan untuk menghibur diri, saya kembali berkelakar, “kesepakatan aku dengan Poseidon cuma sampai setengah lima sore, namun kapal yang mogok diluar tanggung jawabnya”
Akhirnya sekitar 16.30 sampai juga kami di Muara Angke. Sebelum pulang, kami mampir ke pasar ikan dan membeli ikan dan cumi2 untuk oleh-oleh. 






  






Wednesday, March 10, 2010

Kebohongan Kecil = Dosa Kecil (?)

Hari ini mesti saya awali dengan sebuah kebohongan (lagi).
Untuk kesekian kalinya PM (dulu Provoost-Red) Halim memberhentikan kendaraan saya ketika akan berangkat ke kantor melewati Halim. Tentu saja, tanpa stiker khusus saya tidak diperkenankan memasuki daerah yang jalan-jalannya bukan merupakan jalan untuk umum tersebut. 

Alasan saya harus melewati Halim untuk route berangkat ke kantor cukup sederhana saja sebetulnya.
Pertama, tentu saja menghindari kemacetan akses ke Jakarta dari arah Pondok Gede dengan melewati komplek AURI yang lengang.
Kedua, siapapun mafhum bahwa Halim merupakan satu dari sedikit paru-paru Jakarta yang masih tersisa. Sejenak memanjakan paru-paru sendiri, tentu boleh dong.
Faktor ketiga, nostalgia kenangan akan lingkungan dan atmosfir tempat saya melewatkan sebagian besar dari masa kecil dan remaja saya (cailee…mentang-mentang habis reunian SMP di Halim..hehe..)

Kembali ke Pak PM, beliau berkata,”Mau kemana Pak?”
Saya jawab,”Saya warga Dwikora Pak” (menyebut nama sebuah komplek di dalam Kelurahan Khusus Halim tempat keluarga saya dulu tinggal selama lebih kurang dua puluh tahun) seraya menyebutkan kata “mantan/eks” dalam hati untuk sedikit menghapus rasa bersalah saya. Dan saya pun segera dipersilahkan melewati pos pemeriksaan dan melanjutkan perjalanan.

Tiba-tiba, segera benak saya melayang ke sebuah tempat di padang Kurusetra kancah tempat berkecamuknya perang kolosal Baratayudha.

Alkisah, untuk menghentikan sepak terjang Begawan/Resi Durna (Drona), sang guru dan penasehat Kurawa, pihak Pandawa menggunakan sebuah strategi yang bisa dibilang agak licik. Dibuatlah sebuah issue yang mengabarkan bahwa Aswatama, putra kesayangan sang resi telah gugur di medan perang. Dengan demikian diharapkan sang  begawan akan kehilangan semangat hidupnya begitu mendengar kabar kematian putranya.

“Sebelum perang, Bagawan Drona pernah berkata, "Hal yang membuatku lemas dan tidak mau mengangkat senjata adalah apabila mendengar suatu kabar bencana dari mulut seseorang yang kuakui kejujurannya". Berpedoman kepada petunjuk tersebut, Sri Kresna memerintahkan Bhima untuk membunuh seekor gajah bernama Aswatama, nama yang sama dengan putera Bagawan Drona. Bhima berhasil membunuh gajah tersebut lalu berteriak sekeras-kerasnya bahwa Aswatama mati. Drona terkejut dan meminta kepastian Yudistira yang terkenal akan kejujurannya. Yudistira hanya berkata, "Aswatama mati". Sebetulnya Yudistira tidak berbohong karena dia berkata kepada Drona bahwa Aswatama mati, entah itu gajah ataukah manusia (dalam keterangannya ia berkata, "naro va, kunjaro va" — "entah gajah atau manusia"). Gajah bernama Aswatama itu sendiri sengaja dibunuh oleh Pendawa agar Yudistira bisa mengatakan hal itu kepada Drona sehingga Drona kehilangan semangat hidup dan Korawa bisa dikalahkan dalam perang Bharatayuddha” (sumber kutipan : Wikipedia)

Konon, karena “kebohongan kecil” yang berakibat besar tersebut Yudhistira alias Puntadewa mendapat ganjaran dari para dewa secara langsung. Sebelumnya, karena tidak pernah berbohong Yudhistira mendapatkan reward yakni roda kereta perangnya tidak pernah menyentuh tanah alias terbang diatas tanah. Namun setelah kebohongan tersebut, ia pun harus menuai punishmentnya; roda keretanya amblas ke dalam tanah seketika.

Kembali ke cerita saya, saya jadi memikirkan apakah ganjaran yang akan saya daptkan nantinya bagi kebohongan kecil yang saya lakukan secara sadar dan berulang-ulang di atas. Mengingat yang saya lakukan juga bukan kategori “white lie”, sebuah idiomatik bahasa Inggris yang digunakan untuk sebuah kebohongan yang harus dilakukan untuk suatu tujuan yang baik.

Kebohongan yang dilakukan Yudhistira bertujuan melindungi kelangsungan perikehidupan manusia, yaitu agar Pandawa (sebagai lambang kebaikan) dapat mengalahkan Kurawa (sebagai lambang kejahatan dan keserakahan).
Sedangkan kebohongan yang saya lakukan sama sekali tidak bermanfaat bagi orang lain, melainkan hanya menguntungkan diri saya sendiri.

Rasulullah SAW pernah bersabda: “Tidak ada dosa besar yang disertai istighfar dan tidak ada dosa kecil yang dilakukan secara berulang-ulang.”

Peradaban ini berikut derasnya arus materialisme dan hedonisme telah membentuk sebagian besar manusianya menjadi semakin permisif terhadap berbagai jenis pelanggaran (baca : dosa) terhadap norma norma kehidupan yang disepakati oleh umat manusia (nyaritemendotcom).. He3 

Korupsi sampai trilyunan rupiah dimulai dari berbohong. Pembunuhan berencana tidak lepas dari kebohongan. Punya istri simpanan, pasti akan berbohong. Perdebatan konyol pasangan artis-artis (saat perceraian) di infotainment, diwarnai dengan banyak kebohongan. Betapa seringnya kita membohongi anak-anak kita dengan penuh kesadaran bahwa mereka hanyalah anak-anak yang mudah dibohongi. Betapa banyaknya kebohongan di sekitar kita dan melingkupi atmosfir kita.

Alangkah ringan dan mudahnya kita melakukan kebohongan-kebohongan. Jika sudah demikian terbiasanya, masih dapatkah nantinya kita mengajarkan anak-anak kita mengenai arti sebuah kejujuran? 

Ketika seorang pemuda yg gemar berjudi, berzina dan minum minuman keras menghadap Rasulullah untuk masuk Islam dan bertobat kekasih Allah itu cuma mengatakan “Ucapkanlah kalimat syahadat, dan jangan berbohong setelah itu!”. Tentunya kita tahu kesudahan cerita tersebut.

Ahh…saya bukan Yudhistira…apalagi Rasulullah. Pula, banyak dosa-dosa lain yang saya perbuat jauh lebih berat kadarnya dibandingkan sekedar membohongi Pak PM seperti tadi (mohon maaf ya Pak PM?!).

Duh Gusti Allah.
Jadikan sholat-sholat kami sebagai pelebur dosa-dosa yang kami lakukan diantara waktu-waktu sholat kami..ya Allah..