Sunday, March 31, 2013

Jalan jalan ke Toili


Perjalanan kali Ini adalah trip petualangan yang kedua selama penugasan di Sulteng.

Setengah tujuh pagi kami berempat berangkat menuju Toili, sebuah kecamatan di Kabupaten Banggai. Ini merupakan pengalaman pertama saya melewati daerah transmigrasi. Kondisi jalanan yang rusak disana sini membuat perjalanan terasa panjang. Namun ketika saya membayangkan kondisi awal para transmigran sewaktu membuka lahan dan lembaran hidup baru di tempat ini, saya berpikir bahwa buruknya jalan beraspal yang mulai banyak berlubang ini bukanlah apa-apa.

Beberapa tahun belakangan marak penambangan emas liar di daerah Toili. Penambangan secara tradisional ini menimbulkan dampak lingkungan yang cukup parah. Menurut cerita dari mulut ke mulut penambangan liar ini sudah menimbulkan korban jiwa yang tidak sedikit. Sebuah ironi lagi mengenai masyarakat yang tinggal di daerah yang subur, kaya hasil tambang dan gas bumi namun memilih mencari nafkah dengan cara yang sangat konvensional dan membahayakan keselamatan diri sendiri.


Ketika berhenti di sebuah pasar saya cukup terkejut karena penjual di pasar tsb adalah orang2 Jawa dan bahasa yang dipakai juga bahasa Jawa.  Haha…serasa di kampung halaman.

Sebuah pasar tradisional di Toili - serasa di tanah Jawa :)
Hamparan sawah menghijau di kiri kanan membuktikan bahwa kondisi tanah disini sangat subur. Banyak juga perkebunan kelapa sawit dan kakao kami jumpai sepanjang jalan.  Rambutan, durian, manggis dan langsat (sejenis duku) juga banyak ditanam oleh penduduk dan dapat kita jumpai dengan mudah dijajakan di pasar2.


Pertanian yang subur
 
Ternyata di banyak tempat di Toili juga banyak bangunan bangunan bercirikan Bali. Pastinya yang banyak tinggal disitu adalah orang2 yg berasal dari Bali.

Rumah2 berciri Bali mendominasi sepanjang perjalanan menuju pantai Pandanwangi

serasa di Pulau Dewata


bergaya sejenak di pantai Pandanwangi


having lunch @ pandanwangi beach

sumur gas



Jembatan gantung - Bendung Mentawa

 

mandi di Mentawa - suegerrrrrrr.................


Alam di sekitar Bendung Mentawa


Jembatan gantungnya lumayan panjang loohhh....kereeeennnn....

Fenomena matahari unik dalam perjalanan pulang dari Toili


Sunday, March 17, 2013

Jalan Jalan Ke Pagimana


Ini episode jalan jalan pertama semenjak penugasan di Sulawesi.

Dengan menggunakan mobil rental, setidaknya 3 jam perjalanan ke Pagimana dari desa Uso, tempat kami tinggal.  Kondisi jalan yang tidak rata dan banyak yang rusak memang membuat tidak nyaman. Namun keindahan pemandangan di sepanjang perjalanan cukup menghibur, sehingga kami berhenti hanya untuk mengambil gambar bernarsis ria (teteuuppp….).

Sepanjang perjalanan ke Pagimana

mejeng dulu ahh...

Backgroundnya mengingatkan pada Danau Toba


 Sesampainya di Pagimana kami segera menuju sebuah rumah makan yang bangunannya menjorok ke laut.

Bro Frengki dan Lobster-nya

Korban (pra eksekusi)


Menu makan siang
Sebelum pulang kami mampir ke pasar Pagimana dan membeli durian. Namun eksekusi duriannya di pinggir pantai dalam perjalanan pulang sambil menikmati pemandangan cantik di sore hari.
 
Durennya maknyussssss.....

Sebelum sampai ke Luwuk, mampir dulu ke  tempat wisata Salodik. Tempat wisata ini terletak di pinggir jalan raya. Tiket masuknya cuma seribu rupiah per orang. sayangnya kami sudah kesorean ketika sampai disana.

Salodik waterfall

Thanks To : Rekan2 seperjalanan (Neti, Frengki, Ryan, Krishna, Shirin, Ega)




Sunday, March 3, 2013

Kunjungan Ke Negeri Para Dewa

Fyuuhhh….sibuk sekali akhir2 ini dengan pekerjaan di kantor, apalagi  mempersiapkan segala sesuatunya sebelum saya pindah tugas ke tanah Celebes. Sampai sampai baru sekarang sempat bikin field trip report tentang perjalanan ke Dieng, “The God’s Abode”. Hehe…lucu juga ya..cerita trip di tanah Jawa, tapi dibuat nya justru setelah ada di Sulawesi.

Februari lalu saya bersama dua orang sahabat melakukan perjalanan ke negeri di atas awan ini. Kami memulai perjalanan dengan menggunakan bus yang berangkat dari terminal Lebak Bulus menuju kota Wonosobo. Jadwal keberangkatan bus yaitu pukul 5 sore membuat hari Jum’at yang (kata orang) adalah hari pendek menjadi semakin terasa lebih pendek.

Sebetulnya cukup deg degan juga mengawali perjalanan kali ini, mengingat kali ini adalah musim penghujan. Di saat Jakarta sibuk dengan penanggulangan banjir, kami malah ke daerah dataran tinggi, yang biasanya tingkat curah hujannya relatif lebih tinggi. Apalagi tujuan utama trip kali ini adalah berburu sunrise. Gimana kalo udah jauh-jauh kesana ternyata saat menunggu sunrise malah turun hujan ? Dan kamipun cuma bisa berharap dan berdoa, semoga cuaca bersahabat dengan kami.

Dan benar saja, memasuki kota Wonosobo kami disambut oleh hujan. Untungnya hujan tidak berlangsung lama. Dan setelah istirahat sebentar di sebuah musholla, kami melanjutkan perjalanan dengan naik angkot dan disambung dengan mikro bus yang menuju Dieng.

Sekitar pukul 10.00 pagi kami sudah tiba di Dieng (pertigaan penginapan Bu Djono). Banyak sekali homestay yang disewakan di daerah tersebut dan kami segera memilih salah satunya untuk tempat istirahat. Harga kamarnya murah banget loohh…Cuma 150 k, sudah ada air panasnya untuk mandi. Tapi ya begitulah, kondisi kamar apa adanya. Jika dibandingkan dengan kamar di hotel,  ibaratnya seperti bumi dan langit. Yang penting ada air panasnya deh, soalnya suhu di Dieng pada malam hari mencapai belasan derajat celcius. Apalagi jika di musim panas, maka malam harinya bisa dibawah nol derajat sehingga kabarnya embun-embun pagi yang yang menempel di dedaunan berubah menjadi es dan membeku.

Setelah mandi dan membersihkan diri, kami segera memulai eksplorasi dengan menuju Telaga Warna. Ternyata sebelum memasuki area telaga warna, kami ditawari tiket terusan untuk 4 lokasi wisata sekaligus, yaitu Telaga Warna, Dieng Plateu Theatre, Kawah Sikidang  dan Kompleks Candi Arjuna. Kamipun membeli tiket tiket terusan tersebut.

Memasuki area telaga warna, kami segera mencari sebuah spot untuk foto yang jadi landmark di telaga warna. Inilah spot yang saya maksud (numpang narsis dulu yaaa…)


Sebuah grup pengamen daerah yang mangkal disitu menghibur para pengunjung yang sedang berfoto ria. Lagu-lagunya OK banget looohh…


Puas berfoto disitu kami segera mencari spot lain, dimana kira-kira bisa mendapatkan view telaga warna dari ketinggian. Ketika tadi kami masuk ke area telaga warna dari pos kecil, kami melihat ada jalan setapak menuju bukit di atas telaga warna. Akhirnya kami putuskan menaiki bukit tersebut dengan mengikuti jalan setapak. Di keesokan harinya kami baru diberitahu oleh guide yang mengantar kami ke bukit Sikunir bahwa spot itulah yang terbaik untuk mengabadikan telaga warna. Ya…memang saat itu rombongan wisatawan lain tidak ada yang se’iseng’ kami untuk mendaki bukit. Tapi sesampainya diatas dengan nafas yang tersengal sengal, kamipun segera mendapatkan bayarannya, View Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari atas.



Sayangnya saya nggak bawa (belom punya) lensa wide. Cuma berbekal lensa fix 55mm dan lensa tele pinjaman teman membuat acara foto-memfoto jadi kurang menyenangkan. Lha wong  moto landscape koq tanpa lensa wide..ibarat pake kacamata kuda…hikss..hikss.

Turun dari bukit kami berjalan menuju Dieng Plateau Theatre. Ternyata hujan mulai turun. Kamipun berteduh di bawah tenda penjual gorengan sambil minum minuman jahe penghangat tubuh. Tak lupa kami pesan jamur dan kentang goreng, hasil produksi pertanian utama di Dieng.

Sambil menunggu hujan yang turun cukup deras, kami masuk ke Dieng Plateau Theatre. Ternyata, tak satupun dari kami bertiga yang menonton film yang disuguhkan secara utuh. Nyatanya, kami sama-sama tertidur saat pemutaran filmnya….hahaha….
Barangkali saking capeknya menempuh perjalanan dengan berjalan kaki membuat kami merasa dinina bobokan di dalam theatre tsb.

Usai pemutaran film, usai juga hujan yang mengguyur bumi Dieng. Melihat jalan setapak kearah  perbukitan di samping theatre membuat kami penasaran ingin melihat Telaga Warna dari sudut yang lain.
Inilah view Telaga Warna dari perbukitan tsb.


'mirroring lake'
Tak terasa hari menjelang sore dan kamipun segera berjalan pulang kea rah homestay. Kebetulan saya juga kurang tertarik mengunjungi Kawah Sikidang saat ini, karena fokus saya memang cuma Telaga Warna, Candi Arjuna dan Bukit Sikunir.

"Tujuan Kami Esok Pagi !"

Karena relatif dekat dengan homestay, maka kami mampir ke Candi Arjuna dulu sebelum kembali ke homestay. Komplek candinya cukup menarik dan tertata rapi. Letaknya cukup terbuka dan dikelilingi pohon comara yang tertata apik. Lagi lagi saya bermasalah dengan lensa saya yang ngga bisa menangkap obyek dengan sudut lebar…huhuhu…



menanti senja di pelataran candi :)




Sepulangnya dari kompleks Candi Arjuna, kami mulai mencicipi hawa dingin kawasan Dieng yang awalnya memang sudah saya khawatirkan. Enak juga para pemilik homestay disana ya…nggak perlu menyediakan kamar ber-AC… hehe..

Kami bangun pukul 3.00 pagi dan bersiap-siap untuk mendaki bukit sikunir. Ternyata baru jam 4 lewat Bapak pemandunya datang. Dengan diantar menggunakan tiga buah sepeda motor, kami menuju Desa Sembungan yang merupakan Desa Tertinggi di Pulau Jawa. 



Setelah sholat Subuh berjamaah di desa Sembungan, kami menuju kaki Bukit Sikunir. Setelah parkir, dumulailah pendakian.
Sebetulnya bukitnya sendiri tidak terlalu tinggi dan hanya membutuhkan sekitar 20 menit pendakian. Namun karena sudutnya yang lumayan terjal dan tipisnya udara membuat saya tersengal-sengal dan berhenti beberapa kali.

Setelah bersusah payah, akhinya sampai juga di puncaknya. Haaaahhhh….ternyata di atas sudah banyak orang yang datang untuk menunggu sunrise…
Ada juga penjual kopi dan minuman hangat di puncak bukit tsb.
Berikut rekaman gambar2 di bukit Sikunir.








Sebetulnya Gn. Sindoro dan Gn. Sumbing terlihat jelas berdampingan. Apa daya...hiksss...hiksss...




Golden Sunrise @Sikunir


 


Ada yang bilang kayak di Florence (andai pakai overcoat)...xixixi...



Negeri Di Atas Awan


Telaga Cebong nan menawan, di kaki Sikunir

Menurut guide kami, beliau beserta rekan2 seprofesinya sebetulnya sudah jarang ke Sikunir. Mereka sebetulnya khawatir karena dengan semakin ramainya orang ke Bukit Sikunir, maka minat orang untuk menikmati golden sunrise di Dieng akan menyusut. Dan merekapun mencari spot terbaik yang lain untuk menikmati golden sunrise di Dieng. Spot yang baru mereka temukan ada di Gunung Pakuwaja yang lebih tinggi dari bukit Sikunir. Namun panorama yang ditawarkan sangatlah menggiurkan. Ada savananya juga yang bisa kita nikmati di tempat tsb. Lain kali deh Mas, kalo kami ke Dieng lagi akan minta diantar kesana.
Dari sang guide, kami juga diberitahu dimana penjual mie ongklok khas Wonosobo yang enak. Jadi sepulangnya dari Dieng kami sempatkan mampir ke warung mie ongklok yang dimaksud. Dan rasanya memang maknyussssss……………

Maap, lupa nama tempatnya