Thursday, August 21, 2014

Luwuk Banggai Yang Kaya Akan Air Terjun



Bicara mengenai keindahan alam, Luwuk memang ngga ada matinya.  Lansekap yang memukau berupa kombinasi antara pegunungan dan laut menjadikannya kaya akan potensi wisata.

Ada bbrp air terjun yang sudah saya sambangi di daerah Luwuk dan sekitarnya.
Diantaranya adalah  :
  • Air Terjun Salodik
  • Air Terjun Hanga Hanga
  • Air Terjun Tontouan
  • Air Terjun di Lamo (Kec. Batui)
  • Air Terjun Batu Tikar 
  • Air Terjun Laumarang.

Dua air terjun yang saya sebutkan terakhir adalah yang paling indah, menurut saya.


Air Terjun Batu Tikar
Untuk sampai ke air terjun ini kita mesti menempuh  trekking yang cukup melelahkan. Menyeberangi sungai2  kecil, menembus hutan dan medan yang cukup ekstrim harus kita lalui. Tak jarang kita harus berpegangan pada akar2 tanaman untuk mendaki ke atas. Terdapat bbrp air terjun kecil di bawahnya. Perjalanan yang melelahkan akan segera terbayar begitu kita sampai di puncaknya, yaitu air terjun batu tikar tsb.

Narsis di Air Terjun Batu Tikar :p


Suegerrr.....


Air Terjun Laumarang
Inilah juaranya air terjun di Luwuk. Namun dikarenakan sulitnya mencapai air terjun tsb, membuat tak banyak orang yang pernah mengunjungi tempat ini. Namun percayalah, sesampainya disanan anda akan takjub dengan keindahan air terjun ini. Terlebih lagi jika anda terus naik keatas, karena air terjun ini terdiri dari 3 tingkat.

Juaranya Air Terjun di Luwuk

Kolam Renang Ekstrim :)

Deg deg-an juga pas potonya..hehe..



Monday, May 26, 2014

Menjelajahi Bangkep


Purnama diatas Selat Peleng

Purnama memantulkan kemilau peraknya di riak gelombang laut, mengiringi perjalanan kami menyeberangi Selat Peleng untuk kemudian memasuki Teluk Bangkalan menuju Salakan, kota pelabuhan sekaligus ibukota Banggai Kepulauan. 

Perahu kayu raksasa ini lumayan penuh muatannya, bukan cuma mengangkut penumpang saja, namun juga dipergunakan sebagai alat transportasi berbagai komoditas dagang yang menghubungkan masyarakat di Banggai kepulauan dan Banggai daratan.

Setelah sekitar empat jam mengarungi samudera, kapal merapat di Salakan. Waktu menunjukkan kurang lebih pukul satu dinihari. Segera suasana hiruk pikuk di pelabuhan menyergap, menyambut langkah pertama kami di Pulau yang mungkin namanyanya saja tidak cukup dikenal oleh mayoritas penduduk Indonesia. Pulau lumayan besar ini bernama Pulau Peling a.k.a Pulau Peleng




Pada Sebuah Kapal
(kayak judul sebuah novel..hehe.. )


Sebetulnya ini adalah kali yang kedua saya menginjakkan kaki di Salakan. Namun di kesempatan yang pertama, saya cuma punya waktu hanya satu jam karena harus segera kembali lagi ke Luwuk.
Beruntung salah seorang teman kami (inisialnya Y-A-N-A) memiliki kerabat di Salakan, tak jauh dari pelabuhan sehingga kami bisa menumpang istirahat di rumah beliau. Sebagian diantara kami melanjutkan tidur yg terinterupsi perjalanan yang harus ditempuh dengan jalan kaki dari pelabuhan. Sebagian kecil-termasuk saya-malah asik mengobrol sampai terdengar azan subuh,  membahas kondisi politik terkini dan masa depan negeri ini (berattt… eeuuyyy……..).

Saat asik ngobrol tiba2 terdengar suara rintihan, seperti suara rintihan perempuan. Anehnya suaranya datang dari ruang tengah.  Padahal cewek-2 tidurnya di kamar.  Kami yg masih terjaga dan mendengar suara tsb cuma senyum-senyum.

 “Ngorok….”, kata Om Yul.
“Siapa yg ngorok ?“, tanya saya.
“Bang Roz”, jawab Pak Hagung.
 “Oooo…….”

Paginya Bang Roz Komplain. Dia semalam “tindihan” (fenomena seperti tubuh dibebani sesuatu, ingin banget bangun tapi nggak bisa). Bang Roz sangat berharap ada yg dengar dan membantunya bangun.

“Koq ngga ada yg bangunin aku sih. Aku berharap banget ada yg denger dan berusaha ngebangunin”, katanya.

“Ya maappp…., kirain ngorok beneran, Bang…    HaHaHa……

Sepulang sholat subuh di masjid dan hari mulai terang, kami baru menyadari bahwa komplek perumahannya meskipun sederhana namun tertata rapih. Jalan yang mulus dan lebar dilengkapi dengan selokan di kedua sisi jalan. Sebuah perencanaan konsep pemukiman yang cukup matang.

Setelah semua bangun dan sarapan roti selai, kami segera berangkat menggunakan mobil sewaan menuju Bulagi Selatan, tempat obyek wisata Lalanday.

Berhubung supir yg kami sewa belum sarapan dan sekalian bungkusin nasi untuk kami, akhirnya kami berhenti dan nyari nasi kuning dulu di pasar Salakan. Sambil nungguin si supir nyari nasi kuning, kami bersantai santai dulu…

Suatu Pagi di Salakan


Jalan menuju Bulagi cukup mulus secara merata, meski relatif sempit dan berkelok kelok, seperti halnya jalur Trans-Sulawesi. Namun kondisinya jauh lebih baik daripada jalur Trans Sulawesi di Banggai daratan.

Menginjakkan kaki di Banggai Kepulauan seperti membawa kami  ke masa silam. Masa sebelum era modernisasi yang membawa budaya materialistis dan hedonis  melanda negeri ini. Tak banyak kendaraan lalu lalang disini. Tak banyak pula bangunan berlantai lebih dari satu. Masyarakatnya hidup sederhana dengan mengandalkan mata pencaharian dari sektor kelautan dan perkebunan.

Sepanjang perjalanan, kendaraan bermotor yang berpapasan dengan kendaraan kami bisa dihitung dengan jari. Sepi banget, kaannn ?

Kurang dari dua jam menempuh jalan darat dari Salakan, kami tiba di Lalanday, sebuah obyek wisata di Bulagi Selatan. Obyek wisata ini sebetulnya lumayan fasilitasnya. Jalannya bagus dan dibuat ada gazebo gazebo  untuk tempat istirahat. Namun karena kunjungan wisatawan ke Pulau ini sangat sedikit, otomatis tempat ini sepi pula dari wisatawan.

Panorama Lalanday

Siapa yang menyangka di bawah air yang tenang ini arusnya begitu kuat
 
Obyek wisata Lalanday merupakan tempat pemandian air tawar yang berbatasan langsung dengan laut. 

Setelah menceburkan diri saya baru menyadari bahwa arus dari sumber air tawar yang mengarah ke lautnya cukup kuat dan tidak terlihat dari permukaan karena dari atas terlihat sangat tenang. 



Ini sebuah pengalaman baru buat saya, berenang diantara campuran air tawar dan air asin. 

Di dalam air, percampuran kedua jenis air yang berbeda berat jenis itu seperti air gula yang kita aduk untuk membuat minuman. Suhunyapun berbeda drastis. Kadang saya merasakan hangat (seperti biasanya berenang di laut), dan tiba2 berubah menjadi dingin seperti ketika mandi di sungai.

Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, tempat pertemuan air tawar dan air laut biasanya merupakan kerajaan siluman. Kalo emang bener, koq pinter banget silumannya ya..milih tempat yg secantik ini…hihihi…

Sebuah ketinting kecil lumayan menghibur kami untuk dipakai bersampan bergantian. 

 
 





Yang perlu dicatat adalah arus yang cukup kencang tersebut bisa menimbulkan kepanikan ketika berenang, karena berat sekali untuk  kembali ke tepian dikarenakan kencangnya arus di bawahnya yang mengarah ke laut meskipun kelihatan tenang di permukaannya. 

 
 


Setelah puas dan mandi bilas di kolam air tawar, kami segera meneruskan perjalanan kembali ke Salakan. Di perjalanan kembali ke Salakan, kami mampir di dua spot wisata yaitu air terjun Patukuki dan Pantai Teduang.

Air Terjun Patukuki dan Pantai Teduang

Setelah makan siang di Salakan (banyak rumah makan sederhana di sekitar pelabuhan), kami sempatkan mengunjungi Monumen Trikora. Rupanya Salakan ini pernah menjadi tempat berkumpulnya (meeting point) kapal kapal perang RI saat peristiwa Pembebasan Irian Barat. Jalan masuk ke monumen ini melalui sebuah lapangan sepak bola dan di bagian bawahnya terdapat relief yg menggambarkan  persiapan penyerangan.




Diatasnya sedikit, terdapat monumen dengan daftar nama namal kapal perang RI yang ikut serta dalam operasi militer tersebut. Untuk mencapai Tugu Trikoranya sendiri  kita harus menaiki anak tangga yang lumayan tinggi. Lumayan capek deh, buat yg jarang olahraga seperti saya…hehehe…
Tiba di puncaknya kita bisa melihat pemandangan kearah laut. Barangkali ini maksud dari pembuatan tugu ini di tempat yang cukup tinggi. Supaya kita bisa membayangkan saat saat Pelabuhan Salakan dipenuhi oleh kapal kapal perang RI yang dulu cukup ditakuti oleh Belanda. 


Monumen Dan Tugu Trikora

Andaikata bangsa kita bisa kembali seperti itu, sebagai bangsa yang memiliki harga diri dan disegani bangsa asing. Semoga perjuangan merebut tanah Papua yang sangat dramatis dan menewaskan Komodor Yos Sudarso itu dapat kita bayar dengan menjaga agar tanah Papua tetap berada dalam bingkai utuh NKRI. Sebab menurut sumber yang saya baca, penguatan armada maritim sehingga menjadi armada terbesar di Asia pada waktu itu menggunakan dana pinjaman luar nergeri yang sangat besar (dengan kondisi devisa yang belum cukup) yang kelak menimbulkan gejolak inflasi.

Setelah puas dan berfoto2, kami berpamitan ke keluarga Yana dan segera kembali ke pelabuhan dengan menumpang kapal cepat ke Luwuk. Dengan kapal cepat, kami hanya butuh waktu satu setengah jam ke Luwuk.

Kapal Cepat - ada pramugarinya lohhh...

Selamat tinggal Pulau Peleng. Potret daerah2 di pulau Jawa di tahun 80-an (kata Om Ikhwan, loohh…)

Lansekapmu yang elok berupa kombinasi pegunungan dan pantai sungguh menyejukkan hati. Ahh…andaikata pulau ini letaknya tak jauh dari tempat tinggal saya (ngelamun lagi). 
Namun kalau dipikir-pikir, biarlah pulau elok ini tetap berada disini. 
Jauh dari jangkauan tangan2 kapitalis rakus di pulau besar bagian selatan Indonesia sana.




Thursday, April 10, 2014

Menjamah Surga Togean (Lagi)


Togean dan seribu keindahannya memang selalu memikat saya.
Alhamdulillah, keinginan untuk mengunjunginya lagi akhirnya benar benar kesampaian kali ini

Trip ke Togean ini sudah masuk agenda 'Nyilem Kleb' sejak kalender 2014 dirilis :)
Pasalnya kami butuh waktu minimal dua hari libur untuk kesana. Dan setelah setelah kalender 2014 dilihat, diraba dan diterawang dengan seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya (emangnya proklamasi ?), kami temukan bahwa dua hari libur berturut turut cuma ya cuma tanggal ini kesempatannya. Selain libur hari raya, libur2 panjang yg lain bagi kami yg kerja dari Senin sampai Sabtu merupakan harpitnas...(hikss..).

Lagi  males nulis ceritanya nih. Cerita lengkapnya bisa dibaca di blognya kriznoy disini yach. Pokoke dijamin kumplit ceritanya deh :)

Berikut saya share sedikit foto2 Togean jilid-2.
Togean jilid-1 nya bisa dilihat dan dibaca disini



Perkampungan Suku Bajo di Pulau Papan.
Sayang jembatannya mulai rusak, bahkan putus di bbrp bagian :(

Diantara beberapa perkampungan suku Bajo yg pernah saya kunjungi, perkampungan suku Bajo di Togean-lah rasanya yang kondisinya paling bersih. Liat aja kondisi air laut dibawahnya. Tetap jernih dan sebagian berwarna hijau tosca. 

Begitu pula dengan kondisi terumbu karang dibawahnya yang relatif terawat. Kelihatannya mereka tidak - atau setidaknya jarang-   menggunakan bom untuk menangkap ikan.

Mudah2an kearifan lokal ini tetap terjaga selamanya. Bahkan jika mungkin dapat ditiru suku2 Bajo di tempat lain.





Melihat dari dekat jembatan kayu yang menghubungkan Pulau Papan dan Pulau Malenge sudah sejak tahun lalu jadi obsesi saya. Sayangnya ketika kami kesana jembatannya rusak dan putus di beberapa bagian hingga tidak memungkinkan bagi kami untuk melewatinya :(

Penduduk setempat sempat bilang bahwa bbrp waktu yg lalu ada wisatawan yang jatuh tercebur ke laut ketika mencoba meniti jembatan ini. Hmmmhhh....jika saja pemerintah setempat peduli akan warganya sekaligus potensi wisatanya tsb, tentulah jembatan ini segera diperbaiki.


Pulau Papan - Pulau Malenge
Jembatan kayu panjang yg kesohor tersebut perlu segera diperbaiki



Nyilem Kleb @ Pulau Papan

Secara umum, saya sangat menyukai langit diatas tanah Celebes ini. Terlebih lagi langit diatas Kepulauan Togean. Tarian awan beraraknya yang memukau diantara terik matahari, semburat jingga langit senja, taburan gemintang yg terlihat jelas di malam hari, hingga kemilau sunrise-nya...Woww......


Sunset @ Kadadiri Paradise Resort


Sunrise moment @ Taipi Island

Jarang ada tempat dimana kita bisa menyaksikan keindahan sunset dan sunrise sekaligus. 

Di Togean-lah kita bisa mendapati keindahan pada kedua momen tsb.

Dari Kadadiri Resort, kami hanya  perlu berperahu bbrp menit ke Pulau Taipi untuk menikmati sunrise.









Underwater View @ Hotel California & Taipi Island

Karina Beach, pesonanya bikin narsis ngga abis-abis :p
Sayang sekali pu'un kelapa 'icon Pantai Karina' cuma tinggal batangnya :(


Inilah klimaks dari trip kali ini dan betul2 membuat kami puas, yaitu berenang di danau ubur-ubur. Konon, sebelumnya pernah dinyatakan bahwa di seluruh dunia hanya ada tiga tempat yg dihuni oleh ubur ubur yang tidak menyengat, salah satunya yaitu di Danau Kakaban di Pulau Derawan. Nyatanya di Togean juga ada !!


Atas : Ssssttt...dibalik karang itulah danau ubur2 tersembunyi.
Bawah : The Jellyfish Lake



Me & Stingless Jelly Fish
Rasakan sensasi berenang bersama ubur-ubur tanpa takut tersengat



Lomba narsis bareng ubur-ubur..



Sekian dulu ya...lain kali kalo ada kesempatan disambung lagi (gaya penutup surat jadul..hehe..)


* Dan korban kutukan HaPe di trip kali ini adalah :



 
Lain kali HP-nya jangan diajak snorkeling yach...



Wednesday, January 15, 2014

Dondolang Coret (Untold Stories)

# Kutukan Hiu

Diantara pekatnya malam, dalam perjalanan di atas mobil bak terbuka Khrisna menceritakan pengalamannya saat snorkeling di Pulau Tinalapu siang harinya.

"Karena snorkeling di tempat kalian terlalu mainstream, aku coba ke sisi pulau yg satunya. Pertama aku ngeliat anak hiu, aku ikutin tuh. Tiba2 muncul emaknya yang badannya segede orang dewasa. Buru2 aku lepas alat snorkeling dan berenang sekencang kencangnya ke pinggir deh. Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...............!!!!"


#Kutukan Kaos Nyilem Kleb

Saya pasang target, kaos seragam Nyilem Kleb harus bisa kami pakai di Pulau Dondolang. Untuk itu saya tidak berani menggunakan jasa kargo. Melesetnya jadwal delivery membuat saya sempat marah marah dengan pihak2 yang terlibat dalam rantai pengiriman kaos tersebut. Pada akhirnya kaos tersebut bisa sampai tepat saat kami akan berangkat menuju Pagimana.


# Kutukan HP

Di postingan trip ke Pulau Boba saya ceritakan bahwa dalam beberapa trip teman2 harus merelakan HPnya almarhum karena HPnya ngambek nggak diajak snorkeling :p

Dan kali ini rupanya giliran saya :(



Hal buruk lainnya yg menimpa saya dalam trip kali ini yaitu jebolnya tas ransel Navi Club yg setia menemani selama bertahun tahun dan juga sandal Eiger abal-abal yg belum lama saya beli (hikksss...hikksss....)

Oalahhh...Ngasibbb....ngasibb.....(kayaknya saya nih, yang mesti diruwat)





Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Ketiga (habis)


Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.

Baru sekitar setengah lima sore mobil2 yang dimaksud datang menjemput kami. Rencananya Avanza dipergunakan untuk membawa enam orang driver ke Pagimana untuk mengambil mobil dan sebagian barang2 yang kami tinggal di penginapan. Mobil Hi-Lux bak terbuka dipergunakan untuk mengangkut 30 orang sisanya ke Salodik dalam dua rit.

Rombongan avanza segera berangkat dan Hi-Lux menyusul di belakangnya. Banyaknya barang yg dibawa rombongan kami membuat sebagian besar cowok2 yg berada di atas bak mobil harus duduk berkeliling di pinggiran bak mobil.

Another horror had just begun....(pasalnya perjalanan ke Salodik memakan waktu sekitar 2 jam)

Sisanya yg sebagian besar cewek2 tetap tinggal dan menunggu mobil pick-up kembali untuk menjemput kami.Beberapa dari kami yang tetap tinggal mencari kesibukan dengan berjalan2 di sekeiling desa terpencil ini. Pertama-tama kami menghampiri tempat pembuatan perahu nelayan. Kemudian kami coba kembali ke dermaga untuk melihat kondisi ombak di laut.

Lantaran ombak dan angin sedikit mereda, perantara kapal kami menawarkan sekali lagi untuk menempuh perjalanan lewat laut, ketimbang menunggu mobil pick-up kembali menjemput kami. Namun kami tidak berani menempuh resikonya. Lebih baik menunggu mobil pick up kembali menjemput meskipun harus menunggu lama.

Kembali lagi ke rumah sang nakhoda, kami mencoba membunuh waktu dengan bermain kartu. Seru juga ternyata main kartu dengan anak2 abg. Saya yg paling tua namun berjiwa paling muda (husshh...dilarang protes!)  jadi bahan bulan bulanan karena kalah terus terusan (sssstttttttttttt....sebenarnya saya sengaja ngalah, biar yg lainnya pada seneng).

di tempat pengungsian

Sebagian yang lainnya memilih untuk tidur sambil membayangkan kira2 jam berapa kami bisa tiba di camp tercinta lagi.


Mana badan dan rambut masih lengket karena belum mandi sehabis berenang di Tinalapu.

Siangnya tadi waktu saya pipis di semak2 di seberang rumah, saya sempat kaget mendapati si otong masih diselimuti oleh pasir putih (hahaha...).


Sekitar jam 9 malam pick up yang menjemput kami tiba. Kami segera pamit kepada pemilik rumah karena telah diperbolehkan menumpang dan berbuat kegaduhan di kampung tsb. Mulai dari jadi pusat perhatian masyarakat dalam perjalanan dari dermaga, jadi tontonan anak2 kecil dari balik pagar rumah (gini kali rasanya jadi monyet di kebon binatang ye?), sampai berisiknya suara kami ketawa cekikikan saat pada main kartu.

09.00 pm.
Kami semua naik ke atas bak mobil dan mencoba menyusun formasi duduk.

Dan dimulailah penderitaan ini...........

Coba bayangkan! Bak mobil terbuka tersebut harus bisa mengangkut 15 orang lengkap dengan tas tas dan barang bawaan masing2. Untungnya barang yang besar2 sudah dibawa oleh rombongan pertama. Meskipun demikian, tetap saja menyengsarakan. Saking sempitnya kami duduk berhimpitan, maka bagian tubuh kami beradu satu dengan yg lain. Lutut ketemu lutut, kaki ketemu kaki dan pantat ketemu pantat (masih mendingan- lah, daripada pantat ketemu hidung). Bergerak saja susah, apalagi kalo ingin bergeser.

Kemudian moda angkutan yang sangat tidak direkomendasikan oleh badan keselamatan transportasi nasional ini segera membelah hutan dan perkebunan menuju Salodik.

Untung ada yg ngambil gbrnya. Biar ngga dibilang hoax..

Lutut yang musti ditekuk jelas bikin kesemutan dan pinggang terasa pegal. Apalagi ketika melewati jalan yang rusak dan berlubang. Pantat langsung beradu dengan lantai dek besi yang keras. Saat sang supir berhenti sejenak di salah satu rumah penduduk kami gunakan untuk mencoba merubah formasi duduk. Celakanya untuk sebagian orang posisinya malah tambah parah..hahaha..

Untuk sedikit meringankan penderitaan kami secara dadakan saya, Khrisna dan Yadi segera membentuk paduan suara dengan nama 'Trio Ambisi' (yang kasih nama Neng Wulan nih). 


Demikianlah, perpaduan antara deru mesin mobil, gesekan ban dengan jalanan, suara gesekan dedaunan yg tertiup angin, suara jangkrik, kumbang dan hewan hewan malam lainnya, dengan suara sumbang Trio Ambisi dan backing vocal Joanne berhasil menyemarakkan malam dengan menghasilkan sebuah orkestra yang ajaib (hihihi...)

Beberapa tetes air sempat jatuh dari langit. Untungnya hujan tidak turun malam itu. Kalau saja hujan turun saat itu juga, bakal lengkap sudah penderitaan..

Mungkin ini merupakan pengalaman sekali seumur hidup buat kami. Namun di daerah pedalaman sana atau di negara2 miskin, barangkali ada orang2 yg terbiasa dengan kondisi berjejalan diatas mobil bak seperti ini dikarenakan terbatasnya moda transportasi.

Tak terasa hampir dua jam kami melewati penderitaan ini (pale loe tak terasa !) sampai  kemunculan para penyelamat kami, yaitu mobil2 sewaan kami yang telah diambil oleh rekan2 kami dari Pagimana.

Kami segera transfer ke mobil2 tsb dan berakhirlah penderitaan diatas mobil bak terbuka tsb (hela nafas panjang).

Pertemuan kembali seluruh peserta rombongan kami di depan warung pertigaan salodik sungguh sangat mengharukan dan menghebohkan. Tengah malam yang semestinya hening itu diributkan dengan kedatangan kami dengan saling bertukar cerita dan pengalaman. Mulai dari supir avanza yang bawa mobil seperti orang yang kebelet boker sampai penumpangnya pada mual mual, penumpang pick up kloter pertama yang duduk di bibir bak mobil dengan kedua tangan yg harus berpegangan kuat pada bibir bak mobil selama dua jam, ada yang muntah muntah, namun ada pula yg menganggapnya sebagai bagian dari wisata dengan menyempatkan beli mangga di pinggir jalan untuk oleh oleh. 

Nasi bungkus yang sudah dipesankan terlebih dahulu oleh rekan2 yg menunggu di Salodik segera kami makan sebelum melanjutkan perjalanan pulang. 

Lengket sekali niyy badaaannn...
Sungguh pengen banget ngeguyur tubuh (ngebayangin mandi dengan shower di camp).

Sekitar dua jam kemudian kami tiba di camp. Berita soal pemblokiran jalan yg kembali terjadi ternyata tidak ada. Pagar pintu masuk ke camp yang tertutup membuat kami harus menunggu cukup lama sebelum masuk ke camp. Ternyata meski sudah di depan mata pun kami masih menemui rintangan. Beberapa diantara kami terpaksa harus mengambil mobil proyek dan menjemput kami dengan jalan memutar dari gerbang utama.

finally....camp sweet camp....

Segala puji bagiNya yang memberi kami keselamatan hingga kembali ke camp tercinta.


Sekitar jam dua dini hari kami baru masuk ke camp. Perjalanan yg paling melelahkan selama ini. 
Saya segera mandi, sholat dan tidur sejenak karena jam 6 pagi harus sudah mulai bekerja..

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz................................................................(ehhh...subuhnya kesiangan !!!!!!!!!!!!)


Uso, hari ke 15 di tahun 2014



Special Thanks To :


-  Keluarga nakhoda kapal, pemilik rumah yang kami singgahi di Tanjung Jepara. Rumahnya mendadak ramai jadi tempat pengungsian.
-  Restoran dan Penginapan Ester di Pagimana, langganan kami yang rela paket makan siangnya kami batalkan. 

-  Pemilik kendaraan pick up dan avanza yang mengevakuasi kami dari Tanjung Jepara, meski kami sedkit keberatan dengan harrga sewanya.

- Teman teman seperjalanan yang tidak banyak mengeluh, saling membantu dan rela berkorban untuk teman2 yg lain. That was the best team building ever...























Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Kedua

Akhirnya, ABK kapal kami melempar jangkarnya.

Pulau yang dikelilingi terumbu karang di permukaan dangkal ini membuat kapal tak bisa merapat ke pantai sehingga membutuhkan perahu dayung kecil untuk mendarat. Banyaknya penumpang membuat proses antar jemput dari dan ke pantai ini memakan waktu yg cukup lama. Itupun sebagian peralatan, terutama peralatan masak memasak kami tinggal di kapal karena kami memang tidak berniat berlama lama di pulau ini. Menurut pengalaman kami, makin siang biasanya ombak akan semakin besar.

Selanjutnya kami mulai bersnorkeling dan berfoto ria di Pulau Tinalapu.


Nyilem Kleb @Tinalapu


 
Tinalapu - underwater view

 
Nyilemers in action























Tak perlu panjang lebar saya ceritakan tentang Pulau Tinalapu karena ulasan mengenai pulau ini sudah pernah saya posting sebelumnya.

Bedanya yaitu kali ini saya sudah punya snorkel set baru. Jadi nggak cuma berenang pakai goggle swim seperti biasanya :P

Mengenai Pulau Tinalapu silahkan baca postingan saya sebelumnya disini


Atau postingan saya di detik travel sbb :





Sebelum tengah hari kami sudah bersiap kembali ke Pagimana.
Namun dikarenakan besarnya ombak maka perantara kapal kami dan nakhoda memutuskan untuk singgah di Tanjung Jepara -tempat nakhoda kapal kami tinggal- sebelum kembali ke Pagimana. 

Untungnya ombak yang besar ini mengarah ke Tanjung Jepara. Beberapa kali kami rasakan kerasnya ombak yg datang dari arah belakang dan menghantam baling baling mesin kapal kami. Beberapa kali juga saya rasakan kapal kami terangkat diatas ombak. Mungkin kapalnya pengen surfing (hehe..).

Akhirnya kapal kami sampai di Tanjung Jepura, tepatnya di sebuah desa kecil yang ditinggali sekelompok nelayan Suku Bajo. Kuatnya ombak masih terasa meskipun kapal kami telah sandar di dermaga. Kami segera turun dari kapal dan menurunkan barang2 bawaan. 


Kampung Terapung Suku Bajo Yang Hampir Tak Tersentuh Pembangunan

Kami dibawa menuju rumah milik nakhoda kapal kami untuk beristirahat sejenak. Sebuah rumah kayu terapung sederhana beralaskan potongan2 bambu, namun tergolong mewah dibandingkan rumah2 di sekitarnya yang kondisinya memprihatinkan.

Susahnya bagi kami, desa ini kesulitan air bersih. Sehingga boro boro mau mandi untuk membersihkan diri setelah berenang di laut, sekedar buang air kecil pun kami tidak tega menggunakan sedikit stok air tawar yg mereka punya.

Kampung Suku Bajo di Tanjung Jepara
Lantai rumahnya dari bilah2 bambu.

Desa penolong kami ini juga tidak dialiri listrik.

Sebagian rumah memiliki genset yg hanya digunakan saat malam hari, mulai jam 6 hingga jam 12 malam.


Untuk transportasi, cuma sepeda motor-lah alat transportasi darat yg mungkin juga hanya dimiliki oleh beberapa orang.

Jadi tontonan anak-anak :)
Ini adalah kenyataan yg terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Saat sebagian yg yang lain membuang buang air bersih dengan berendam di bath tub yang nyaman, membuat kolam renang pribadi, menyirami rumput golf dengan luas hektaran, saudara2 kita disini kesulitan air bersih. Bahkan untuk sekedar MCK pun mereka mesti berhemat air. Fasilitas umum, sekolah dan sarana kesehatan boleh dikatakan tak ada sama sekali.

Saat kami membagi bagikan buah apel ke anak2 kampung ini, mereka sangat bersuka cita dan tidak serta merta langsung memakannya. barangkali itu adalah pertama kalinya mereka mendapatkan buah apel. Sungguh kita yg ditakdirkan untuk tidak tinggal di daerah seperti ini mesti merasa bersyukur.
Di seberang rumah Bapak Nakhoda ini ditumbuhi pohon pohon kelapa yang tinggi. Pohon pohon tersebut bergoyang goyang dengan kerasnya karena tertiup angin kencang. Saya mengurungkan niat untuk duduk duduk dibawahnya karena takut kejatuhan buah kelapa dari pohonnya.


Kencangnya angin laut saat itu.
Baru kali ini saya lihat pohon kelapa bergoyang dengan kerasnya


Penduduk setempat mengatakan bahwa sudah bbrp hari ini angin bertiup sangat kencang dan membuat mereka tak berani melaut. Coba bayangkan, orang2 yg hidupnya dibawah garis kemiskinan ini harus pula berhenti melaut yg notabene mrpkan mata pencahariannya.


Pemuda setempat yg kami temui di dermaga bahkan mengatakan bahwa jika kami bersikeras kembali ke Pagimana dalam kondisi angin dan ombak sekencang ini, kapal kami pasti akan terbalik di tengah laut.
(ini nasihatin apa nyumpahin?)




Diantara kami, sebagian asyik berbincang bincang, sebagian lagi tidur tiduran sementara sebagian yg lain memasak untuk makan siang kami. Anggota Dewan Syuro bermusyawarah dengan perantara kapal kami mengenai cara yg akan ditempuh untuk kembali ke Pagimana. Jarak dari desa ini ke Pagimana sekitar 3 jam perjalanan darat. Kami memikirkan beberapa alternatif untuk pulang sbb :

1. 10 orang yg bertugas sbg driver menjadi volunteer untuk menempuh resiko kembali ke Pagimana lewat laut. Semua barang dan perlengkapan diturunkan terlebih dahulu. 
# perkiraan waktu = 8 jam (tanpa istirahat)

2. 6 org yg bertindak sbg supir dalam rombongan mengojek 6 motor ke Pagimana dan menjemput kami sampai ke desa ini.
# perkiraan waktu = 10 jam (tanpa istirahat)

3. Mencari mobil yang bisa disewa untuk mengangkut kami, yang baru bisa ditemukan di desa terdekat yang berjarak setengah jam perjalanan dengan sepeda motor.
# perkiraan waktu = 11-12 jam (dimulai dengan mencari mobilnya)


# Drama mirip reality show "Amazing Race" pun dimulai #

Opsi pertama coba dijalankan. Para driver yg siap mempertaruhkan nyawanya ini dengan heroik menuju dermaga dan segera naik ke atas kapal. Namun kencangnya angin dan kuatnya ombak membuat nyali kami ciut kembali. Lebih baik tidak mengambil resiko.

Opsi keduapun langsung dicoret karena ternyata tidak mudah mencari sepeda motor (yang jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari) yang bisa disewa.

Opsi trakhir akhirnya yang diambil. Perantara kapal kami berangkat menggunakan sepeda motor ke desa terdekat untuk mencari mobil yang bisa disewa.

Sekitar dua jam kemudian beliau kembali dengan kabar bahwa hanya ada dua mobil yang bisa disewa. Satu Hi-Lux pick up single cabin. Dan satunya lagi Toyota Avanza. Hmmm...tiga puluh enam orang dan hanya ada dua mobil ?
Karena tak ada pilihan lain, kami terpaksa mengiyakan.


Bersambung ke Bagian Ketiga