Wednesday, January 15, 2014

Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Pertama




Trip dengan tujuan awal Pulau Dondolang kali ini sungguh meninggalkan kesan yang sangat dalam buat kami. Pasalnya, kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam trip kali ini. Hal berharga yang tak boleh dilupakan dan harus dijadikan sebagai pegangan dalam merencanakan trip-trip di masa yang akan datang.

Sabtu malam (11/01/14) dengan menggunakan enam mobil penumpang kami meluncur ke Pagimana, daratan terdekat dari pulau yang akan kami kunjungi keesokan harinya, yaitu Pulau Dondolang. Sudah lama saya mendengar nama Pulau Dondolang ini dari website pariwisata Luwuk Banggai dan baru kali ini kami bermaksud mengunjunginya.

Kali ini kami berangkat membawa rombongan yang cukup besar, yaitu sebanyak 36 orang. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah kunjungan ke pulau kecil yang tidak berpenghuni. 

Dari H-1 hingga perjalanan berkendara di darat,  aroma ‘kegagalan’ trip kali ini sebenarnya sudah mulai terasa. Dimulai dengan pemblokiran satu2nya akses jalan utama oleh masyarakat lokal (yang sebenarnya sudah kerap terjadi) dan baru dibuka pada hari-H (siangnya), hingga beberapa masalah yang terjadi dengan mobil2 yang kami pakai seperti : 2 mobil harus mengganti ban di tengah jalan dan mobil yang lain kehilangan penutup tengki bahan bakar (lepas dan terjatuh).

Bagaimanapun, hal2 tsb merupakan suatu hal yg lumrah terjadi. Tidak mungkin jika kami lantas mengurungkan niat nge-trip hanya dengan berasumsikan ‘pertanda’ tsb, karena sepertinya tak terdapat diantara kami  seorang dengan kemampuan “weruh sak durunge winarah” (tahu hal2 yg akan terjadi dimasa yg akan datang). Kemampuan yang hanya mungkin dimiliki oleh segelintir orang dari dua golongan dengan latar belakang yg sangat bertolak belakang yaitu mereka yang sangat dekat dariNya dan yang sangat jauh dariNya.

Lho, koq jadi ngomongin soal supranatural ?

Okehh, kembali ke laptopppppp…!!

Singkat cerita, tengah malam kami tiba di lokasi penginapan langganan kami di Pagimana dan segera beristirahat guna mengumpulkan energi di perjalanan keesokan harinya.

Minggu (12/01/14) saat azan subuh berkumandang, beberapa diantara kami bergegas beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah.
Hal menarik yang kami jumpai di masjid tsb : Cuma ada satu orang penduduk setempat yang sholat. BeliauIah yang melantunkan azan dan iqomat, sekaligus menjadi imam sholat berjamaah kami. Sekiranya rombongan kami tidak ada, maka titel ybs akan tambah satu lagi, yaitu “MAKMUM” 

Dari obrolan pagi, seorang kawan menginformasikan bahwa ayah seorang teman kami (Meilty) yang tinggal di sekitar Pagimana mengatakan bahwa cuaca sedang tidak bersahabat belakangan ini. Peringatan ini sebenarnya sudah bukan berupa ‘ramalan’ lagi. Namun berdasarkan fakta empiris dari para nelayan setempat yg jerih untuk melaut bbrp hari belakangan ini. Juga fakta bahwa beberapa minggu sebelumnya bupati beserta rombongan gagal bersandar ke Pulau Poat dengan speed boat kecil dikarenakan besarnya terjangan ombak. Fakta yang -dengan cerobohnya- kami abaikan.

Akhirnya, sebelum menginjakkan kaki di dermaga kami sepakat untuk mengkonfirmasinya ke perantara sewa kapal kami, apakah perjalanan menyeberang masih dimungkinkan atau tidak. Saat itu beliau menjawab dengan yakin, “Bisa…saya yg akan tanggungjawab mengenai keamanan dan keselamatan seluruh penumpang”. 

Dan sebelum berangkat, kami berdo'a bersama untuk keselamatan selama dalam perjalanan.

Maka, dengan penuh semangat ‘45, ditemani angkatan ‘66 dan tak ketinggalan pula angkatan reformasi ’98, kamipun segera naik keatas kapal.


Pagimana - Dondolang Tinalapu Yang Mendebarkan

Ombak yang terlihat tenang di pagi hari menjelang saat penyebrangan

Awalnya, tak ada yang istimewa dalam perjalanan di atas kapal menuju Dondolang. Kapal kami melaju pasti membelah samudra.


Kapal yg kami tumpangi kali ini kecepatannya relatif lebih cepat dari yg kami sewa sebelumnya. Banyak diantara kami yang membawa ear-plug untuk mengurangi kebisingan yg ditimbulkan dari mesin kapal.
Kamipun sarapan pagi bersama dengan nasi goreng yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Sebelum terjadinya horor di atas kapal

Beberapa kali perahu kecil (digunakan untuk merapat) yg ditarik di belakang kapal yg kami tumpangi terlepas tali penariknya. Otomatis mesin kapal dimatikan sambil menunggu perahu kecil yg didayung secara manual. Akibat mesin kapal dihentikan maka kapal segera terayun ayun oleh ombak dan membuat perut jadi mual. Setelah diikat kembali maka mesin kapalpun dinyalakan kembali.

Beberapa saat kemudian, saat melaju kencang kapal terasa terombang ambing lagi oleh ombak. Ombak di depan mata yang terlihat bergolak membuat kami mulai saling berpandangan dan menggelengkan kepala. Saya sendiri merasakan mual yg hebat. Seorang teman mulai membagikan obat anti mabok dan anti masuk angin. Saat gejala mual makin meningkat, saya segera menyusul teman yang tidur berbaring melantai di dek kapal yang sempit. Barangkali saat itulah - dengan tanpa permisi-  HP saya meluncur dari kantong dan jatuh ke ruang hampa di bawah dek kapal yang terisi sedikit air. 

Ombak semakin besar dan kapal kami beberapa kali oleng. Kami perkirakan tingginya ombak sekitar dua meteran. Hati saya tambah menciut. Terus terang, kejadian ini adalah yang pertama kalinya dalam petualangan antar pulau yang kami lakukan selama ini. Kapal sederhana kami dimuati 40 orang termasuk awak kapal. Sepuluh orang diantara rombongan kami adalah cewek2. Saat kapal berayun hebat saya mulai membayangkan hal terburuk jika kapal kami tidak kuat menerima hempasan ombak dan terbalik. Hwidiiiyyy….

Rasa mual yang menghebat membuat saya melompat ke pinggiran kapal dan bersiap untuk muntah dan menghibahkan semua sarapan pagi yang sudah masuk ke perut ke Dewa Poseidon atau Nyi Roro Lor (utara)-nya Sulawesi. Ajaibnya begitu saya duduk di pinggiran kapal menghadap ke laut dan bersiap untuk muntah, tiba2  air laut datang menghempas dan menyiram kepala dan separuh tubuh saya.  Akibatnya mual yg saya rasakan berkurang secara drastis dan menyelamatkan saya dari kehilangan muka karena jackpot…hehe..

Diombang ambingkan ombak besar berkelanjutan, sontak membuat saya merasa diri saya ini kecil. Sebuah noktah kecil yg tak ada artinya sama sekali di tengah hamparan samudra luas. Sebutir debu di tengah semesta yang jiwanya ada dalam genggamanNYA

Apalah artinya kemampuan berenang di tengah samudra dengan ombak yang mengganas seperti ini. Dalam benak, saya putar kilas balik beberapa perjalanan antar pulau yang kami lalui dan berlangsung dengan hampir tanpa hambatan yg berarti. Kami terlalu memandang remeh kekuatan alam dan mengabaikan peringatan dari orang tua kali ini.

"Sepandai pandai tupai melompat pasti 'kan jatuh juga"

Entah cocok atau tidak dengan ungkapan peribahasa diatas (kalo ngga cocok ya dicocok-cocokin aja lah..), rupanya inilah antiklimaks dari semangat yang menggebu-gebu dan rasa jumawa kami sebagai petualang penjelajah dan penakhluk pulau2 di sekitar lokasi tempat kami bertugas. 

Ya, kami langsung ‘down’ saat itu juga.

Dengan nyali yg tersisa kami memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Pulau Dondolang dan beralih ke Pulau Tinalapu yang relatif lebih dekat. Kami tak mau menjadi bintang surat kabar di keesokan harinya jika kapal kami terbalik. Terlebih lagi kami membawa tiga orang ekspat dalam rombongan kami. Bakal jadi santapan nyamuk pers, pastinya.

Sayangnya kuatnya gelombang ombak tak kunjung mereda.

Dan perjalanan menuju Pulau Tinalapu ini pun menjadi perjalanan terpanjang dan terlama yang pernah kami rasakan.


Bersambung ke Bagian Kedua










No comments:

Post a Comment