Friday, November 16, 2012

One Day Trip : Gunung Pancar – Oud Batavia & Pelabuhan Sunda Kelapa


Tadinya saya bermaksud merancang tema wisata pesisir Jakarta untuk acara jalan2 kali ini. Namun karena pertimabangan waktu dan jarak tempuh, temanya jadi kombinasi antara pegunungan, kota tua dan pelabuhan. Terpaksa Islamic Center Koja dan Kampung Nelayan Marunda saya coret dari daftar dalam trip kali ini.

Gunung Pancar

Setengah tujuh pagi, kami berdelapan meluncur ke Gunung Pancar, sebuah destinasi wisata di kawasan Sentul, Bogor. Memasuki kawasan hutan Gunung Pancar, kami dikenai retribusi Rp. 10.000 per orang. Segar sekali melihat deretan hutan pinus yang tertata rapi. Namun karena takut kesiangan dan semakin ramai di lokasi pemandian, kami memutuskan untuk berfoto di hutan pinus setelah mandi air panas.

Memasuki kawasan pemandian air panas, kami ditarik retribusi lagi sebesar sepuluh ribu rupiah per orang. Kebetulan salah seorang diantara rombongan kami yang paling sepuh (Eyang Hananto) kenal dekat dengan sang pengelola kawasan wisata pemandian air panas Gunung Pancar. Setelah bertemu dengan pemiliknya kami langsung disambut dengan singkong dan pisang goreng sembari menyeruput bandrek…Sluurrrpp…!!



Setelah sarapan ala kadarnya namun nikmat khas pegunungan ini, kami segera menuju pemandian untuk berendam air panas. Pemandian yang dikelola oleh kenalan Pak Hananto ini mempunyai kolam kolam yang bisa disewa untuk keluarga dan juga digunakan untuk terapi air panas. Namun karena kolam2nya sudah penuh, kami memilih untuk turun dan mandi di pemandian yang dikelola ooleh masyarakat sekitar.


Menuju pemandian di kolam yg dikelola penduduk


Maaf, foto2 tempat2 pemandiannya nggak saya foto karena kebanyakan sudah terisi orang2 yang mandi. Takut dikira tukang ngintippp (hahaha….) 

Di pemandian air panas Gunung Pancar, airnya hanya sedikit mengandung belerang. Pengelolanya menyediakan bubuk belerang tabur dan bubuk luluran bagi pengunjung yang menginginkan, tentunya dengan biaya tambahan.

Rumah Miring



Selesai mandi kami segera pamit pulang dan menuju Jakarta.
Mampir sebentar di hutan pinus untuk foto-foto 

Hutan Pinus Gunung Pancar




Oud Batavia

Kota Tua siang itu sangat ramai, apalagi sedang ada konser musik. Juga museum sejarah Jakarta (Fatahillah) sedang dalam renovasi L Maka lengkaplah kekecewaan untuk bisa melukis cahaya (bahasanya potograper euyyy...) di tempat tersebut. Diantara sekian banyak museum, kami cuma  masuk ke museum sejarah Jakarta, meski gedungnya sedang direnovasi.




Onthel

Eyang dan Ega tampak buntut :)



Pak Han in-action


Matahari yang semakin beranjak ke barat membuat kami tidak sempat mampir ke Jembatan Kota Intan, Toko Merah yang legendaris dan beberapa spot 'tempo doloe' yang lain. "Lain kali deh", pikir saya. Nunggu kawasan Kota Tua selesai dibenahi oleh Pak Jokowi…hehe…

Pelabuhan Sunda Kelapa

Pelabuhan Sunda Kelapa sore itu relatif sepi. Tidak banyak kegiatan yang terlihat di pelabuhan tersebut. Padahal, ingin sekali saya mengabadikan gambar prosesi bongkar-muat yang menggunakan metode yang sudah ada sejak jaman dahulu kala, yaitu menggunakan punggung manusia. Ya, seperti itulah faktanya. Di saat manusia modern telah berhasil menemukan aneka peralatan canggih yang membuat manusia semakin pongah, kuli-kuli panggul di tempat ini masih menggunakan punggungnya untuk mencari nafkah.


Di tempat ini kita dapat melihat kapal-kapal khas Bugis yang sering disebut dengan Pinisi. Terlihat puluhan kapal Pinisi tua berjejer di tempat ini. Kapal-kapal yang mungkin membuat kita selalu membanggakan diri sebagai bangsa bahari dan mempunyai nenek moyang orang pelaut ini jika dilihat dari dekat kondisinya cukup memprihatinkan. Banyak kayu-kayunya yang sudah lapuk termakan usia dan ganasnya ombak di laut. Menurut Bapak Tukang Perahu, seluruh kapal-kapal tersebut masih bisa melaut….hiiiiii…bisa dibayangkan bagaimana gagahnya para pelaut kapal-kapal tua ini menghadang ombak dan menerjang badai menggunakan bahtera dan peralatan yang seadanya..

Kapal Kapal Pinisi

Kami menyewa perahu untuk menyisir kampung nelayan, mencoba melihat dari dekat potret buram dari kemegahan kota metropolis yang disebut Jakarta.
Kaum-kaum yang 'terpinggirkan' ini tinggal di rumah2 terapung di pinggiran laut. Dengan kondisi gubuk yang memprihatinkan dan mengandalkan bambu bambu sebagai kaki-2 penopang yang sebagian diataranya bahkan telah lapuk karena terus menerus terendam air laut.  

perahu-perahu nelayan

masyarakat pimggiran


keceriaan anak-anak pesisir Jakarta

masih ada secercah harapan disana, Nak.....

Oooommmm....Tante Cantik........poto doonnggg.......

Kaki kaki rumah yang rapuh

Abang jadi keingetan waktu di Venice :)

Pemukiman warga berlatar menara Masjid Keramat Luar Batang

Sampah menggenang dimana2 dan menimbulkan bau yang tidak sedap.


Ahhhh… bagaimanapun kita mesti selalu bersyukur diberikan kesempatan oleh Tuhan tidak tinggal di tempat seperti itu.

Semoga saja 'Kampung Deret' atau apapun namanya segera dapat direalisasikan oleh Gubernur baru Jakarta.

*************************************
Thanks  a lot to Neti san, sponsor jalan-2 kali ini.
Can't wait your next home leave :)





Saturday, September 29, 2012

Days At Celebes Island


Ramadhan kemarin dapet kesempatan business trip ke Luwuk, Banggai, Sulawesi Tengah.
Ini pertama kalinya saya menjejakkan kaki di tanah Celebes ini.

Sebelum landing di Makasar, saya menyaksikan melalui jendela pesawat bahwa di sekitar pulau Sulawesi banyak terdapat pulau2 kecil nan cantik, dengan air berwarna hijau kebiruan dan pasir putih. Tak heran pulau ini kaya akan wisata bahari seperti Bunaken, Wakatobi dan Togean yang sudah mendunia.


Sayangnya, berhubung ini perjalanan dinas dan tidak ada buget khusus ke tempat2 tsb, maka tempat2 tsb hanya saya simpan rapi di daftar kunjungan tempat2 menariik di nusantara. Entah kapan saya akan mendapat kesempatan mengunjungi tempat2 tsb :(

Luwuk sendiri mempunyai pantai yang cantik, airnya sangat jernih sehingga dari dermaga saya dapat melihat ke dasar laut. Sayangnya waktu itu bulan puasa dan saya harus menahan keinginan untuk menceburkan diri ke laut.

Berikut beberapa gambar selama berada di Luwuk dan Makasar


Pagi Hari di Luwuk

Cameraman Wanna Be

@MOF

Site's View from Hill

Dinner dengan sobat Lama di Makasar

Masjid Al Markaz (Jend. M. Yusuf)

Masjid Apung


Pantai Losari

Thursday, September 13, 2012

Trip To Sawarna (The Hidden Paradise)


Indonesia sungguh diberkati, dimana Tuhan menampakkan secuil surga-Nya di banyak titik di seluruh penjuru nusantara. Dan salah satunya yang masuk dalam kategori 7  Hidden Paradise di Indonesia versi On The Spot (beserta Raja Ampat, Pulau Derawan dan lain2) yaitu Sawarna.

Setelah hanya mendengar namanya saja sejak bbrp tahun lalu, dengan bermodalkan Field Trip Report para bloggers petualang, akhirnya kali ini saya merancang perjalanan menuju tempat tersebut. Rasanya hampir semua blog yang menceritakan Sawarna habis saya ubek-ubek, demi tidak menyia-nyiakan waktu liburan kami -orang2 kantoran- yang sangat singkat.

Akhirnya Jum'at malam selepas jam kantor dan jam lembur (soalnya baru berangkat jam 8 lewat), ke-12 'bolang jadi-jadian' ini berangkat menuju salah satu ujung pesisir selatan Pulau Jawa tsb dengan menggunakan Isuzu Elf carteran. 

Sawarna sebetulnya bisa ditempuh dari dua jalur, melalui Pelabuhan Ratu atau Serang. Dengan alasan menghindari jalur Pelabuhan Rati yang medannya cukup ekstrim, supir kami memilih melewati Serang, meskipun dia sendiri juga belum pernah mencoba jalur tsb. Nanti tanya2 saja di jalan, pikir kami (meski baru saya sadari kemudian bahwa pikiran tsb terlalu naïf).

Perjalanan malam melalui Serang memang tidak dianjurkan karena relatif sepi, minimnya penerangan dan fasilitas umum di sepanjang jalan. Dan ternyata betul kata orang bahwa jalan menuju surga itu tidak mudah. Kami sempat nyasar dua kali dan berpuluh kilometer terbuang sia-sia. Untungnya ini jaman canggih dan kami dipersenjatai dengan smartphone dan tablet yang bisa akses GPS mengunakan  Google Map sehingga praktis, pak supir cuma mengikuti arahan penunjuk jalan dari para penumpangnya (hadeuuhhh….apa nggak kebalik tuh ??).

Akhirnya, hampir setengah tujuh pagi kami baru memasuki kawasan desa wisata Sawarna yang terpencil ini. Gagal sudah daftar pertama dalam itinerary kami, yaitu hunting sunrise di Lagoon Pari.


Memasuki perkampungan Sawarna diawali dengan melewati jembatan gantung yang terkenal itu. Jembatan ini maksimum bisa dilewati 10 orang. Itupun bergatian dengan sepeda motor yang juga melewati jembatan yang goyang pinggulnya cukup yahud ini. Usai menyeberang, kami dimintai retribusi 3000  rupiah sebagai biaya pemeliharaan jembatan tersebut.

Jembatan gantung menuju Sawarna
 
Tiba di homestay, saya dibuat kecewa dengan lokasinya yang sangat tidak bagus. Padahal saya sudah booking homestay yang banyak direkomendasikan tsb jauh2 hari sebelum lebaran. Dengan dalih homestaynya penuh dan pengunjung yang sudah booking bbbp bulan sebelumnya kami diberikan rumah baru sederhana namun di lokasi yang tidak seperti bayangan saya, yaitu dengan view persawahan sebagaimana ditawarkan banyak homestay di Sawarna. Namun untungnya rumahnya cukup bersih dan kamar mandinyapun bersih.

Setelah menaruh barang dan sarapan di rumah pemilik homestay, maka dimulailah petualangan bolang alias 'bocah ilang' ini.

Saudara pemilik homestay ini memandu kami menuju destinasi pertama, yaitu Goa Lalay. Untuk menuju goa tersebut, kami harus kembali ke jalan utama dan melewati jembatan gantung lagi. Seluruh perjalanan ini kami tempuh dengan berjalan kaki. Mengingat kelelahan teman2 di trekking kali ini- terutama cewek2nya-, saya cukup menyesal mengapa kami tidak menggunakan mobil saja hingga kita berbelok dari jalan beraspal menuju persawahan.

Melewati persawahan, kebun kebun, menyeberangi jembatan gantung dan parit2 adalah bagian dari trekking kali ini. Dengan diiringi dayang2 kecil, anak2 yang tinggal di dekat lokasi goa lalay, akhirnya sampailah kami di muka goa  kelelawar tersebut.


Trekking menuju Goa Lalay



Pintu Masuk Goa Lalay



Tujuan berkutnya yatu Lagoon Pari.
Jalur trekkingnya lumayan berat karena harus naik turun jalan berbukit. Pokoknya nggak kalah sama Ninja Hatori yang mendaki gunung-turuni lembah dehhh….

Trekking dari Goa Lalay menuju Lagoon Pari

Di kelelahan kami, dari arah  muka mulai terdengar suara debur ombak. Dan akhirnya kami tiba di Lagoon Pari, the hidden beach. Yaa…pantai ini betul2 tersembunyi. Ketika kami disana saja, selain dari beberapa nelayan dan kedai2 kecil penjual kelapa muda dan makanan ringan, rombongan wisatawan yang ada yaitu cuma rombongan kami. Berasa seperti private beach gitu..dehh….Kelapa muda menjadi pelepas dahaga dan lelah kami dalam perjalanan ke Goa Lalay dan Lagoon Pari.

Pantai Lagoon Pari ini pasirnya putih  dan ombaknya tenang. Sayangnya kami sudah kesiangan sampai disitu, padahal saya ingin sekali berenang. Namun keindahan pantai ini tidak dilewatkan begitu saja oleh para 'model dadakan' dalam rombongan kami.

gaya favorit pantai

the models (pict-nya kecil-kecil aja ya..takut dilirik agency :p)

Dari Lagoon pari kami menuju Karang Taraje. Antara Lagoon pari dan Karang Taraje ini terdapat spot spot karang berlubang di tengahnya. Ada ikan ikannya juga loohhh…..
Segera saya ceburkan tubuh yang mulai lelah ini ke bath tub alami tersebut. Dan tindakan saya tidak salah karena air yang terjebak di kubangan tersebut rasanya dingin, seperti air sungai. Padahal di pinggiran kubangan tsb airnya hangat.

bath tub alami

Di dekat Karang Taraje terdapat bongkahan batu2 besar dan tebing yang menarik untuk dijadikan obyek foto. 



Puas mengambil foto di Karang Taraje, kami kembali pulang ke homestay melalui Lagoon Pari dan terus menyisir pantai ke arah barat melewati Karang Beureum.



Dan di perjalanan pulang inilah puncak keletihan para bolang jadi-2an ini. Betis-betis yang mulai protes sejak naik-turun bukit dari Goa Lalay betul2 susah diajak kompromi, terutama bagi cewek-2nya. A'a guide mengajak kami berbelok kearah  daratan, mengambil jalan pintas dan tidak melewati Tanjung Layar. Mengingat kelelahan teman2 langsung saja saya iyakan ajakannya, karena Tanjung Layar memang sudah saya rencanakan akan kami kunjungi sore hari dan keesokan harinya (akhirnya kami tidak sempat kesana sore harinya karena kelelahan).

Namun ternyata yang disebut jalan pintas-pun, tidaklah semudah yang dibayangkan. Di tengah terik matahari tsb kami harus melewati jalan yang sedikit berbukit dengan kondisi jalanan berpasir tebal. Untungnya sebagian besar rombongan kami memakai sandal gunung.

Bagi kami yang bukan anak gunung, sungguh melelahkan perjalanan pulang menuju homestay ini. Di puncak kelelahan, kami mulai berhalusinasi. Ada yang minta istirahat dan langsung merebahkan tubuhnya di pasir yang penuh bebatuan,  ada yang menceracau tidak karuan dsb (lebaydotcom). Saya sendiri menyanyikan Hymne Pramuka ingat jaman kepanduan di sekolah dasar dulu :)

Akhirnya kami sampai juga di rumah pemilik Homestay dan  segera menunaikan hak para cacing  di perut yang ikutan protes. (o..iyaa..meskipun kami cukup kecewa dengan lokasi tempat menginap kami, tapi masakan pemilik homestay ini muantabb lho……)

Sore harinya, selepas istirahat kami berjalan jalan menyisir pantai Ciantir, namun tidak sampai ke Tanjung Layar karena masih kelelahan. Dari pantai Ciantir ke Tanjung Layar terdapat spot karang yang ditumbuhi semacam lumut atau vegetasi laut yang hijau bak permadani terhampar di tepi laut. 


Setelah itu kami kembali ke Homestay untuk makan malam.

Demikian lah perjalanan kami hari pertama di Sawarna.


Memasuki hari kedua di Sawarna saya bangun pagi pagi dan bersama dua orang teman menuju Pantai Ciantir untuk menikmati sunrise dan suasana pagi di pantai Sawarna. Sayangnya spot yang terbaik untuk melihat sunrise di Sawarna yaitu di Lagoon Pari. Meski gagal hunting sunrise di Lagoon Pari di hari pertama, namun jelas tidak ada diantara kami yang mau kembali ke Lagoon Pari mengingat kelelahan fisik selepas perjalanan di hari pertama masih terasa hingga sekarang.

sunrise at Ciantir Beach


Dari Pantai Ciantir, kami kembali ke rumah pemilik homestay untuk sarapan. Setelah sarapan agenda kami berikutnya yaitu ke Tanjung Layar yang berjarak sekitar 700 m dari homestay. Saya menyemangati teman2 yang masih kecapean setelah perjalanan kemarin untuk ikut semua ke Tanjung Layar. Tanjung Layar merupakan salah sati ikon Sawarna. Kita belum dibilang ke Sawarna kalau belum mengunjungi dan mengambil foto di Tanjung Layar.


Menurut hasil surfing di internet,  Tanjung Layar yang berupa karang raksasa berbentuk seperti layar perahu tsb bisa kita dekati di pagi hari. Dan inilah salah satu alasan utama saya ke tempat tsb di pagi hari selain pagi hari tempat tsb akan relatif sepi. Paling tidak di pagi hari orang2 yang malas bangun pagi belum akan tiba disana dan makin menyulitkan kami dalam mengambil foto2.

Dari kejauhan kedua karang raksasa ini tampak biasa saja, sebagaimana banyak saya lihat gambarnya di internet. 



Namun begitu didekati…..ckckckkck…..Subhanalloh….betapa indah dan eksotisnya tempat tersebut. 

Tanjung Layar


Hamparan gugusan karang  membentang lebar sebagai akses kita mendekati kedua karang raksasa tsb. Di sebelahnya lagi terdapat benteng karang yang mirip seperti di Karang Taraje dan Karang Beurueum yang mengalirkan air seperti air terjun ketika diterjang ombak yang besar.

Puas mengambil gambar di Tanjung Layar, kami beristirahat dan minum kelapa muda yang rasanya lebih enak daripada kelapa muda di Lagoon Pari kemarin. Setelah memuaskan dahaga, kami segera kembali ke pantai Ciantir untuk habis-habisan bermain air di hari terakhir ini, disebabkan siangnya kami harus segera kembali ke Jakarta. Kabarnya pantai ini merupakan surga para peselancar dari mancanegara. Namun sewaktu saya kesana sepertinya saya hanya melihat seorang surfer. Dan memang ada bule Australia bersama keluarganya yang kebetulan menginap di salah satu homestay yang dimiliki pemilik homestay kami saya lihat sedang bersiap surfing ketika kami kembali ke homestay. Kemungkinan bulan ini bukan musimnya bule-bule surfing di Sawarna.


Di pantai ini sebetulnya tidak dianjurkan berenang karena ombaknya yang besar. Namun demi memenuhi hasrat untuk bermain air, maka kami semua menceburkan diri ke laut. 

enak bener..main di pantai yang bersih


paus-paus terdampar di Sawarna

 
Setelah puas bermain air dan ombak di laut, kami segera kembali ke homestay untuk mandi dan bersiap kembali menuju Jakarta. Setelah berpamitan dengan pemilik homestay, kami segera kembali pulang ke Jakarta.

Rute  yang kami ambil dalam perjalanan pulang kali ini melewati Bayah-Malimping-Gunung Kencana-Rangkas Bitung-Serang untuk menghindari jalanan yang rusak di jalur Saketi-Malimping yang kondisinya banyak yang rusak. Lagi-lagi GPS menjadi andalan kami, karena jalur ini menurut saya lebih panjang dari jalur waktu perjalanan berangkatnya.

Aahhhh…Sawarna yang penuh warna…
Tetaplah seperti itu...dan jauhi tangan tangan kapitalis yang ingin menjamahmu.
Cuma kesederhanaan pendudukmu dan kearifan lokal-lah yang akan membuatmu tetap bersinar, meski cerita indah tentangmu hanya terdengar dari mulut ke mulut...