Wednesday, January 15, 2014

Dondolang Coret (Untold Stories)

# Kutukan Hiu

Diantara pekatnya malam, dalam perjalanan di atas mobil bak terbuka Khrisna menceritakan pengalamannya saat snorkeling di Pulau Tinalapu siang harinya.

"Karena snorkeling di tempat kalian terlalu mainstream, aku coba ke sisi pulau yg satunya. Pertama aku ngeliat anak hiu, aku ikutin tuh. Tiba2 muncul emaknya yang badannya segede orang dewasa. Buru2 aku lepas alat snorkeling dan berenang sekencang kencangnya ke pinggir deh. Hiiiiiiiiiiiiiiiiiiii...............!!!!"


#Kutukan Kaos Nyilem Kleb

Saya pasang target, kaos seragam Nyilem Kleb harus bisa kami pakai di Pulau Dondolang. Untuk itu saya tidak berani menggunakan jasa kargo. Melesetnya jadwal delivery membuat saya sempat marah marah dengan pihak2 yang terlibat dalam rantai pengiriman kaos tersebut. Pada akhirnya kaos tersebut bisa sampai tepat saat kami akan berangkat menuju Pagimana.


# Kutukan HP

Di postingan trip ke Pulau Boba saya ceritakan bahwa dalam beberapa trip teman2 harus merelakan HPnya almarhum karena HPnya ngambek nggak diajak snorkeling :p

Dan kali ini rupanya giliran saya :(



Hal buruk lainnya yg menimpa saya dalam trip kali ini yaitu jebolnya tas ransel Navi Club yg setia menemani selama bertahun tahun dan juga sandal Eiger abal-abal yg belum lama saya beli (hikksss...hikksss....)

Oalahhh...Ngasibbb....ngasibb.....(kayaknya saya nih, yang mesti diruwat)





Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Ketiga (habis)


Menunggu adalah pekerjaan yang paling membosankan.

Baru sekitar setengah lima sore mobil2 yang dimaksud datang menjemput kami. Rencananya Avanza dipergunakan untuk membawa enam orang driver ke Pagimana untuk mengambil mobil dan sebagian barang2 yang kami tinggal di penginapan. Mobil Hi-Lux bak terbuka dipergunakan untuk mengangkut 30 orang sisanya ke Salodik dalam dua rit.

Rombongan avanza segera berangkat dan Hi-Lux menyusul di belakangnya. Banyaknya barang yg dibawa rombongan kami membuat sebagian besar cowok2 yg berada di atas bak mobil harus duduk berkeliling di pinggiran bak mobil.

Another horror had just begun....(pasalnya perjalanan ke Salodik memakan waktu sekitar 2 jam)

Sisanya yg sebagian besar cewek2 tetap tinggal dan menunggu mobil pick-up kembali untuk menjemput kami.Beberapa dari kami yang tetap tinggal mencari kesibukan dengan berjalan2 di sekeiling desa terpencil ini. Pertama-tama kami menghampiri tempat pembuatan perahu nelayan. Kemudian kami coba kembali ke dermaga untuk melihat kondisi ombak di laut.

Lantaran ombak dan angin sedikit mereda, perantara kapal kami menawarkan sekali lagi untuk menempuh perjalanan lewat laut, ketimbang menunggu mobil pick-up kembali menjemput kami. Namun kami tidak berani menempuh resikonya. Lebih baik menunggu mobil pick up kembali menjemput meskipun harus menunggu lama.

Kembali lagi ke rumah sang nakhoda, kami mencoba membunuh waktu dengan bermain kartu. Seru juga ternyata main kartu dengan anak2 abg. Saya yg paling tua namun berjiwa paling muda (husshh...dilarang protes!)  jadi bahan bulan bulanan karena kalah terus terusan (sssstttttttttttt....sebenarnya saya sengaja ngalah, biar yg lainnya pada seneng).

di tempat pengungsian

Sebagian yang lainnya memilih untuk tidur sambil membayangkan kira2 jam berapa kami bisa tiba di camp tercinta lagi.


Mana badan dan rambut masih lengket karena belum mandi sehabis berenang di Tinalapu.

Siangnya tadi waktu saya pipis di semak2 di seberang rumah, saya sempat kaget mendapati si otong masih diselimuti oleh pasir putih (hahaha...).


Sekitar jam 9 malam pick up yang menjemput kami tiba. Kami segera pamit kepada pemilik rumah karena telah diperbolehkan menumpang dan berbuat kegaduhan di kampung tsb. Mulai dari jadi pusat perhatian masyarakat dalam perjalanan dari dermaga, jadi tontonan anak2 kecil dari balik pagar rumah (gini kali rasanya jadi monyet di kebon binatang ye?), sampai berisiknya suara kami ketawa cekikikan saat pada main kartu.

09.00 pm.
Kami semua naik ke atas bak mobil dan mencoba menyusun formasi duduk.

Dan dimulailah penderitaan ini...........

Coba bayangkan! Bak mobil terbuka tersebut harus bisa mengangkut 15 orang lengkap dengan tas tas dan barang bawaan masing2. Untungnya barang yang besar2 sudah dibawa oleh rombongan pertama. Meskipun demikian, tetap saja menyengsarakan. Saking sempitnya kami duduk berhimpitan, maka bagian tubuh kami beradu satu dengan yg lain. Lutut ketemu lutut, kaki ketemu kaki dan pantat ketemu pantat (masih mendingan- lah, daripada pantat ketemu hidung). Bergerak saja susah, apalagi kalo ingin bergeser.

Kemudian moda angkutan yang sangat tidak direkomendasikan oleh badan keselamatan transportasi nasional ini segera membelah hutan dan perkebunan menuju Salodik.

Untung ada yg ngambil gbrnya. Biar ngga dibilang hoax..

Lutut yang musti ditekuk jelas bikin kesemutan dan pinggang terasa pegal. Apalagi ketika melewati jalan yang rusak dan berlubang. Pantat langsung beradu dengan lantai dek besi yang keras. Saat sang supir berhenti sejenak di salah satu rumah penduduk kami gunakan untuk mencoba merubah formasi duduk. Celakanya untuk sebagian orang posisinya malah tambah parah..hahaha..

Untuk sedikit meringankan penderitaan kami secara dadakan saya, Khrisna dan Yadi segera membentuk paduan suara dengan nama 'Trio Ambisi' (yang kasih nama Neng Wulan nih). 


Demikianlah, perpaduan antara deru mesin mobil, gesekan ban dengan jalanan, suara gesekan dedaunan yg tertiup angin, suara jangkrik, kumbang dan hewan hewan malam lainnya, dengan suara sumbang Trio Ambisi dan backing vocal Joanne berhasil menyemarakkan malam dengan menghasilkan sebuah orkestra yang ajaib (hihihi...)

Beberapa tetes air sempat jatuh dari langit. Untungnya hujan tidak turun malam itu. Kalau saja hujan turun saat itu juga, bakal lengkap sudah penderitaan..

Mungkin ini merupakan pengalaman sekali seumur hidup buat kami. Namun di daerah pedalaman sana atau di negara2 miskin, barangkali ada orang2 yg terbiasa dengan kondisi berjejalan diatas mobil bak seperti ini dikarenakan terbatasnya moda transportasi.

Tak terasa hampir dua jam kami melewati penderitaan ini (pale loe tak terasa !) sampai  kemunculan para penyelamat kami, yaitu mobil2 sewaan kami yang telah diambil oleh rekan2 kami dari Pagimana.

Kami segera transfer ke mobil2 tsb dan berakhirlah penderitaan diatas mobil bak terbuka tsb (hela nafas panjang).

Pertemuan kembali seluruh peserta rombongan kami di depan warung pertigaan salodik sungguh sangat mengharukan dan menghebohkan. Tengah malam yang semestinya hening itu diributkan dengan kedatangan kami dengan saling bertukar cerita dan pengalaman. Mulai dari supir avanza yang bawa mobil seperti orang yang kebelet boker sampai penumpangnya pada mual mual, penumpang pick up kloter pertama yang duduk di bibir bak mobil dengan kedua tangan yg harus berpegangan kuat pada bibir bak mobil selama dua jam, ada yang muntah muntah, namun ada pula yg menganggapnya sebagai bagian dari wisata dengan menyempatkan beli mangga di pinggir jalan untuk oleh oleh. 

Nasi bungkus yang sudah dipesankan terlebih dahulu oleh rekan2 yg menunggu di Salodik segera kami makan sebelum melanjutkan perjalanan pulang. 

Lengket sekali niyy badaaannn...
Sungguh pengen banget ngeguyur tubuh (ngebayangin mandi dengan shower di camp).

Sekitar dua jam kemudian kami tiba di camp. Berita soal pemblokiran jalan yg kembali terjadi ternyata tidak ada. Pagar pintu masuk ke camp yang tertutup membuat kami harus menunggu cukup lama sebelum masuk ke camp. Ternyata meski sudah di depan mata pun kami masih menemui rintangan. Beberapa diantara kami terpaksa harus mengambil mobil proyek dan menjemput kami dengan jalan memutar dari gerbang utama.

finally....camp sweet camp....

Segala puji bagiNya yang memberi kami keselamatan hingga kembali ke camp tercinta.


Sekitar jam dua dini hari kami baru masuk ke camp. Perjalanan yg paling melelahkan selama ini. 
Saya segera mandi, sholat dan tidur sejenak karena jam 6 pagi harus sudah mulai bekerja..

Zzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzzz................................................................(ehhh...subuhnya kesiangan !!!!!!!!!!!!)


Uso, hari ke 15 di tahun 2014



Special Thanks To :


-  Keluarga nakhoda kapal, pemilik rumah yang kami singgahi di Tanjung Jepara. Rumahnya mendadak ramai jadi tempat pengungsian.
-  Restoran dan Penginapan Ester di Pagimana, langganan kami yang rela paket makan siangnya kami batalkan. 

-  Pemilik kendaraan pick up dan avanza yang mengevakuasi kami dari Tanjung Jepara, meski kami sedkit keberatan dengan harrga sewanya.

- Teman teman seperjalanan yang tidak banyak mengeluh, saling membantu dan rela berkorban untuk teman2 yg lain. That was the best team building ever...























Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Kedua

Akhirnya, ABK kapal kami melempar jangkarnya.

Pulau yang dikelilingi terumbu karang di permukaan dangkal ini membuat kapal tak bisa merapat ke pantai sehingga membutuhkan perahu dayung kecil untuk mendarat. Banyaknya penumpang membuat proses antar jemput dari dan ke pantai ini memakan waktu yg cukup lama. Itupun sebagian peralatan, terutama peralatan masak memasak kami tinggal di kapal karena kami memang tidak berniat berlama lama di pulau ini. Menurut pengalaman kami, makin siang biasanya ombak akan semakin besar.

Selanjutnya kami mulai bersnorkeling dan berfoto ria di Pulau Tinalapu.


Nyilem Kleb @Tinalapu


 
Tinalapu - underwater view

 
Nyilemers in action























Tak perlu panjang lebar saya ceritakan tentang Pulau Tinalapu karena ulasan mengenai pulau ini sudah pernah saya posting sebelumnya.

Bedanya yaitu kali ini saya sudah punya snorkel set baru. Jadi nggak cuma berenang pakai goggle swim seperti biasanya :P

Mengenai Pulau Tinalapu silahkan baca postingan saya sebelumnya disini


Atau postingan saya di detik travel sbb :





Sebelum tengah hari kami sudah bersiap kembali ke Pagimana.
Namun dikarenakan besarnya ombak maka perantara kapal kami dan nakhoda memutuskan untuk singgah di Tanjung Jepara -tempat nakhoda kapal kami tinggal- sebelum kembali ke Pagimana. 

Untungnya ombak yang besar ini mengarah ke Tanjung Jepara. Beberapa kali kami rasakan kerasnya ombak yg datang dari arah belakang dan menghantam baling baling mesin kapal kami. Beberapa kali juga saya rasakan kapal kami terangkat diatas ombak. Mungkin kapalnya pengen surfing (hehe..).

Akhirnya kapal kami sampai di Tanjung Jepura, tepatnya di sebuah desa kecil yang ditinggali sekelompok nelayan Suku Bajo. Kuatnya ombak masih terasa meskipun kapal kami telah sandar di dermaga. Kami segera turun dari kapal dan menurunkan barang2 bawaan. 


Kampung Terapung Suku Bajo Yang Hampir Tak Tersentuh Pembangunan

Kami dibawa menuju rumah milik nakhoda kapal kami untuk beristirahat sejenak. Sebuah rumah kayu terapung sederhana beralaskan potongan2 bambu, namun tergolong mewah dibandingkan rumah2 di sekitarnya yang kondisinya memprihatinkan.

Susahnya bagi kami, desa ini kesulitan air bersih. Sehingga boro boro mau mandi untuk membersihkan diri setelah berenang di laut, sekedar buang air kecil pun kami tidak tega menggunakan sedikit stok air tawar yg mereka punya.

Kampung Suku Bajo di Tanjung Jepara
Lantai rumahnya dari bilah2 bambu.

Desa penolong kami ini juga tidak dialiri listrik.

Sebagian rumah memiliki genset yg hanya digunakan saat malam hari, mulai jam 6 hingga jam 12 malam.


Untuk transportasi, cuma sepeda motor-lah alat transportasi darat yg mungkin juga hanya dimiliki oleh beberapa orang.

Jadi tontonan anak-anak :)
Ini adalah kenyataan yg terjadi di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini. Saat sebagian yg yang lain membuang buang air bersih dengan berendam di bath tub yang nyaman, membuat kolam renang pribadi, menyirami rumput golf dengan luas hektaran, saudara2 kita disini kesulitan air bersih. Bahkan untuk sekedar MCK pun mereka mesti berhemat air. Fasilitas umum, sekolah dan sarana kesehatan boleh dikatakan tak ada sama sekali.

Saat kami membagi bagikan buah apel ke anak2 kampung ini, mereka sangat bersuka cita dan tidak serta merta langsung memakannya. barangkali itu adalah pertama kalinya mereka mendapatkan buah apel. Sungguh kita yg ditakdirkan untuk tidak tinggal di daerah seperti ini mesti merasa bersyukur.
Di seberang rumah Bapak Nakhoda ini ditumbuhi pohon pohon kelapa yang tinggi. Pohon pohon tersebut bergoyang goyang dengan kerasnya karena tertiup angin kencang. Saya mengurungkan niat untuk duduk duduk dibawahnya karena takut kejatuhan buah kelapa dari pohonnya.


Kencangnya angin laut saat itu.
Baru kali ini saya lihat pohon kelapa bergoyang dengan kerasnya


Penduduk setempat mengatakan bahwa sudah bbrp hari ini angin bertiup sangat kencang dan membuat mereka tak berani melaut. Coba bayangkan, orang2 yg hidupnya dibawah garis kemiskinan ini harus pula berhenti melaut yg notabene mrpkan mata pencahariannya.


Pemuda setempat yg kami temui di dermaga bahkan mengatakan bahwa jika kami bersikeras kembali ke Pagimana dalam kondisi angin dan ombak sekencang ini, kapal kami pasti akan terbalik di tengah laut.
(ini nasihatin apa nyumpahin?)




Diantara kami, sebagian asyik berbincang bincang, sebagian lagi tidur tiduran sementara sebagian yg lain memasak untuk makan siang kami. Anggota Dewan Syuro bermusyawarah dengan perantara kapal kami mengenai cara yg akan ditempuh untuk kembali ke Pagimana. Jarak dari desa ini ke Pagimana sekitar 3 jam perjalanan darat. Kami memikirkan beberapa alternatif untuk pulang sbb :

1. 10 orang yg bertugas sbg driver menjadi volunteer untuk menempuh resiko kembali ke Pagimana lewat laut. Semua barang dan perlengkapan diturunkan terlebih dahulu. 
# perkiraan waktu = 8 jam (tanpa istirahat)

2. 6 org yg bertindak sbg supir dalam rombongan mengojek 6 motor ke Pagimana dan menjemput kami sampai ke desa ini.
# perkiraan waktu = 10 jam (tanpa istirahat)

3. Mencari mobil yang bisa disewa untuk mengangkut kami, yang baru bisa ditemukan di desa terdekat yang berjarak setengah jam perjalanan dengan sepeda motor.
# perkiraan waktu = 11-12 jam (dimulai dengan mencari mobilnya)


# Drama mirip reality show "Amazing Race" pun dimulai #

Opsi pertama coba dijalankan. Para driver yg siap mempertaruhkan nyawanya ini dengan heroik menuju dermaga dan segera naik ke atas kapal. Namun kencangnya angin dan kuatnya ombak membuat nyali kami ciut kembali. Lebih baik tidak mengambil resiko.

Opsi keduapun langsung dicoret karena ternyata tidak mudah mencari sepeda motor (yang jumlahnya mungkin bisa dihitung dengan jari) yang bisa disewa.

Opsi trakhir akhirnya yang diambil. Perantara kapal kami berangkat menggunakan sepeda motor ke desa terdekat untuk mencari mobil yang bisa disewa.

Sekitar dua jam kemudian beliau kembali dengan kabar bahwa hanya ada dua mobil yang bisa disewa. Satu Hi-Lux pick up single cabin. Dan satunya lagi Toyota Avanza. Hmmm...tiga puluh enam orang dan hanya ada dua mobil ?
Karena tak ada pilihan lain, kami terpaksa mengiyakan.


Bersambung ke Bagian Ketiga
















Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Pertama




Trip dengan tujuan awal Pulau Dondolang kali ini sungguh meninggalkan kesan yang sangat dalam buat kami. Pasalnya, kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam trip kali ini. Hal berharga yang tak boleh dilupakan dan harus dijadikan sebagai pegangan dalam merencanakan trip-trip di masa yang akan datang.

Sabtu malam (11/01/14) dengan menggunakan enam mobil penumpang kami meluncur ke Pagimana, daratan terdekat dari pulau yang akan kami kunjungi keesokan harinya, yaitu Pulau Dondolang. Sudah lama saya mendengar nama Pulau Dondolang ini dari website pariwisata Luwuk Banggai dan baru kali ini kami bermaksud mengunjunginya.

Kali ini kami berangkat membawa rombongan yang cukup besar, yaitu sebanyak 36 orang. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah kunjungan ke pulau kecil yang tidak berpenghuni. 

Dari H-1 hingga perjalanan berkendara di darat,  aroma ‘kegagalan’ trip kali ini sebenarnya sudah mulai terasa. Dimulai dengan pemblokiran satu2nya akses jalan utama oleh masyarakat lokal (yang sebenarnya sudah kerap terjadi) dan baru dibuka pada hari-H (siangnya), hingga beberapa masalah yang terjadi dengan mobil2 yang kami pakai seperti : 2 mobil harus mengganti ban di tengah jalan dan mobil yang lain kehilangan penutup tengki bahan bakar (lepas dan terjatuh).

Bagaimanapun, hal2 tsb merupakan suatu hal yg lumrah terjadi. Tidak mungkin jika kami lantas mengurungkan niat nge-trip hanya dengan berasumsikan ‘pertanda’ tsb, karena sepertinya tak terdapat diantara kami  seorang dengan kemampuan “weruh sak durunge winarah” (tahu hal2 yg akan terjadi dimasa yg akan datang). Kemampuan yang hanya mungkin dimiliki oleh segelintir orang dari dua golongan dengan latar belakang yg sangat bertolak belakang yaitu mereka yang sangat dekat dariNya dan yang sangat jauh dariNya.

Lho, koq jadi ngomongin soal supranatural ?

Okehh, kembali ke laptopppppp…!!

Singkat cerita, tengah malam kami tiba di lokasi penginapan langganan kami di Pagimana dan segera beristirahat guna mengumpulkan energi di perjalanan keesokan harinya.

Minggu (12/01/14) saat azan subuh berkumandang, beberapa diantara kami bergegas beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah.
Hal menarik yang kami jumpai di masjid tsb : Cuma ada satu orang penduduk setempat yang sholat. BeliauIah yang melantunkan azan dan iqomat, sekaligus menjadi imam sholat berjamaah kami. Sekiranya rombongan kami tidak ada, maka titel ybs akan tambah satu lagi, yaitu “MAKMUM” 

Dari obrolan pagi, seorang kawan menginformasikan bahwa ayah seorang teman kami (Meilty) yang tinggal di sekitar Pagimana mengatakan bahwa cuaca sedang tidak bersahabat belakangan ini. Peringatan ini sebenarnya sudah bukan berupa ‘ramalan’ lagi. Namun berdasarkan fakta empiris dari para nelayan setempat yg jerih untuk melaut bbrp hari belakangan ini. Juga fakta bahwa beberapa minggu sebelumnya bupati beserta rombongan gagal bersandar ke Pulau Poat dengan speed boat kecil dikarenakan besarnya terjangan ombak. Fakta yang -dengan cerobohnya- kami abaikan.

Akhirnya, sebelum menginjakkan kaki di dermaga kami sepakat untuk mengkonfirmasinya ke perantara sewa kapal kami, apakah perjalanan menyeberang masih dimungkinkan atau tidak. Saat itu beliau menjawab dengan yakin, “Bisa…saya yg akan tanggungjawab mengenai keamanan dan keselamatan seluruh penumpang”. 

Dan sebelum berangkat, kami berdo'a bersama untuk keselamatan selama dalam perjalanan.

Maka, dengan penuh semangat ‘45, ditemani angkatan ‘66 dan tak ketinggalan pula angkatan reformasi ’98, kamipun segera naik keatas kapal.


Pagimana - Dondolang Tinalapu Yang Mendebarkan

Ombak yang terlihat tenang di pagi hari menjelang saat penyebrangan

Awalnya, tak ada yang istimewa dalam perjalanan di atas kapal menuju Dondolang. Kapal kami melaju pasti membelah samudra.


Kapal yg kami tumpangi kali ini kecepatannya relatif lebih cepat dari yg kami sewa sebelumnya. Banyak diantara kami yang membawa ear-plug untuk mengurangi kebisingan yg ditimbulkan dari mesin kapal.
Kamipun sarapan pagi bersama dengan nasi goreng yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Sebelum terjadinya horor di atas kapal

Beberapa kali perahu kecil (digunakan untuk merapat) yg ditarik di belakang kapal yg kami tumpangi terlepas tali penariknya. Otomatis mesin kapal dimatikan sambil menunggu perahu kecil yg didayung secara manual. Akibat mesin kapal dihentikan maka kapal segera terayun ayun oleh ombak dan membuat perut jadi mual. Setelah diikat kembali maka mesin kapalpun dinyalakan kembali.

Beberapa saat kemudian, saat melaju kencang kapal terasa terombang ambing lagi oleh ombak. Ombak di depan mata yang terlihat bergolak membuat kami mulai saling berpandangan dan menggelengkan kepala. Saya sendiri merasakan mual yg hebat. Seorang teman mulai membagikan obat anti mabok dan anti masuk angin. Saat gejala mual makin meningkat, saya segera menyusul teman yang tidur berbaring melantai di dek kapal yang sempit. Barangkali saat itulah - dengan tanpa permisi-  HP saya meluncur dari kantong dan jatuh ke ruang hampa di bawah dek kapal yang terisi sedikit air. 

Ombak semakin besar dan kapal kami beberapa kali oleng. Kami perkirakan tingginya ombak sekitar dua meteran. Hati saya tambah menciut. Terus terang, kejadian ini adalah yang pertama kalinya dalam petualangan antar pulau yang kami lakukan selama ini. Kapal sederhana kami dimuati 40 orang termasuk awak kapal. Sepuluh orang diantara rombongan kami adalah cewek2. Saat kapal berayun hebat saya mulai membayangkan hal terburuk jika kapal kami tidak kuat menerima hempasan ombak dan terbalik. Hwidiiiyyy….

Rasa mual yang menghebat membuat saya melompat ke pinggiran kapal dan bersiap untuk muntah dan menghibahkan semua sarapan pagi yang sudah masuk ke perut ke Dewa Poseidon atau Nyi Roro Lor (utara)-nya Sulawesi. Ajaibnya begitu saya duduk di pinggiran kapal menghadap ke laut dan bersiap untuk muntah, tiba2  air laut datang menghempas dan menyiram kepala dan separuh tubuh saya.  Akibatnya mual yg saya rasakan berkurang secara drastis dan menyelamatkan saya dari kehilangan muka karena jackpot…hehe..

Diombang ambingkan ombak besar berkelanjutan, sontak membuat saya merasa diri saya ini kecil. Sebuah noktah kecil yg tak ada artinya sama sekali di tengah hamparan samudra luas. Sebutir debu di tengah semesta yang jiwanya ada dalam genggamanNYA

Apalah artinya kemampuan berenang di tengah samudra dengan ombak yang mengganas seperti ini. Dalam benak, saya putar kilas balik beberapa perjalanan antar pulau yang kami lalui dan berlangsung dengan hampir tanpa hambatan yg berarti. Kami terlalu memandang remeh kekuatan alam dan mengabaikan peringatan dari orang tua kali ini.

"Sepandai pandai tupai melompat pasti 'kan jatuh juga"

Entah cocok atau tidak dengan ungkapan peribahasa diatas (kalo ngga cocok ya dicocok-cocokin aja lah..), rupanya inilah antiklimaks dari semangat yang menggebu-gebu dan rasa jumawa kami sebagai petualang penjelajah dan penakhluk pulau2 di sekitar lokasi tempat kami bertugas. 

Ya, kami langsung ‘down’ saat itu juga.

Dengan nyali yg tersisa kami memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Pulau Dondolang dan beralih ke Pulau Tinalapu yang relatif lebih dekat. Kami tak mau menjadi bintang surat kabar di keesokan harinya jika kapal kami terbalik. Terlebih lagi kami membawa tiga orang ekspat dalam rombongan kami. Bakal jadi santapan nyamuk pers, pastinya.

Sayangnya kuatnya gelombang ombak tak kunjung mereda.

Dan perjalanan menuju Pulau Tinalapu ini pun menjadi perjalanan terpanjang dan terlama yang pernah kami rasakan.


Bersambung ke Bagian Kedua










Monday, January 6, 2014

Curhat Soal Kamera



Melulu membuat tulisan berisi catatan perjalanan (traveling) belakangan ini mulai membuat saya jenuh dan hanya merasa menjadi travel blogger. 

Ingin sekali merefleksikan pemikiran dengan membuat tulisan yg lebih serius. Namun semua ide dan gagasan telah terbang. Entah kemana perginya hasrat menulis saya. Project pembuatan cerpen yg pernah saya gagas juga mandeg, hanya dua cerpen yang selesai. 

Hufffhh…betapa sulitnya membangkitkan kembali naluri (bukan bakat loohh..) yang sekian lama terkubur. Bagaimana cara memulainya, yach ? 

Artikel ? Essai ? Puisi ? wuidiiiyyy…kayaknya udah ngga sanggup lagi.
Coba cerita tentang kamera dehhh…(ini bukan berarti saya mengerti tentang kamera)

Baru sekitar 1,5 – 2 tahun belakangan ini (saya lupa persisnya) saya tertarik dengan kamera yang lebih serius. Sebelumnya saya tidak pernah peduli dengan kualitas foto yang dihasilkan sebuah kamera. 

Di awal era kamera digital dengan kualitas megapixel, saya membeli sebuah kamera saku bermerk Polaroid. Kalau tidak salah dulu harganya 1,6 jutaan (cukup mahal juga pada waktu itu). Cukup lama juga kamera tsb saya pakai dan sudah cukup banyak jasanya dalam mendokumentasikan perjalanan hidup keluarga kami hingga akhirnya saya nyatakan almarhum sekembalinya dipinjam oleh adik ipar saya untuk berbulan madu.

Setelah itu saya coba beli kamera saku digital yang murah, berharga sekitar 800 ribuan. Saat itu saya masih cuek aja dengan hasil foto2 yg saya buat. 

Kemudian datanglah booming  kamera DSLR. Harga DSLR low-end yang terjangkau membuat orang berbondong bondong membelinya. Entah sekedar gaya2 an atau menjurus ke serius, nyatanya melihat orang kemana mana menenteng DSLR mulai menjadi suatu hal yang lumrah.

Awalnya saya meminjam CANON EOS 600 D  lensa kit II 55-135mm milik kakak ipar saya dengan maksud ingin belajar menggunakan kamera DSLR. Trip ke Sawarna, 4 pulau di Kepulauan Seribu,  Gunung Pancar dan Kota Tua adalah pengalaman awal saya bersentuhan dengan DSLR (lihat foto2 di postingan tentang trip ke tempat2 tsb).

Saat itu pula saya mulai mencari2 referensi mengenai teknik2 dalam photography. Senior di kantor juga sempat memberi workshop kilat mengenai Aperture, Shutter Speed, DOF dan Komposisi. Sedikit pengetahuan mengenai cara2 pengaturan kamera ini coba saya terapkan secara trial n error dalam beberapa kali ‘hunting’.

Saat akan mengadakan perjalanan ke Dieng, tiba2 saya ingin punya DSLR sendiri. Malam sebelum keberangkatan ke Dieng, saya coba memboyong Canon EOS 600 D yg sudah cukup familiar buat saya. Saya membelinya dalam keadaan bekas pakai, namun kondisinya masih seperti baru. Kondisi budget saya pada waktu tsb membuat saya memutuskan membeli lensa murah meriah Canon EF 50 mm f 1.8. Sebuah keputusan bodoh yang baru saya sadari dalam aksi jeprat-jepret di Dieng.

Memangnya kenapa ?
Lensa 50 mm ini hanya Ok untuk dipakai foto portrait (meskipun saya rasa hasilnya masih kurang tajam). Efek bokehnya juga juga Ok dengan bukaannya yang lebar. Namun hobi traveling saya membutuhkan lensa dengan focal length yang lebih lebar untuk mendapatkan foto landscape ataupun bergaya narsis dengan background landscape. Lensa ini membuat saya mati gaya karena rasanya seperti memakai kacamata kuda.

Banyaknya keperluan membuat saya menunda-nunda membeli lensa yg lebih lebar hingga akhirnya saya ditugaskan ke Sulawesi. Dalam banyak trip, kamera tsb setia menemani perjalanan saya ngebolang di bumi celebes ini. Hingga pada suatu titik saya merasa DSLR terlalu berat dan sangat ribet untuk teman ngebolang. Apalagi fokus kami saat ini adalah eksplorasi alam bawah laut dan saya mulai memikirkan untuk membeli snorkel set sendiri. Otomatis barang bawaan saya bakal semakin berat.

Saat cuti terakhir, saya putuskan untuk ‘menceraikan’ kamera tersebut (sebetulnya dikarenakan lagi BU juga…hehe..). Akhirnya sekarang saya nggak punya kamera yg ‘serius’ lagi deh…(hikkss..hikss..)

Saat ini (sembari ngumpulin budget) saya sedang menimbang nimbang kamera yg akan saya pinang selanjutnya. 

Ini daftar incarannya :


1. Sony alpha Nex-6 or (at least) Sony alpha Nex-5N


Keduanya masuk kategori mirrorless interchangeable. Ya! Karena saya merasa DSLR terlalu berat, maka saya ingin kamera yg lebih ringan dengan kualitas yg tidak kalah dengan DSLR. Mirrorless-lah jawabannya. Dan dari hasil membaca beberapa review, saya tertarik dengan dua kamera diatas.





2. Sony RX 100 Mark II
 
Ganti alirannya koq terlalu ekstrim ? Dari DSLR ke kamera saku (compaq/prosumer).
Saya membayangkan betapa praktisnya bepergian dengan kamera yg bisa dimasukkan ke dalam kantong. Apalagi nanti kalau pergi haji, kamera ini bakal lebih aman untuk mendekati ka’bah. Ngga terlalu khawatir dirampas ‘asykar’. Tinggal beli tripod kecil, bisa narsis sama istri di bumi rasulullah :)
Bagaimana dengan kualitas gambar ? Kamera saku dengan sensor 1 inch (terbesar di kelasnya) ini cukup mumpuni koq. Lihat saja lensa premium Carl Zeiss yg disematkan di kamera ini. Bukaannya pun lebar sehingga cukup bisa diandalkan untuk memotret dalam kondisi kurang cahaya (low light). Barangkali ini yg membuat harga barunya melebihi DSLR pemula.

Saya suka Sony pada detail warnanya dan fitur panoramanya (nggak perlu software photo stitcher lagi). 


3. Olympus Stylus (Tough) TG-2

Ini dia kamera yang cocok untuk traveler sejati. Bisa dibawa nyilem sampai 15 meter, punya fitur GPS, tahan jatuh dari ketinggian 2 meter, tahan di suhu yang ekstrim dan ditindih bobot seberat 100 kg (wow). Yang jelas, hasil foto2 bawah laut seorang teman yg menggunakan kamera ini membuat saya ngeces. Setelah saya baca lagi reviewnya, ternyata kamera ini punya fitur canggih microscopic yang sangat membantu kita dalam membuat foto2 makro karena konon mampu memperbesar detail yg tidak terlihat dengan mata telanjang. Bukaannya pun cukup lebar untuk bisa memotret dalam kondisi low light.
Hasil foto2 teman saya tersebut menyadarkan saya bahwa kamera kompak pun bisa membuat foto2 yang enak dilihat, meskipun harus melalui proses editing juga (bukankah fotografi itu 50% nya adalah editing?).
Dalam dua trip terakhir, saya meminjam kamera underwater punya Bos. Ternyata asyik juga moto keindahan bawah laut meskipun tingkat kesulitannya tinggi.
Saya rasa kamera ini sudah bisa memenuhi kebutuhan saya. Bisa dipakai menyelam, tahan banting, ringan dan kompak namun tidak terlalu mengorbankan kualitas.
Kemana mana menenteng kamera ini masih cukup nyaman tanpa berkesan sebagai fotografer profesional. DSLR ataupun mirrorless menurut saya berpotensi membuat obyek yg kita ambil secara diam2 (candid) merasa terintimidasi.


4. Canon EOS 60 D (DSLR menengah)












Lho, koq balik lagi ke DSLR?
Kata istri saya, lebih gaya kalo make DSLR :)

Dah ahhh…mau bobo dulu.
Siapa tahu mimpi bisa ngeboyong keempat-empatnya :P



Desa Uso, malam kelima di tahun 2014