Sunday, April 4, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya

        Seorang sahabat saya -namanya Risyad Iskandar- diuji oleh Allah dengan cobaan yang sangat berat. Saat ini anaknya terbaring di PICU (Ruang ICU khusus anak) Rumah Sakit Mitra Keluarga Kelapa Gading.

Adalah Fatimah Az-Zahra, anak semata wayangnya, mengalami Alagille Non-Syndromic, suatu penyakit langka yang berhubungan dengan kegagalan fungsi hati (hepar). Meski saya tidak cukup mempunyai referensi mengenai penyakit ini, menurut orangtuanya ini mengakibatkan cairan empedu tidak mengalir dengan lancer.

Sebetulnya kasusnya mirip dengan Bilqis dan Fikri, penderita Atresia Bilier yang kasusnya mencuat beberapa saat yang lalu dan menimbulkan simpati banyak pihak. Namun yang ini agak berbeda dan sifatnya yang Non-Syndromic menyebabkan gejala perkembangannya agak sulit diamati. Menurut dokternya yang merawat, kemungkinan ini baru kasus pertama yang terjadi di Indonesia.

Pertama didiagnosis menderita kelainan fungsi hati adalah ketika Zahra berumur 2 (dua) bulan. Lahir di Klaten, dokter yang merawat tidak mengamati gejala-gejala awalnya. Namun ketika berumur  dua bulan, orangtuanya membawanya ke Yogya. Saat di Yogya tersebut, seorang dokter yang pernah belajar di luar negeri langsung memberikan vonis, “satu-satunya jalan adalah transplantasi hati, yang mesti dilakukan di luar negeri, “ katanya sambil menyebut beberapa Negara maju. Risyad, ayah Zahra yang saat itu baru tiba dari Jakarta kontan pingsan di tempat, begitu mendengar kabar tersebut.

Hari-hari berikutnya, hingga saat ini Zahra berumur sekitar empat tahun, adalah hari-hari panjang yang berkisah tentang ketabahan, kesabaran dan pengorbanan kedua orangtuanya.

Secara fisik, pertumbuhan Zahra agak lambat. Kulitnya dan kedua matanya berwarna kuning, yang bisa membuat siapapun iba dengan kondisi penyandang nama putri Rasulullah SAW ini. Bermacam upaya medis dan non medis (alternatif namun yang masih sesuai dengan koridor syar’i) terus dilakukan untuk kesembuhan ananda tercinta. Namun belum terlihat perkembangan yang signifikan. Kedua orangtuanya dengan sengaja berusaha menunda kehamilan demi mencurahkan perhatian penuh terhadap Zahra.

Satu-satunya tindakan yang dimungkinkan secara medis yaitu dengan jalan operasi transplantasi (dari orangtuanya), yang harus dilakukan di negara maju (direkomendasikan ke Jepang) dan membutuhkan biaya sekitar 5 (lima) milyar rupiah. Meskipun kedua orangtua Zahra bukanlah kategori orang yang tidak mampu (keduanya bekerja sebagai karyawan di perusahaan-perusahaan yang cukup ternama di negeri ini), namun 5M sama sekali bukan jumlah yang sedikit.

Kegagalan fungsi hati ini memberi dampak terhadap bekerjanya organ-organ tubuh lainnya seperti jantung, ginjal dan paru-paru. Saat ini, dokter spesialis parunya menyatakan bahwa fungsi parunya tinggal 30 (tiga puluh persen), yang artinya satu-satunya tindakan medis yang telah disebutkan di atas harus segera dilakukan.

Orangtuanya siap untuk publikasi kasus ini sepulangnya Zahra dari rumah sakit nanti, agar dapat dilakukan penggalangan dana untuk operasi ananda tercintanya.

Kasus Bilqis berhasil meraih simpati masyarakat. Kabarnya ‘Koin Untuk Bilqis’ berhasil mengumpulkan Rp. 1,8 milyar dan sudah mencukupi untuk sebuah operasi transplantasi yang akan dilakukan di RS. Karyadi Semarang beberapa bulan lagi.

Sedangkan Fikri, yang sempat dipublikasi (bahkan muncul di program “Idola Cilik” di salah satu televisi swasta), meninggal akhir Februari lalu, saat ia berumur sekitar satu setengah tahun karena terlambat mendapatkan penanganan medis disebabkan ketidakmampuan orang tuanya secara finansial.

Saya bertemu dengan ayah Fikri, saat sama sama menjenguk Zahra. Rasa senasib mempertemukan Risyad dengan Abdul Salam, ayah Fikri. “Dapat cobaan seperti ini membuat kita banyak tambah saudara pak”, kata ayah Fikri pada saya.
Saat mempertunjukkan video dan foto-foto Fikri ketika masih hidup melalui laptopnya, pria sederhana ini berujar, “Sengaja saya buat ini Pak (membuat dokumentasi tentang almarhum anaknya), supaya hidup saya nggak ngawur, nantinya”.
  
Duhhh..melihat anak-anak saya bermain dengan gembira dan membandingkannya dengan kondisi Zahra membuat saya merenung, alangkah sedikitnya saya bersyukur atas nikmat kesehatan yang diberikan Allah terhadap anak-2 saya. Betapa mendengar tawa riang anak-anak hanyalah rutinitas yang saya anggap biasa, yang bagi Risyad sahabat yang saya kenal sejak SMA, mungkin adalah sebuah kemewahan dan nikmat yang tidak terkira.

Semoga Allah SWT segera memberikan jalan keluar yang terbaik untuk mereka.

Amiin Yaa Robbal ‘aalamiin..



No comments:

Post a Comment