Wednesday, November 9, 2011

Bocah Pemanggil Hujan (Cerpen Pertama)

Ini adalah kali yang ketiga aku melihatnya. Lebih tepatnya memperhatikan bocah itu di simpang lampu merah yang sama sore ini. Usianya mungkin sekitar lima tahunan, seusia anakku yang nomor dua. Wajahnya bulat dan cukup bersih, Raut wajahnya terlihat lebih dewasa dari anak-anak seusianya. Tidak cocok rasanya anak seperti itu hidup di jalanan. Dia tidak mengenakan alas kaki, memakai kaos kedodoran bergambar lambang salah satu partai politik dan menenteng sebuah payung lebar bertuliskan merk kopi terkenal. Situasi, waktu dan kondisinya selalu sama saat aku melihat bocah itu. Hujan saat sore hari dalam perjalanan aku pulang dari kantor. Maka dalam hati aku menjulukinya dengan "Bocah Pemanggil Hujan".

Pertama kali aku memperhatikannya yaitu minggu lalu, saat ia sedang hujan-hujanan berjalan tergesa mengikuti pelanggan yang menggunakan jasanya. Sang pengguna jasanya adalah seorang ibu yang setengah berlari mengejar angkot dengan menggunakan payung lebar milik bocah tersebut. Dengan gampang setiap orang bisa mengenali profesi bocah tersebut. Ya…ia seorang pengojek payung. Salah satu profesi musiman kaum proletar yang barangkali cuma ada di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi ini.

Tak seperti biasanya, sore ini bocah pemanggil hujan kelihatan murung. Dari balik kaca gelap mobilku aku melihatnya seperti sedang gelisah. Aku cuma menebak nebak bahwa di kesempatan hujan sore ini barangkali ia belum memperoleh pelanggan sama sekali. Wajah bersihnya yang dihiasi bulir bulir air hujan segera mengingatkanku pada anakku. Bedanya adalah anakku tidak pernah bersentuhan dengan air hujan. Aku ataupun mamanya segera akan 'memaksanya' masuk ke dalam rumah jika turun hujan dengan ancaman nanti bisa sakit - mesti berobat ke dokter - pasti disuntik dan seterusnya. Segera kukorek-korek laci di dashboard mobilku. Mencari beberapa lembar ribuan untuk kuberikan padanya. Huhhh….Sialll….lampu lalu lintas menyala hijau dan laksana komando segera terdengar raungan klakson mobil dan motor motor di belakangku.

***
Sore ini hujan lagi di jam pulang kantor. Setengah tergesa kupacu mobilku di jalanan yang mulai padat. Yang terpikir cuma satu. Aku mesti ketemu dengan bocah pemanggil hujan sore ini. Sudah kuselipkan selembar lima puluh ribuan di saku kemejaku untuk kuberikan padanya. Apalah arti selembar uang ini dari bonus yang baru kudapat dari kantor hari ini. Makanya aku segera teringat padanya dan berniat membagi sedikit rezeki ini dengannya. Dalam hitungan di kalkulator kepelitanku selembar uang ini sudah sama nilainya dengan upah dari sedikitnya dua puluh lima orang yang menggunakan jasa ojek payungnya. Pastinya ia akan bahagia menerima uang pemberianku ini.

Ahhh…kenapa hari ini jalanan padat sekali? Masih satu lampu merah lagi dan kelihatannya hujan deras disertai petir ini sudah akan berhenti. Setelah sedikit zig-zag dan beberapa kali mendapat sambutan klakson dari pengendara lain karena sikap mengemudiku yang ugal ugalan, akhirnya sampai juga di lampu merah itu.

Tapi mengapa aku tak segera menemukannya ya? Lampu detik penghitung mundur sudah menunjukkan angka 20. Artinya dua puluh detik lagi lampu merah akan berganti menjadi hijau. Aneh rasanya. Di simpang lampu merah yang lain aku biasanya akan menggerutu jika lampu tidak segera berganti hijau. Namun kali ini aku justru ingin lampu merah tetap menyala, setidaknya sampai aku melihat dan bertemu dengan Bocah Pemanggil Hujan

3-2-1…..Lagi-lagi siall…aku harus segera menghela mobilku kalau tidak ingin mendapat hadiah klakson plus umpatan dari pengemudi kendaraan kendaraan lain di belakang. Heran juga, kekesalanku karena tidak bisa menemukan bocah itu sangat mempengaruhi emosiku. Sesampainya di rumah kubanting pintu mobilku dan dengan bersungut-sungut memberikan tas kerjaku pada istriku yang selalu siap menyambutku pulang dari kantor. "Papa kenapa sih, koq pulang-pulang wajahnya ditekuk kayak gitu?", tanyanya.
"Nggak ada apa-apa koq, aku cuma capek banget hari ini, Ma", kataku karena saat ini sedang tidak mood bercerita tentang bocah itu pada istriku.

***
Esoknya……langit cerah……tak ada hujan dan pastinya tak kutemui Bocah Pemanggil Hujan.

***
Hari berikutnya lagi, sebagaimana rutinitas biasanya sebelum ke kantor aku membaca koran pagi sembari menikmati roti tawar selai sirkaya dan secangkir teh buatan istriku. Ia sendiri sedang sibuk meyiapkan keperluan anak-anak berangkat ke sekolah.
Kejenuhanku membaca berita tentang situasi politik dalam negeri akhir akhir ini membuat pagi itu aku hanya ingin membaca berita yang ringan-ringan saja.

Sampailah mataku tertuju di sebuah kolom berita yang disertai gambar foto kejadian. Gambar seorang bocah tertelungkup dengan tangan memegang sebuah payung. Meski tulisannya samar aku mengenali payung itu karena berkali kali aku melihatnya






=================================
Bocah Pengojek Payung Tewas Tersambar Petir

Jakarta (4/11/11) Fatir, seorang bocah pengojek payung ditemukan tak bernyawa di jalan kenanga, Kampung Rambutan, Rabu (2/11/2011). Seorang saksi mata yang juga tetangga korban mengatakan bahwa saat hujan reda bocah itu ditemukan tak bernyawa di jalan menuju rumahnya. Dari sekujur tubuhnya yang gosong diduga kuat bahwa ia tersambar petir.

Nek Odah, nenek yang tinggal bersama dengan bocah itu kelihatan sangat terpukul karena kini ia hanya tinggal sebatang kara. Menurut Nek Odah, Fatir adalah bocah yang sangat rajin bekerja membantunya untuk memenuhi segala keperluan hidup mereka. Ia ditinggal mati Bapaknya – anak dari Nek Odah- yang tertabrak bus dua tahun yang lalu. Ibunya kabur dari rumah hanya beberapa minggu sesudah kematian bapaknya.

Setiap pagi hari sebelum berangkat ke sekolah Fatir selalu membantu neneknya mengantarkan gorengan yang dijual ke warung-warung di sekitar gubuk yang mereka tinggali. Dan di musim hujan ini, Fatir tidak menyia-nyiakan peluang untuk mencari tambahan penghasilan dengan menjadi pengojek payung.

Sore itu Nek Odah yang sedang sakit batuk-batuk menyuruhnya membeli obat di warung. Namun dikarenakan hujan, Fatir tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk mendapatkan tambahan uang dengan mengojekkan payung. "Fatir ngojek dulu sebentaaarrr……. aja, ya Nek? Nggak sampai hujan reda koq. Setelah itu Fatir akan ke apotik membeli obat buat Nenek. Lumayan kan, uang buat membeli obat bisa sedikit terganti dengan uang ngojek," ujarnya penuh semangat.

Sepulang dari apotik itulah ia tersambar petir, karena di sakunya ditemukan obat batuk yang dipesan sang nenek.
=============================






Tanpa kusadari butir butir air mengalir dari pelupuk mataku dan segera saja membuat lembaran koran di hadapanku menjadi basah. Ya…pastilah bocah yang tewas itu adalah ia, si "Bocah Pemanggil Hujan". Pantas saja tak kutemui dirinya kemarin lusa di tempat biasanya karena ia buru-buru mampir ke apotik untuk membeli obat dan pulang ke rumah.

Istriku yang kaget menemuiku menangis di pagi hari hanya terhenyak diam dan berusaha menghiburku setelah kuceritakan bahwa bocah itulah yang membuat mukaku 'ditekuk' sore dua hari yang lalu. Barangkali ia tidak seemosional diriku karena tidak pernah bertemu langsung dengan Fatir.

***
Sorenya, di simpang lampu merah itu aku melihat sekelebat bayangan Fatir. Ia tersenyum padaku di bawah payung lebarnya. Namun setelah kupicingkan mataku untuk menegaskan tiba-tiba ia menghilang. Ahhh….tidakkk! Itu pasti cuma halusinasiku saja. Saat itu mendung. Tapi tidak jadi turun hujan.

***
Keesokan hari, lusa dan hari-hari berikutnya adalah kemarau. Tak ada lagi hujan.

Musim hujan tahun ini berlalu begitu cepat seiring cepatnya kepergian Bocah Pemanggil Hujan.


Jakarta Coret, 5 Nov 2011

Tuesday, November 8, 2011

Lelaki, Dua Wanita dan Janji di Sebuah Danau (Cerpen kedua)

Lelaki itu masih larut dalam diamnya. Kecipak sayap sayap sepasang angsa yang sedang bercengkrama di danau itu tak sedikitpun membuyarkan lamunannya. Wajahnya tak banyak berubah, masih seperti pertama aku melihatnya persis enam belas tahun silam. Hanya, gurat-gurat tanda mulai menua mulai terlukis di wajahnya. Juga mungkin rambutnya yang mulai berwarna keperakanlah yang membedakan ia sekarang dengan pemuda yang kulihat enam belas tahun silam.

Wanita itu juga masih sama. Hanya tanda mulai menua karena mendekati usia paruh bayalah yang membedakan ia dengan saat enam belas tahun yang lalu. Wanita itu selalu datang mengunjungi warung Emak yang terletak di pinggir danau ini setiap tahunnya. Sambil memesan makanan apa adanya, duduk diam memperhatikan dari kejauhan si lelaki yang juga selalu datang di tanggal yang sama.

Aku selalu mengingat tanggal itu. Dan tanggal itu pula yang menjadi salah satu pertimbanganku mengunjungi adik perempuanku sore ini. Sudah tiga tahun ia mengelola warung ini semenjak Emak wafat. Dan meskipun ada beberapa warung di sekitar danau ini, wanita itu selalu duduk di sini. Karena dari warung inilah ia bisa dengan leluasa memperhatikan lelaki itu.

Enam belas tahun yang lalu aku masih tinggal bersama Emak dan adikku disini. Pada hari ketika wanita itu datang, aku mencoba berbasa-basi dengannya, menanyakan dari mana asalnya, dimana ia tinggal dan sebagainya. Saat itu usiaku sekitar 17 tahun dan ia sekitar 24 tahun, karena ia bilang masih kuliah di semester akhir. Ketika kami mulai akrab, akhirnya ia mulai menceritakan kisahnya padaku. “Kamu tahu alasanku datang ke tempat ini, Dik?” tanyanya Saat itu aku cuma menggelang. Dan kemudian mengalirlah cerita dari mulutnya yang mungil.

“Perhatikan lelaki yang sedang duduk di tepi danau itu”, katanya sambil mengarahkan telunjukknya ke lelaki yang dimaksud. “Kau pernah melihatnya sebelumnya?” Kembali kugelengkan kepalaku. Begitu banyak orang yang telah mengunjungi danau ini. Mana mungkin mengingat wajahnya satu persatu.

“Namanya Tedjo, “ katanya membuka cerita. Sebuah cerita yang hingga kini masih kuingat detilnya.
Tedjo seorang pemuda yang tampan dan berkepribadian kuat. Tedjo mencintai seorang gadis bernama Warni, yang membuat banyak gadis gadis lain patah hati. Warni pun jatuh cinta pada Tedjo, pemuda yang menurutnya punya karakter, tidak seperti kebanyakan pemuda di desanya. Hari itu adalah hari ulang tahun Warni saat mereka berjanji untuk bertemu di danau ini. Namun Warni tak datang. Ia cuma menitipkan sepucuk surat kepada perempuan ini, yang ternyata adalah sahabat Warni. Sepucuk surat yang tak pernah sampai ke tangan orang yang ditujunya. Bukan karena wanita ini tak punya waktu untuk menyampaikannya. Namun karena wanita ini tidak tega menyampaikan berita yang ada di dalamnya untuk Tedjo, lelaki yang diam-diam juga dicintai dan hidup dalam hatinya. Sambil bercerita ia tunjukkan padaku amplop lusuh berisi surat yang dimaksud. Hari itu Warni dibawa bapaknya ke Jakarta untuk dinikahkan dengan anak seorang temannya yang sukses di kota metropolitan. Warni tak kuasa menolak dengan segala ancaman orangtuanya jika ia tak menerima keputusan tsb. Hari itu Warni mendatangi Lina sahabatnya. “Lin, datanglah ke danau sore ini, Tedjo menungguku disana. Tolong sampaikan suratku ini padanya,” katanya dengan linangan air mata. Lina menerima surat tersebut sambil memeluknya erat. Mereka berdua larut dalam tangis sambil berpelukan. “Lin, sebagai sahabatmu aku tahu kau juga mencintainya. Kau tidak perlu menyangkalnya. Aku akan sangat ikhlas jika kau bisa menggantikan posisiku di hati Tedjo,” katanya sembari mengucap salam perpisahan.

Warni pergi dan sejak itu tak pernah datang kembali lagi ke desanya. Lina membawa surat itu ke danau pada hari itu, namun urung disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Ia tidak ingin Tedjo menganggap Warni telah mengkhianti cinta mereka. Biarlah cinta Tedjo kepada Warni seperti adanya sekarang. Dari kabar burung Lina mendengar bahwa Warni dicerai oleh suaminya dan kini tak tahu dimana rimbanya.

Sejak saat itu Tedjo datang ke danau ini setiap tahunnya, setiap tanggal dan waktu yang sama. Mulai sore ba’da Ashar hingga matahari terbenam. Saat itu adalah tahun yang ketiga ketika wanita itu menceritakan kisahnya padaku. Dan berarti kini sudah yang ke sembilan belas tahun danau ini mendapatkan kunjungan dari pengunjung tetap tahunan mereka, Tedjo dan Lina. Lina datang untuk mengamati Tedjo, cintanya yang tak terucap. Tedjo datang untuk menunggu Warni di hari ulang tahun gadis itu. Gadis yang telah mencuri separuh jiwanya dan menutup pintu hatinya untuk cinta yang lain. Hari ini adalah tahun yang ke-dua puluh. Tahun lalu, sewaktu berpamitan Lina memaksaku untuk berjanji datang kesini lagi tahun berikutnya. Oleh karena itu hari ini aku menyempatkan diri datang kemari lagi. Untuk menemui Lina sekaligus menjadi saksi cinta sejatinya. Namun wanita itu tak datang. Seorang gadis manis yang mengaku keponakannya datang menemuiku dengan membawa surat terakhir untuk Tedjo dari Warni. Ia memberitahuku bahwa sebulan yang lalu Lina sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum wafat ia sempat menitipkan surat itu untuk diberikan padaku pada hari ini, karena ia yakin sekali bahwa aku akan datang untuk menemaninya menunggui Tedjo di tempat ini. Lina pergi lebih dulu meninggalkan Tedjo, kekasih sahabatnya sekaligus cinta tak berbalasnya.

Tedjo datang untuk menunaikan janjinya. Meski kedatangannya kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Saat kulihat, ia sedang duduk di tepian danau, bersandar di sebuah pohon seperti biasanya. Kami -aku dan gadis keponakan Lina- telah sepakat untuk menyerahkan surat ini pada Tedjo karena takut kalau kami berdua tidak bisa menyimpannya.

Kami berdua segera berjalan menghampirinya. Kulihat matanya sedang terpejam. Namun tubuhnya tak bergerak sama sekali. Dari sudut bibirnya ada tetesan darah segar. Saat kuraba nadinya kusadari bahwa ia telah tiada. Waktu kuperiksa tangan kirinya sedang menggenggam saputangan yang penuh bercak darah. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam foto seorang wanita cantik yang kuduga adalah foto Warni. Sesungging senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. Wajah teguh yang setia penuh pada janjinya.


*** Setahun kemudian...... 
Aku datang kembali ke danau ini untuk memperingati kisah cinta Tedjo dan Lina. Danau itu telah berubah menjadi tempat wisata yang dikelola pemerintah daerah. Warung Emak yang dikelola adikku digusur, dan sebagai gantinya dibuatkan kios-kios kecil berjejer berdempetan dengan warung warung lainnya.

Aku sedang menikmati pemandangan sepasang angsa yang berenang berkejaran di tengah danau ketika ia datang. Seorang wanita yang masih kelihatan cantik di usianya yang sekitar empat puluh lima tahunan. Tiba tiba aku merasa sangat mengenali wajah tersebut. Namun sama sekali tidak ingat kapan pernah bertemu dengannya. Ia terlihat sibuk sekali menyeka air mata yang terus menerus mengucur dari balik kacamata hitamnya.

“Maaf Bu, sepertinya kita pernah ketemu…dimana ya? Kalau boleh tahu kenapa Ibu menangis”, tanya saya membuka pembicaraan karena penasaran dengan wanita tersebut. “Maaf Dik, saya nggak kenal Adik. Maaf saya tidak menceritakan mengapa saya menangis. Ini tentang sebuah janji yang tak kutepati dua puluh satu tahun silam” , ujarnya sambil membuka kacamatanya.

Jantungku berdegup kencang usai ia menyebut angka dua puluh satu tahun. Terlebih ketika melihat langsung kedua mata indahnya usai ia membuka kacamatanya. Perlahan kuambil amplop surat terakhir dari Warni untuk Tedjo yang sudah lusuh itu dari saku kemejaku dan mengeluarkan selembar foto yang kuselipkan didalamnya. Foto yang kuambil dari genggaman tangan Tedjo saat ia wafat setahun yang lalu..

Aku seperti tak mempercayai penglihatanku. 
Tak salah lagi. Dialah wanita dalam foto itu.

Setelah mengucapkan kata permisi aku segera menjauh darinya. Perlahan kuremas surat itu berikut foto yang ada didalamnya dan kulemparkan jauh jauh ke tengah danau. Seorang petugas kebersihan memarahiku namun aku tak menghiraukannya. Kutinggalkan gumpalan kertas yang masih mengapung di tengah danau tersebut. Mungkin danau ini yang lebih berhak menyimpannya.

Cukup sudah episode kisah Tedjo dan Lina kusimpan dalam hati. Aku tidak ingin mendengar cerita dari Warni kemana saja ia menghilang selama ini. Pun tidak ingin kubeberkan padanya seluruh peristiwa yang terjadi pada Tedjo dan Lina.

Biarlah cuma aku dan danau ini yang menyimpan seluruh jalinan ceritanya.

Project 10 Cerpen (Sebuah Pengantar)

Gara-garanya habis liat-liat blog orang. Dia punya project yaitu bermonolog selama 30 hari. Tulisannya bagus. Ada juga cerpennya yang sangat bagus gaya penulisannya.

Maka saya juga jadi pengen banget punya project.
10 Cerpen dengan berbagai macam genre mustahil ngga ya??

Biar aja dibilang alur ceritanya nggak beraturan dan metode penulisannya kacau.
Setidak-tidaknya cerpen-cerpenku pasti dimuat dan terbit, meski bukan di koran atau majalah.
Melainkan di blog-ku sendiri.

Pada tahap awal udah ada 2 cerpen nih. Langsung upload dulu ahh..

Masih tersisa 8 cerpen lagi untuk ditulis (fuiihhh....koq banyak amat yaakkkk????)

Sebodo amat lahhh...accomplished jadi ato engga projectnya masih blom pasti (tergantung mood dan kesibukan)..huehehe...

Kalo selesai semuanya ya syukur...
Kalo engga yaaa.....itung-itung udah pernah nyoba.......

Selamat membaca....