Saturday, April 24, 2010

Sholat Subuh Berjamaah di Masjid

Ada sebuah nuansa berbeda yang saya rasakan saat sholat subuh berjamaah di masjid.  Saya seperti merasakan sedang sholat bersama calon-calon penghuni surga.  Pernah seusai sholat dan kultum, saya ikut bersalaman dengan mereka sesudahnya.  Dan yang saya bayangkan adalah saya sedang bersalaman dengan wajah-wajah ahli surga.  Tentu saja ini sekedar perasaan saya saja.  Sebab yang berhak menentukan seseorang akan masuk surga atau neraka hanyalah Allah SWT.

Namun jelas saya merasa rendah diri ketika bersama-sama mereka yang konsisten menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid.  Mereka yang mengawali aktifitas di pagi hari dengan ritual yang sangat tinggi nilainya di hadapan Allah SWT.  Tidak seperti saya yang 'angin-anginan' dan sering memanjakan raga saya dengan menunda-nunda sholat subuh dan akhirnya hanya sholat di rumah dengan berbagai berbagai macam dalih.
Padahal saya ingat ucapan seorang ustad saya, Ustad Furqon al-Faruqiy -Semoga Allah memuliakan beliau-, "Jangan biasakan berdalih dengan Allah.  Allah sangat tidak suka bila kita banyak dalih ketika kita malas beribadah kepadanya".

Sebetulnya banyak juga manfaat lain yg saya rasakan ketika mengerjakan sholat subuh di masjid.  Berjalan kaki di pagi hari ke masjid saat udara segar merupakan olahraga ringan namun menyegarkan di pagi hari.

Menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid bukan perkara ringan.  Buktinya tidak banyak orang yang istiqomah mengerjakannya.  Attendance record saya di buku absen malaikat pasti timbul tenggelam saking banyaknya absennya.  Bahkan di puncak kemalasan, kadang sampai berbulan-bulan saya tidak sholat subuh di masjid.

Teringat saya akan ceramah seorang ustad di masjid, bahwa seorang petinggi Yahudi pernah berkata, "Yang kita takuti bukanlah banyaknya umat Islam berkumpul pada saat Sholat Jum'at.  Bukan pula banyaknya umat Islam saat sholat Ied.  Bahkan bukan pula banyaknya umat Islam berkumpul di padang Arafah saat menunaikan ibadah haji.  Yang harus kita takuti adalah ketika kita melihat banyaknya umat Islam menegakkan sholat subuh berjamaah di masjid."

Ini sangat masuk akal sebetulnya.  Begitu banyak dalih atau alasan kita ketika kita tidak mengerjakannya.  Buru- buru siap-siap ke kantor-lah, hawa dingin-lah (apalagi bila harus mandi janabah sebelum sholat), kurang enak badan-lah.  Ahh…panggilan Allah itu bahkan kita kesampingkan dengan seribu macam dalih yang lebih sepele lainnya.  Beberapa kali sepulang sholat Subuh di masjid saya melihat warnet game online masih dipenuhi remaja2 yg mungkin tidak tidur semalaman karena asyiknya main game.

Rasulullah SAW bersabda,"Sholat yang paling berat bagi orang-orang munafik adalah sholat Isya dan Sholat Subuh".  Banyak sekali fadhilah (keutamaan) sholat subuh berjamaah yang bisa kita baca di artikel artikel di internet.

Semoga Allah kuatkan azzam saya untuk dapat terus memenuhi panggilan suciNYA di waktu subuh, untuk mengawali aktifitas harian saya dengan sesuatu yang disukai oleh Allah SWT.

Monday, April 12, 2010

Sebulan Nge-Blog (Antara Foto, Blog dan Menulis ‘Note’ di FB)

Tak terasa sudah sebulan usia blog saya. Sebagai pemula, waktu sebulan yang cukup produktif buat saya. Hal ini dikarenakan saya ingin segera memenuhi halaman blog saya supaya tidak terlihat kosong. Mudah-mudahan bukan sekedar ‘hangat-hangat tahi ayam’ semangat di awal saja dan melembek sesudahnya. Meskipun saya sadar nantinya produktifitas saya bisa saja turun drastis di saat kebosanan melanda dan tidak ada mood sama sekali buat menulis di blog.

 

 

Memiliki sebuah blog dan keinginan untuk menulis ternyata membawa dampak positif, setidaknya buat saya pribadi. Betapa keinginan untuk berbagi cerita dan menulis jurnal pribadi membuat saya berusaha untuk lebih memaknai peristiwa-peristiwa dan kejadian-kejadian yang saya lihat dan saya alami sendiri sehari-hari, Betapa selama ini perjalanan hidup saya tidak terdokumentasikan secara naratif, karena memang saya tidak pernah membuat diary secara khusus. Masih mendingan lah..saya menyimpan cukup banyak foto-foto.

 

Foto memang bisa ‘berbicara’. Namun bukan menurut orang yang ada dalam foto tersebut melainkan menurut imajinasi orang yang melihatnya. Dan kebanyakan foto-foto yang saya simpan hanyalah momen-momen liburan dan foto-foto bersama teman-teman saya. Bukan bermaksud ‘mengecilkan’ arti foto. Namun, ya begitu-lah. Kebanyakan wajah-wajah gembira para ‘banci foto’, istilah gaulnya. Tap tak bisa dipungkiri, melihat album foto membantu kita mengingat teman-teman, saudara-saudara dan momen-momen yang kita lewatkan bersama mereka.

 

Bila foto lebih mengeksplorasi obyek, angle, background, lighting dan bermacam teknik fotografi (yang tidak saya kuasai) lainnya, menulis buat saya merupakan bentuk ekspresi lain yang tidak tertangkap oleh kamera. Menulis memerlukan keberanian untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan kita, yang tidak semua orang berani melakukannya.

Fenomena facebook berperan positif untuk masalah ini. Bagaimana untuk menulis/updating status misalnya, orang-orang berani mengungkapkan hal-hal apa yang sedang dikerjakan atau terpikirkan olehnya. Saya perhatikan betapa orang-orang yang dulu saya kenal pendiam pun, saat ini malah aktif mengupdate statusnya di FB.

 

Facebook memang menyediakan aplikasi ‘note’ yang fungsinya saya pikir sama dengan blog. Namun buat saya, rasanya koq lebih nyaman untuk menulis di blog ya?

Nggak tau aja, namun memang menulis di blog sendiri dengan bikin ‘note’ di FB memang ‘taste’-nya beda (setuju nggak?).

Makanya setelah saya jenuh fesbukan, saya baru pingin nge-blog. Mungkin kebalikan dari blogger-blogger yang sudah senior yang sudah sejak lama nge-blog dan ketika fenomena facebook muncul, baru ikut fesbukan.  

 

Yo wisss….Keep on Writing, lahhh…!!!

 

Tuesday, April 6, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya (bagian 2 - selesai)

(Mesti baca dulu cerita sebelumnya)

Baru paginya kisah tentang Zahra saya posting, sorenya menjelang Ashar, Zahra dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Malam sebelumnya Saka (sahabat saya dan Risyad juga) bermimpi melihat Zahra bisa bicara lancar dan berjalan sebagaimana anak-anak yang sehat. Barangkali teman saya ini mimpi melihat Zahra sedang bermain di sebuah taman di surga.

Sebetulnya saya akan tulis cerita ini di hari itu juga. Namun karena kelelahan (baru pulang ke rumah pukul 22.30 WIB setelah sejak siang menemani ayah Zahra di RS dan ikut prosesi penguburan dll),  maka baru hari ini sempat menulis kisah lanjutannya.

Saya dan Saka menunggu di ruang tunggu ruang PICU ketika Zahra meninggal. Kami langsung berangkat ke rumah sakit begitu mendengar kabar dari Adi, seorang sahabat kami juga bahwa Risyad sudah mengisyaratkan bahwa kemungkinan sembuh bagi anaknya sangat kecil.

Menurut ayahnya Zahra meninggal dunia dengan tenang, tidak sampai muntah darah dsb, seperti yang biasa dialami penderita penyakit berat lainnya. Diagnosa terakhir adalah infeksi paru. Sebagaimana saya sebutkan di tulisan pertama bahwa dokter spesialis parunya mengatakan bahwa fungsi kerja parunya tinggal sekitar 30 %.

Risyad, ayah Zahra Cuma mengatakan, “Selesai sudah” sekeluarnya dari ruang PICU. Saya peluk sebentar teman saya tersebut dan melihat sekilas raut kesedihan di wajahnya, meski ia tetap berusaha tegar dan mengatakan bahwa saat ini dia lebih tegar karena pada hari pertama Zahra masuk PICU dokternya sudah memberikan pilihan yang sulit, yaitu mau dipasangkan alat bantu pernafasan, dengan resiko ketergantungan pada alat tsb menjadi tinggi, atau tidak sama sekali. Dan Risyad memilih opsi yang terakhir karena ingat kasus Pak Harto yang di akhir hidupnya tergantung pada peralatan medis yang dipasang di tubuhnya.

Zahra dibawa pulang dari RS menggunakan ambulans. Gerimis mengiringi kepulangan bocah kecil, putri satu-satunya sahabat saya tersebut.

Setelah sholat maghrib berjamaah di musholla dekat rumahnya, Risyad masuk membopong jenazah putrinya untuk disholatkan. Saat itu juga saya membayangkan seandainya saya ada di posisinya. Membayangkan bahwa bocah kecil dalam bungkusan kain itu adalah anak saya sendiri membuat perasaan saya tidak karuan saking terharunya.

Risyad menjadi imam sholat jenazah bagi putrinya tsb. Setelahnya jenazah dibawa ke pemakaman malam itu juga untuk dimakamkan. Lagi-lagi Risyad sendiri yang masuk ke liang lahat dan menguburkan darah dagingnya tersebut.

Kembali ke rumah duka waktu sudah masuk Isya dan segera kami sholat berjama’ah di musholla. Selesai sholat di rumah duka diadakan taushiyah oleh Ustad Syaikhu, guru mengaji Risyad yang dating bertakziyah malam itu.

Isi taushiyahnya baguuuusss…sekali. Mata saya sampai tidak lepas dari memandang Ustad Syaikhu yang menerangkan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kematian.

Cara penyampaiannya sangat baik, dengan kemampuan orasi yang dimiliki oleh seorang ‘alim (yang banyak ilmunya) yang sering berceramah di banyak tempat. Ada banyak isi taushiyah beliau yang membekas di kalbu saya.

Beliau membuka taushiyahnya dengan menerangkan bahwa segala peristiwa yang kita alami harus meninggalkan bekas/hikmah pada diri kita. Bahwasanya dalam situasi dan kondisi apapun, terutama terutama saat kita ditimpa musibah, maka kita harus selalu memuji kebesaran Allah SWT. Allah sangat menyukai hambanya yang dalam keadaan susah namun terus menyanjungkan pujian terhadapNya.

Malam sebelumnya, seorang jama’ah Ustad yang sudah berumur sekitar 58 tahun meninggal setelah mengalami serangan jantung. Sebelumnya dia tidak pernah meninggalkan sholat berjama’ah. Ia mempunyai kebiasaan mandi sebelum sholat Ashar berjamaah di masjid. Begitu ia terkena serangan jantung dan orang-2 sibuk akan membawa beliau ke rumah sakit mana, beliau bersikeras ingin dimandikan dengan air panas dan akan mengerjakan sholat Ashar berjamaah.

Supir yang akan membawa beliau ke rumah sakit sampai menangis di balik kemudi mobil yang dibawanya memikirkan betapa orang yang sudah terkena serangan jantung masih memikirkan untuk sholat, ketimbang segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan kita yang sehat saja seringkali tidak ingat akan waktu sholat.

Seorang jamaah Ustad yang lain mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah rutin. Dokternya sudah memvonis bahwa ajalnya akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi. Saat menatap langit-langit atap rumah sakit, tiba-tiba dia mengingat semua nikmat yang diberikan Allah SWT, akan anggota-anggota tubuhnya. Disebutnya satu persatu anggota tubuhnya ,”Ya Allah, terima kasih atas nikmat mata. Terima  kasih atas nikmat kedua telinga, terima kasih atas nikmat jantung, ginjal..dst”. Tiba-tiba ia sembuh total sebagaimana sediakala. Dokternya sampai geleng2 kepala dibuatnya. Sebuah kasus yang belum tentu kemungkinannya terjadi satu juta berbanding satu.


Ustad juga bercerita mengenai bagaimana Rasulullah kehilangan putra kesayangannya, Ibrahim. Betapa Rasulullah juga menitikkan air mata kasih sayang seorang ayah yang harus berpisah dengan putra yang dicintainya. Beliau juga menceritakan bagaimana Urwah bin Zubair (putera Zubair bin Awwam, salah seoarang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah) harus kehilangan satu kakinya di hari yang  sama beliau kehilangan putra yang dicintainya. Urwah bin Zubair menolak dua pilihan metode anastesi di zaman itu, yaitu minum khamr (arak) atau dibius. Beliau memilih dipotong kedua kakinya pada saat berdzikir, memuji kebesaran Allah SWT.

Betapa memandangi anak di ruang ICU tidak berarti apa-apa dibandingkan Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya sendiri. Bukannya mengentengkan kematian anak, sebab ternyata Ustad sendiri sudah dua kali mengalami kehilangan putranya sendiri. Beliau melakukan sendiri hak-hak jenazah seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan puteranya. Untuk membantunya lebih tegar sebagai manusia biasa, beliau menyingkirkan semua benda-benda yang berhubungan dengan anaknya yang meninggal dunia.

Sebuah hadits shahih menyebutkan bahwa ketika malaikat menghalau anak-anak (yang meninggal dunia ketika masih kecil) untuk masuk ke surga, mereka tampak enggan. Ketika malaikat bertanya mengapa mereka seperti ogah-ogahan masuk ke surga mereka menjawab, “aku tidak mau masuk ke surga sebelum kedua orangtuaku masuk terlebih dahulu”.

Taushiyah ditutup dengan do’a khusyuk, yang membuat Saka yang duduk di sebelah saya menangis sesenggukan.

Saya tutup kisah tentang Ananda Zahra sampai disini. Semoga saya dapat mengambil banyak hikmah dari peristiwa ini. Bahwasanya kematian itu dekat…sangat dekat dengan kita. Semoga pula orangtua Zahra segera mendapatkan momongan lagi sebagai pelipur lara.

Selamat jalan Zahra, Insya Allah engkau akan segera dipertemukan kembali dengan kedua orangtuamu saat engkau menantikan mereka di pintu surga…

Amiin..


Jatiwaringin, paruh ketiga malam,
saat tangan-tangan lembutNYA membelai-belai penuh kasih
hati hati yang gerimis…











 

Sunday, April 4, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya

        Seorang sahabat saya -namanya Risyad Iskandar- diuji oleh Allah dengan cobaan yang sangat berat. Saat ini anaknya terbaring di PICU (Ruang ICU khusus anak) Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

Adalah Fatimah Az-Zahra, anak semata wayangnya, mengalami Alagille Non-Syndromic, suatu penyakit langka yang berhubungan dengan kegagalan fungsi hati (hepar). Meski saya tidak cukup mempunyai referensi mengenai penyakit ini, menurut orangtuanya ini mengakibatkan cairan empedu tidak mengalir dengan lancer.

Sebetulnya kasusnya mirip dengan Bilqis dan Fikri, penderita Atresia Bilier yang kasusnya mencuat beberapa saat yang lalu dan menimbulkan simpati banyak pihak. Namun yang ini agak berbeda dan sifatnya yang Non-Syndromic menyebabkan gejala perkembangannya agak sulit diamati. Menurut dokternya yang merawat, kemungkinan ini baru kasus pertama yang terjadi di Indonesia.

Pertama didiagnosis menderita kelainan fungsi hati adalah ketika Zahra berumur 2 (dua) bulan. Lahir di Klaten, dokter yang merawat tidak mengamati gejala-gejala awalnya. Namun ketika berumur  dua bulan, orangtuanya membawanya ke Yogya. Saat di Yogya tersebut, seorang dokter yang pernah belajar di luar negeri langsung memberikan vonis, “satu-satunya jalan adalah transplantasi hati, yang mesti dilakukan di luar negeri, “ katanya sambil menyebut beberapa Negara maju. Risyad, ayah Zahra yang saat itu baru tiba dari Jakarta kontan pingsan di tempat, begitu mendengar kabar tersebut.

Hari-hari berikutnya, hingga saat ini Zahra berumur sekitar empat tahun, adalah hari-hari panjang yang berkisah tentang ketabahan, kesabaran dan pengorbanan kedua orangtuanya.

Secara fisik, pertumbuhan Zahra agak lambat. Kulitnya dan kedua matanya berwarna kuning, yang bisa membuat siapapun iba dengan kondisi penyandang nama putri Rasulullah SAW ini. Bermacam upaya medis dan non medis (alternatif namun yang masih sesuai dengan koridor syar’i) terus dilakukan untuk kesembuhan ananda tercinta. Namun belum terlihat perkembangan yang signifikan. Kedua orangtuanya dengan sengaja berusaha menunda kehamilan demi mencurahkan perhatian penuh terhadap Zahra.

Satu-satunya tindakan yang dimungkinkan secara medis yaitu dengan jalan operasi transplantasi (dari orangtuanya), yang harus dilakukan di negara maju (direkomendasikan ke Jepang) dan membutuhkan biaya sekitar 5 (lima) milyar rupiah. Meskipun kedua orangtua Zahra bukanlah kategori orang yang tidak mampu (keduanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan yang cukup ternama di negeri ini), namun 5M sama sekali bukan jumlah yang sedikit.

Kegagalan fungsi hati ini memberi dampak terhadap bekerjanya organ-organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal dan paru-paru. Saat ini, dokter spesialis parunya menyatakan bahwa fungsi parunya tinggal 30 (tiga puluh persen), yang artinya satu-satunya tindakan medis yang telah disebutkan di atas harus segera dilakukan.

Orangtuanya siap untuk publikasi kasus ini sepulangnya Zahra dari rumah sakit nanti, agar dapat dilakukan penggalangan dana untuk operasi ananda tercintanya.

Kasus Bilqis berhasil meraih simpati masyarakat. Kabarnya ‘Koin Untuk Bilqis’ berhasil mengumpulkan Rp. 1,8 milyar dan sudah mencukupi untuk sebuah operasi transplantasi yang akan dilakukan di RS. Karyadi Semarang beberapa bulan lagi.

Sedangkan Fikri, yang sempat dipublikasi (bahkan muncul di program “Idola Cilik” di salah satu televisi swasta), meninggal akhir Februari lalu, saat ia berumur sekitar satu setengah tahun karena terlambat mendapatkan penanganan medis disebabkan ketidakmampuan orang tuanya secara finansial.

Saya bertemu dengan ayah Fikri, saat sama sama menjenguk Zahra. Rasa senasib mempertemukan Risyad dengan Abdul Salam, ayah Fikri. “Dapat cobaan seperti ini membuat kita banyak tambah saudara pak”, kata ayah Fikri pada saya.
Saat mempertunjukkan video dan foto-foto Fikri ketika masih hidup melalui laptopnya, pria sederhana ini berujar, “Sengaja saya buat ini Pak (membuat dokumentasi tentang almarhum anaknya), supaya hidup saya nggak ngawur, nantinya”.
  
Duhhh..melihat anak-anak saya bermain dengan gembira dan membandingkannya dengan kondisi Zahra membuat saya merenung, alangkah sedikitnya saya bersyukur atas nikmat kesehatan yang diberikan Allah terhadap anak-2 saya. Betapa mendengar tawa riang anak-anak hanyalah rutinitas yang saya anggap biasa, yang bagi Risyad sahabat yang saya kenal sejak SMA, mungkin adalah sebuah kemewahan dan nikmat yang tidak terkira.

Semoga Allah SWT segera memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.

Amiin Yaa Robbal ‘aalamiin..