Tuesday, April 6, 2010

Tentang Zahra, Anak Seorang Sahabat Saya (bagian 2 - selesai)

(Mesti baca dulu cerita sebelumnya)

Baru paginya kisah tentang Zahra saya posting, sorenya menjelang Ashar, Zahra dipanggil menghadap Yang Maha Kuasa. Malam sebelumnya Saka (sahabat saya dan Risyad juga) bermimpi melihat Zahra bisa bicara lancar dan berjalan sebagaimana anak-anak yang sehat. Barangkali teman saya ini mimpi melihat Zahra sedang bermain di sebuah taman di surga.

Sebetulnya saya akan tulis cerita ini di hari itu juga. Namun karena kelelahan (baru pulang ke rumah pukul 22.30 WIB setelah sejak siang menemani ayah Zahra di RS dan ikut prosesi penguburan dll),  maka baru hari ini sempat menulis kisah lanjutannya.

Saya dan Saka menunggu di ruang tunggu ruang PICU ketika Zahra meninggal. Kami langsung berangkat ke rumah sakit begitu mendengar kabar dari Adi, seorang sahabat kami juga bahwa Risyad sudah mengisyaratkan bahwa kemungkinan sembuh bagi anaknya sangat kecil.

Menurut ayahnya Zahra meninggal dunia dengan tenang, tidak sampai muntah darah dsb, seperti yang biasa dialami penderita penyakit berat lainnya. Diagnosa terakhir adalah infeksi paru. Sebagaimana saya sebutkan di tulisan pertama bahwa dokter spesialis parunya mengatakan bahwa fungsi kerja parunya tinggal sekitar 30 %.

Risyad, ayah Zahra Cuma mengatakan, “Selesai sudah” sekeluarnya dari ruang PICU. Saya peluk sebentar teman saya tersebut dan melihat sekilas raut kesedihan di wajahnya, meski ia tetap berusaha tegar dan mengatakan bahwa saat ini dia lebih tegar karena pada hari pertama Zahra masuk PICU dokternya sudah memberikan pilihan yang sulit, yaitu mau dipasangkan alat bantu pernafasan, dengan resiko ketergantungan pada alat tsb menjadi tinggi, atau tidak sama sekali. Dan Risyad memilih opsi yang terakhir karena ingat kasus Pak Harto yang di akhir hidupnya tergantung pada peralatan medis yang dipasang di tubuhnya.

Zahra dibawa pulang dari RS menggunakan ambulans. Gerimis mengiringi kepulangan bocah kecil, putri satu-satunya sahabat saya tersebut.

Setelah sholat maghrib berjamaah di musholla dekat rumahnya, Risyad masuk membopong jenazah putrinya untuk disholatkan. Saat itu juga saya membayangkan seandainya saya ada di posisinya. Membayangkan bahwa bocah kecil dalam bungkusan kain itu adalah anak saya sendiri membuat perasaan saya tidak karuan saking terharunya.

Risyad menjadi imam sholat jenazah bagi putrinya tsb. Setelahnya jenazah dibawa ke pemakaman malam itu juga untuk dimakamkan. Lagi-lagi Risyad sendiri yang masuk ke liang lahat dan menguburkan darah dagingnya tersebut.

Kembali ke rumah duka waktu sudah masuk Isya dan segera kami sholat berjama’ah di musholla. Selesai sholat di rumah duka diadakan taushiyah oleh Ustad Syaikhu, guru mengaji Risyad yang dating bertakziyah malam itu.

Isi taushiyahnya baguuuusss…sekali. Mata saya sampai tidak lepas dari memandang Ustad Syaikhu yang menerangkan tentang banyak hal yang berhubungan dengan kematian.

Cara penyampaiannya sangat baik, dengan kemampuan orasi yang dimiliki oleh seorang ‘alim (yang banyak ilmunya) yang sering berceramah di banyak tempat. Ada banyak isi taushiyah beliau yang membekas di kalbu saya.

Beliau membuka taushiyahnya dengan menerangkan bahwa segala peristiwa yang kita alami harus meninggalkan bekas/hikmah pada diri kita. Bahwasanya dalam situasi dan kondisi apapun, terutama terutama saat kita ditimpa musibah, maka kita harus selalu memuji kebesaran Allah SWT. Allah sangat menyukai hambanya yang dalam keadaan susah namun terus menyanjungkan pujian terhadapNya.

Malam sebelumnya, seorang jama’ah Ustad yang sudah berumur sekitar 58 tahun meninggal setelah mengalami serangan jantung. Sebelumnya dia tidak pernah meninggalkan sholat berjama’ah. Ia mempunyai kebiasaan mandi sebelum sholat Ashar berjamaah di masjid. Begitu ia terkena serangan jantung dan orang-2 sibuk akan membawa beliau ke rumah sakit mana, beliau bersikeras ingin dimandikan dengan air panas dan akan mengerjakan sholat Ashar berjamaah.

Supir yang akan membawa beliau ke rumah sakit sampai menangis di balik kemudi mobil yang dibawanya memikirkan betapa orang yang sudah terkena serangan jantung masih memikirkan untuk sholat, ketimbang segera dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan. Sedangkan kita yang sehat saja seringkali tidak ingat akan waktu sholat.

Seorang jamaah Ustad yang lain mengalami gagal ginjal dan harus menjalani cuci darah rutin. Dokternya sudah memvonis bahwa ajalnya akan tiba dalam waktu yang tidak lama lagi. Saat menatap langit-langit atap rumah sakit, tiba-tiba dia mengingat semua nikmat yang diberikan Allah SWT, akan anggota-anggota tubuhnya. Disebutnya satu persatu anggota tubuhnya ,”Ya Allah, terima kasih atas nikmat mata. Terima  kasih atas nikmat kedua telinga, terima kasih atas nikmat jantung, ginjal..dst”. Tiba-tiba ia sembuh total sebagaimana sediakala. Dokternya sampai geleng2 kepala dibuatnya. Sebuah kasus yang belum tentu kemungkinannya terjadi satu juta berbanding satu.


Ustad juga bercerita mengenai bagaimana Rasulullah kehilangan putra kesayangannya, Ibrahim. Betapa Rasulullah juga menitikkan air mata kasih sayang seorang ayah yang harus berpisah dengan putra yang dicintainya. Beliau juga menceritakan bagaimana Urwah bin Zubair (putera Zubair bin Awwam, salah seoarang sahabat yang dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah) harus kehilangan satu kakinya di hari yang  sama beliau kehilangan putra yang dicintainya. Urwah bin Zubair menolak dua pilihan metode anastesi di zaman itu, yaitu minum khamr (arak) atau dibius. Beliau memilih dipotong kedua kakinya pada saat berdzikir, memuji kebesaran Allah SWT.

Betapa memandangi anak di ruang ICU tidak berarti apa-apa dibandingkan Nabi Ibrahim yang diperintah oleh Allah SWT untuk menyembelih anaknya sendiri. Bukannya mengentengkan kematian anak, sebab ternyata Ustad sendiri sudah dua kali mengalami kehilangan putranya sendiri. Beliau melakukan sendiri hak-hak jenazah seperti memandikan, mengkafani, menyolatkan dan menguburkan puteranya. Untuk membantunya lebih tegar sebagai manusia biasa, beliau menyingkirkan semua benda-benda yang berhubungan dengan anaknya yang meninggal dunia.

Sebuah hadits shahih menyebutkan bahwa ketika malaikat menghalau anak-anak (yang meninggal dunia ketika masih kecil) untuk masuk ke surga, mereka tampak enggan. Ketika malaikat bertanya mengapa mereka seperti ogah-ogahan masuk ke surga mereka menjawab, “aku tidak mau masuk ke surga sebelum kedua orangtuaku masuk terlebih dahulu”.

Taushiyah ditutup dengan do’a khusyuk, yang membuat Saka yang duduk di sebelah saya menangis sesenggukan.

Saya tutup kisah tentang Ananda Zahra sampai disini. Semoga saya dapat mengambil banyak hikmah dari peristiwa ini. Bahwasanya kematian itu dekat…sangat dekat dengan kita. Semoga pula orangtua Zahra segera mendapatkan momongan lagi sebagai pelipur lara.

Selamat jalan Zahra, Insya Allah engkau akan segera dipertemukan kembali dengan kedua orangtuamu saat engkau menantikan mereka di pintu surga…

Amiin..


Jatiwaringin, paruh ketiga malam,
saat tangan-tangan lembutNYA membelai-belai penuh kasih
hati hati yang gerimis…











 

No comments:

Post a Comment