Tuesday, November 8, 2011

Lelaki, Dua Wanita dan Janji di Sebuah Danau (Cerpen kedua)

Lelaki itu masih larut dalam diamnya. Kecipak sayap sayap sepasang angsa yang sedang bercengkrama di danau itu tak sedikitpun membuyarkan lamunannya. Wajahnya tak banyak berubah, masih seperti pertama aku melihatnya persis enam belas tahun silam. Hanya, gurat-gurat tanda mulai menua mulai terlukis di wajahnya. Juga mungkin rambutnya yang mulai berwarna keperakanlah yang membedakan ia sekarang dengan pemuda yang kulihat enam belas tahun silam.

Wanita itu juga masih sama. Hanya tanda mulai menua karena mendekati usia paruh bayalah yang membedakan ia dengan saat enam belas tahun yang lalu. Wanita itu selalu datang mengunjungi warung Emak yang terletak di pinggir danau ini setiap tahunnya. Sambil memesan makanan apa adanya, duduk diam memperhatikan dari kejauhan si lelaki yang juga selalu datang di tanggal yang sama.

Aku selalu mengingat tanggal itu. Dan tanggal itu pula yang menjadi salah satu pertimbanganku mengunjungi adik perempuanku sore ini. Sudah tiga tahun ia mengelola warung ini semenjak Emak wafat. Dan meskipun ada beberapa warung di sekitar danau ini, wanita itu selalu duduk di sini. Karena dari warung inilah ia bisa dengan leluasa memperhatikan lelaki itu.

Enam belas tahun yang lalu aku masih tinggal bersama Emak dan adikku disini. Pada hari ketika wanita itu datang, aku mencoba berbasa-basi dengannya, menanyakan dari mana asalnya, dimana ia tinggal dan sebagainya. Saat itu usiaku sekitar 17 tahun dan ia sekitar 24 tahun, karena ia bilang masih kuliah di semester akhir. Ketika kami mulai akrab, akhirnya ia mulai menceritakan kisahnya padaku. “Kamu tahu alasanku datang ke tempat ini, Dik?” tanyanya Saat itu aku cuma menggelang. Dan kemudian mengalirlah cerita dari mulutnya yang mungil.

“Perhatikan lelaki yang sedang duduk di tepi danau itu”, katanya sambil mengarahkan telunjukknya ke lelaki yang dimaksud. “Kau pernah melihatnya sebelumnya?” Kembali kugelengkan kepalaku. Begitu banyak orang yang telah mengunjungi danau ini. Mana mungkin mengingat wajahnya satu persatu.

“Namanya Tedjo, “ katanya membuka cerita. Sebuah cerita yang hingga kini masih kuingat detilnya.
Tedjo seorang pemuda yang tampan dan berkepribadian kuat. Tedjo mencintai seorang gadis bernama Warni, yang membuat banyak gadis gadis lain patah hati. Warni pun jatuh cinta pada Tedjo, pemuda yang menurutnya punya karakter, tidak seperti kebanyakan pemuda di desanya. Hari itu adalah hari ulang tahun Warni saat mereka berjanji untuk bertemu di danau ini. Namun Warni tak datang. Ia cuma menitipkan sepucuk surat kepada perempuan ini, yang ternyata adalah sahabat Warni. Sepucuk surat yang tak pernah sampai ke tangan orang yang ditujunya. Bukan karena wanita ini tak punya waktu untuk menyampaikannya. Namun karena wanita ini tidak tega menyampaikan berita yang ada di dalamnya untuk Tedjo, lelaki yang diam-diam juga dicintai dan hidup dalam hatinya. Sambil bercerita ia tunjukkan padaku amplop lusuh berisi surat yang dimaksud. Hari itu Warni dibawa bapaknya ke Jakarta untuk dinikahkan dengan anak seorang temannya yang sukses di kota metropolitan. Warni tak kuasa menolak dengan segala ancaman orangtuanya jika ia tak menerima keputusan tsb. Hari itu Warni mendatangi Lina sahabatnya. “Lin, datanglah ke danau sore ini, Tedjo menungguku disana. Tolong sampaikan suratku ini padanya,” katanya dengan linangan air mata. Lina menerima surat tersebut sambil memeluknya erat. Mereka berdua larut dalam tangis sambil berpelukan. “Lin, sebagai sahabatmu aku tahu kau juga mencintainya. Kau tidak perlu menyangkalnya. Aku akan sangat ikhlas jika kau bisa menggantikan posisiku di hati Tedjo,” katanya sembari mengucap salam perpisahan.

Warni pergi dan sejak itu tak pernah datang kembali lagi ke desanya. Lina membawa surat itu ke danau pada hari itu, namun urung disampaikan kepada orang yang berhak menerimanya. Ia tidak ingin Tedjo menganggap Warni telah mengkhianti cinta mereka. Biarlah cinta Tedjo kepada Warni seperti adanya sekarang. Dari kabar burung Lina mendengar bahwa Warni dicerai oleh suaminya dan kini tak tahu dimana rimbanya.

Sejak saat itu Tedjo datang ke danau ini setiap tahunnya, setiap tanggal dan waktu yang sama. Mulai sore ba’da Ashar hingga matahari terbenam. Saat itu adalah tahun yang ketiga ketika wanita itu menceritakan kisahnya padaku. Dan berarti kini sudah yang ke sembilan belas tahun danau ini mendapatkan kunjungan dari pengunjung tetap tahunan mereka, Tedjo dan Lina. Lina datang untuk mengamati Tedjo, cintanya yang tak terucap. Tedjo datang untuk menunggu Warni di hari ulang tahun gadis itu. Gadis yang telah mencuri separuh jiwanya dan menutup pintu hatinya untuk cinta yang lain. Hari ini adalah tahun yang ke-dua puluh. Tahun lalu, sewaktu berpamitan Lina memaksaku untuk berjanji datang kesini lagi tahun berikutnya. Oleh karena itu hari ini aku menyempatkan diri datang kemari lagi. Untuk menemui Lina sekaligus menjadi saksi cinta sejatinya. Namun wanita itu tak datang. Seorang gadis manis yang mengaku keponakannya datang menemuiku dengan membawa surat terakhir untuk Tedjo dari Warni. Ia memberitahuku bahwa sebulan yang lalu Lina sakit keras dan akhirnya meninggal dunia. Sebelum wafat ia sempat menitipkan surat itu untuk diberikan padaku pada hari ini, karena ia yakin sekali bahwa aku akan datang untuk menemaninya menunggui Tedjo di tempat ini. Lina pergi lebih dulu meninggalkan Tedjo, kekasih sahabatnya sekaligus cinta tak berbalasnya.

Tedjo datang untuk menunaikan janjinya. Meski kedatangannya kali ini adalah untuk yang terakhir kalinya. Saat kulihat, ia sedang duduk di tepian danau, bersandar di sebuah pohon seperti biasanya. Kami -aku dan gadis keponakan Lina- telah sepakat untuk menyerahkan surat ini pada Tedjo karena takut kalau kami berdua tidak bisa menyimpannya.

Kami berdua segera berjalan menghampirinya. Kulihat matanya sedang terpejam. Namun tubuhnya tak bergerak sama sekali. Dari sudut bibirnya ada tetesan darah segar. Saat kuraba nadinya kusadari bahwa ia telah tiada. Waktu kuperiksa tangan kirinya sedang menggenggam saputangan yang penuh bercak darah. Sedangkan di tangan kanannya tergenggam foto seorang wanita cantik yang kuduga adalah foto Warni. Sesungging senyum bahagia menghiasi wajah tampannya. Wajah teguh yang setia penuh pada janjinya.


*** Setahun kemudian...... 
Aku datang kembali ke danau ini untuk memperingati kisah cinta Tedjo dan Lina. Danau itu telah berubah menjadi tempat wisata yang dikelola pemerintah daerah. Warung Emak yang dikelola adikku digusur, dan sebagai gantinya dibuatkan kios-kios kecil berjejer berdempetan dengan warung warung lainnya.

Aku sedang menikmati pemandangan sepasang angsa yang berenang berkejaran di tengah danau ketika ia datang. Seorang wanita yang masih kelihatan cantik di usianya yang sekitar empat puluh lima tahunan. Tiba tiba aku merasa sangat mengenali wajah tersebut. Namun sama sekali tidak ingat kapan pernah bertemu dengannya. Ia terlihat sibuk sekali menyeka air mata yang terus menerus mengucur dari balik kacamata hitamnya.

“Maaf Bu, sepertinya kita pernah ketemu…dimana ya? Kalau boleh tahu kenapa Ibu menangis”, tanya saya membuka pembicaraan karena penasaran dengan wanita tersebut. “Maaf Dik, saya nggak kenal Adik. Maaf saya tidak menceritakan mengapa saya menangis. Ini tentang sebuah janji yang tak kutepati dua puluh satu tahun silam” , ujarnya sambil membuka kacamatanya.

Jantungku berdegup kencang usai ia menyebut angka dua puluh satu tahun. Terlebih ketika melihat langsung kedua mata indahnya usai ia membuka kacamatanya. Perlahan kuambil amplop surat terakhir dari Warni untuk Tedjo yang sudah lusuh itu dari saku kemejaku dan mengeluarkan selembar foto yang kuselipkan didalamnya. Foto yang kuambil dari genggaman tangan Tedjo saat ia wafat setahun yang lalu..

Aku seperti tak mempercayai penglihatanku. 
Tak salah lagi. Dialah wanita dalam foto itu.

Setelah mengucapkan kata permisi aku segera menjauh darinya. Perlahan kuremas surat itu berikut foto yang ada didalamnya dan kulemparkan jauh jauh ke tengah danau. Seorang petugas kebersihan memarahiku namun aku tak menghiraukannya. Kutinggalkan gumpalan kertas yang masih mengapung di tengah danau tersebut. Mungkin danau ini yang lebih berhak menyimpannya.

Cukup sudah episode kisah Tedjo dan Lina kusimpan dalam hati. Aku tidak ingin mendengar cerita dari Warni kemana saja ia menghilang selama ini. Pun tidak ingin kubeberkan padanya seluruh peristiwa yang terjadi pada Tedjo dan Lina.

Biarlah cuma aku dan danau ini yang menyimpan seluruh jalinan ceritanya.

Project 10 Cerpen (Sebuah Pengantar)

Gara-garanya habis liat-liat blog orang. Dia punya project yaitu bermonolog selama 30 hari. Tulisannya bagus. Ada juga cerpennya yang sangat bagus gaya penulisannya.

Maka saya juga jadi pengen banget punya project.
10 Cerpen dengan berbagai macam genre mustahil ngga ya??

Biar aja dibilang alur ceritanya nggak beraturan dan metode penulisannya kacau.
Setidak-tidaknya cerpen-cerpenku pasti dimuat dan terbit, meski bukan di koran atau majalah.
Melainkan di blog-ku sendiri.

Pada tahap awal udah ada 2 cerpen nih. Langsung upload dulu ahh..

Masih tersisa 8 cerpen lagi untuk ditulis (fuiihhh....koq banyak amat yaakkkk????)

Sebodo amat lahhh...accomplished jadi ato engga projectnya masih blom pasti (tergantung mood dan kesibukan)..huehehe...

Kalo selesai semuanya ya syukur...
Kalo engga yaaa.....itung-itung udah pernah nyoba.......

Selamat membaca....

Saturday, October 29, 2011

Serunya Body Rafting di Green Canyon

"Anda sudah pernah ke Green Canyon? "
Bila belum, sebaiknya anda luangkan waktu minimal sekali saja seumur hidup.

Bila sudah, pertanyaan saya selanjutnya "Apakah anda melakukan body rafting di tempat tersebut?"

Jika tidak, sebaiknya anda kembali kesana lagi dan melakukan body rafting.

Ya…keindahan Green Canyon tidak hanya berada di obyek wisatanya, namun sudah berawal dari hulu sungai Cijulang. Bukannya sekedar promosi, namun silahkan anda simak cerita saya berikut.


Heaven on earth……..
Itulah yang terbayang di benak saya bila mencoba memutar kembali memori perjalanan body rafting bersama 'Guha Bau' sepanjang sungai Cijulang - Green Canyon.
Kami berangkat malam hari dari kantor (sempat rehat dan kongkow kongkow sejenak di Paskal Hyper Square, Bandung) dan sampai di 'kantor' Guha Bau Body Rafting (terletak di dekat area parkir wisatawan Green Canyon)
pagi-pagi.

Setelah selesai sarapan, kami mulai mengenakan perlengkapan untuk body rafting dari mulai life vest (jaket pelampung), coral shoe (sepatu khusus untuk berjalan di karang), decker dan helmet.
Perjalanan dimulai dengan menggunakan mobil pick up. Kaget juga ngeliat medannya yang naik turun bukit dg kondisi jalan yang tidak beraspal. Rada rada mirip kaya naek jet coaster lahh (cuman yang ini pake mobil).


Akhirnya sampailah di base camp awal Guha Bau. Setelah briefing sejenak, maka perjalanan trekking dimulai.


Jalurnya lumayan menantang dan membuat
beberapa teman sudah kehilangan semangat sebelum sampai di sungai cijulang. Beruntung beberapa bulan terakhir saya rutin bersepeda santai seminggu sekali. Jadi perjalanan trekking kali ini hampir tidak membuat saya terasa capek sama sekali. Oya..di tengah perjalanan si pemandu menunjukkan kami sebuah lubang yang katanya merupakan atap lubang ventilasi dari Gua Kelelawar.

Dari atas sama sekali tidak kelihatan dasarnya. Namun menurut si pemandu kedalamannya sekitar 75 m. Bau cukup menyengat yang keluar dari lubang tersebut katanya berasal kotoran kelelawar.

Sesampai nya di sungai Cijulang, kami berjalan sedikit di tepiannya dan segera mendapati Gua Kelelawar tersebut. Sayangnya gua tersebut belum di exploitasi menjadi tujuan wisata karena katanya didalamnya terdapat tumpukan kotoran kelelawar yang hampir mustahil untuk dibersihkan. Walhasil kami cuma mendapatkan gambarnya dari luar.















Di depan Guha Bau (Goa Kelelawar) inilah body raftingnya sendiri dimulai. Kamipun segera menceburkan diri.

Wow…Airnya yang jernih dan terasa segar di kulit sudah cukup rasanya membayar lelah di perjalanan bermobil (Jakarta-Pangandaran) dan trekking menuju tempat ini. Belum lagi sepanjang perjalanan kami disuguhi pemandangan yang sangat memukau dan memanjakan mata. Masih terbayang rasanya keindahan tebing tebing yang mengapit sungai di kanan kiri kami. Tebing tebing yang dilapisi bermacam jenis vegetasi alami dan juga mengalami proses sedimentasi yang nyata-nyata merupakan hasil pekerjaan alam (baca:Tuhan) setelah melalui proses selama kurun waktu yang cukup lama. Beberapa diantaranya bahkan membentuk spot-spot 'hujan abadi', artinya meneteskan air yang cukup deras secara terus menerus.

Sayangnya kami datang di penghujung kemarau, sehingga debit air sungai statusnya berada di level paling rendah. Hal ini membuat beberapa kali (maaf) pantat kami terantuk batu terutama saat mendekati jeram-jeram kecil.


Serunya, beberapa kali kami harus melompat karena perbedaan ketinggian arus sungai. Ada juga batang pohon besar yang entah disengaja atau tidak teronggok di tengah sungai menjadi salah satu spot untuk melompat.






















Di beberapa tempat yang dangkal kami harus berjalan menyusuri tepian sungai
















Di beberapa spot air tenang merupakan tempat relaksasi yang sempurna. Kami berjajar telentang beriringan dengan ditemani suara alam, karena selain suara dari rombongan kami tidak terdengar suara apa apa selain nyanyian alam. Sekali nampak terlihat seekor monyet bergelantungan di pohon yang tinggi.







Tak terasa setelah kurang lebih 3 jam mengarungi sungai cijulang, kami mulai mendekati obyek wisata Green Canyon. Dan memang ternyata di tempat inilah puncak keindahan tebing-tebingnya. Di salah satu tebingnya (tempatnya cukup tinggi), terdapat air yang memancur cukup deras dari atas. Tidak sederas air terjun, namun lebih mirip seperti hujan lokal. Segera saja saya dan dan salah seorang teman saya memanjat keatas dan mengguyur tubuh kami dengan shower alami tsb. Wuiihhh….suegernyaaaaaaaaa……………….

















Tidak jauh dari spot tsb saya melihat batu payung yang kesohor dari banyak tulisan di blog-2 orang mengenai Green Canyon. Dengan tak sabar saya segera memanjatnya. Ternyata naiknya lumayan sulit, dan saya yakin tidak semua orang berani memanjat ke atas batu tsb. Dengan penuh percaya diri saya memanjatnya untuk melakukan ritual melompat dari atas batu tersebut.
Namun sesampainya di atas batu tersebut nyali saya langsung ciut. Batu berketinggian sekitar 6.5 meter tersebut berbentuk melengkung seperti payung. Rasanya lebih tinggi saat berada di atas ketimbang melihatnya dari bawah. Yang bikin nyali tambah ciut lagi yaitu karena dari atas batu yang melengkung tersebut kita tidak bisa melihat titik dimana kita nantinya akan jatuh tercebur di air. Berhubung rasanya nggak mungkin lagi untuk turun dan ada seorang pelompat sebelum saya bilang "ahh…lompat ahh…cuma sekali seumur hidup.." akhirnya setelah celingak-celinguk (barangkali ada yang jual hormon adrenalin di tempat tsb) saya kuatkan diri untuk melompat. And finally……….JUMPPP!!!…….and ………….byuuuuuuuurrrrrrrrrrrrrrrrrr…….
(Berhubung tidak terdokumentasi, maka gambar lompatan batu payung ini saya ambil dari blog milik orang lain)

Lepas sudah ketegangan setelah badan masuk ke dalam air.

Setelah itu segera saya lepaskan semua peralatan pelindung body rafting saya untuk betul-betul menikmat keindahan ciptaan Allah tsb meskipun akibatnya kaki saya berdarah karena sempat terbentur batu. Berenang di air sungai yang sejuk, jernih berwarna hijau tosca dengan diapit tebing-tebing eksotis merupakan pengalaman yang sulit dilukiskan dengan kata-kata dan hanya bisa dirasakan.
Cewek bule yang baru datang dari arah berlawanan sedang berbicara kepada temannya (yang juga bule) ketika berpapasan dengan saya, "Wooowww…..It's a paradise….."


Special Thanks to :
  • Masyarakat di sekitar sungai Cijulang yang cukup berhasil menjaga keaslian dan keasrian Sungai Cijulang. Semoga keasriannya terus terjaga hingga masa masa y.a.d. Saya berharap anak-anak saya kelak masih bisa menikmati keindahannya.
  • Guha Bau Body Rafting, 'pemilik gua kelelawar' yang mengantar kami melalui jalur/trek khusus terjauh yang tidak ditempuh oleh penyelenggara body rafting yang lain.
  • Teman-Teman se-departemen........"It's a really nice vacation with all of you"

"Let's leave our children a greener-cleaner world"

Wednesday, September 22, 2010

Belajar dari Astri Ivo, Kesombongan Menakar Kadar Keislaman (baca : Keimanan) Orang Lain…Astaghfirullah..

Ramadhan lalu di puncak acara kegiatan Ramadhan di kantor, kami mengundang Astri Ivo, artis penyanyi dan bintang film era 80-90an.  Memutuskan nama beliau sebagai pembicara bukan tanpa kontroversi diantara panitia. Mulai dari budget honor penceramah sampai dengan praduga mengenai isi/materi ceramah dan membandingkan kapasitas keilmuan dengan para Ustad/Ustadzah lain kami bincangkan dalam diskusi email (karena terbatasnya waktu utk sekedar temu rapat).

Misi awalnya mengundang orang beken yaitu mencoba menarik minat karyawan agar hadir lebih awal dan mendengarkan taushiyah di acara bukber di kantor.  Dari kalangan akhwat muncullah nama2 Neno Warisman, Astri Ivo dan Ratih Sanggarwati.  Berhubung Mbak Neno sedang tidak terima order ceramah karena menemani anaknya di Syiria, pilihan saya jatuh ke Astri Ivo.

Singkat cerita tibalah hari-H dimana saat acara buka bersama yang terakhir, kami mengundang 100 anak yatim dari bbrp yayasan.  Karena pengalaman pembicara datang telat di bukber pertama, maka saya berusaha menghadirkan pembicara tepat waktu dengan perkiraan waktu yg cukup ketika menjemput Mb.  Astri.

Di mobil, saya sempat ngobrol dengan Mbak Astri (utk mencairkan suasana bow!), biar Mbak Astri yg cantik nggak tahu kalo saya dag dig dug ngobrol dengan artis…hehe.  Oya waktu berangkat saya sempat sms istri saya, "lg jemput Astri Ivo.  Kira2 cantikan mana sama Mama yach?" (hehe…nggak usah saya beberkan balas membalas sms-ny coz nanti juga pasti ke-sensor habis oleh badan sensor blog).

Dari obrolan tsb saya diberitahu bahwa Mb.  Astri sedang mengaji di sebuah pengajian Salafi di Jakarta Selatan.
Wahhh...betapa terkejutnya saya.  Terbayang betapa dunia keartisan yang dulu digelutinya sangat kontradiktif dengan ajaran2 salafi yang oleh musuh2 Islam disebut sbg fundamentalis.  Luruh sudah rasa under estimate saya terhadap beliau.  Tadinya saya pikir paling2 beliau hanya akan mengekspose pengalamannya mendapatkan hidayah keislaman dan memakai busana muslimah.  Namun yang saya dapati adalah seorang artis yang serius mendalami keislaman.

Sesampainya di kantor ternyata peserta-nyalah yang terlambat.  Karyawan2 datang telat.  Anak2 yatim pun banyak yang telat.  Sayang sekali, karena terbukti bahwa Mb.  Astri sangat interaktif dengan anak2.  Suasana jadi hidup meski anak2 banyak yang tidak bisa bersuara jika ditanya (penyebabnya hampir bisa dipastikan karena rasa kurang percaya diri akibat kondisi ekonomi keluarga).

Dari isi2 taushiyahnya selanjutnya, saya makin ‘tertampar’ mengetahui batapa kaffahnya keislaman Mb.  Astri, yang membuat saya seperti tidak ada apa2nya dibandingkan keislaman dan keimanan beliau.  Yang paling saya ingat adalah nasihatnya untuk tidak meninggalkan sholat sunat rawatib karena Rasulullah SAW yg sudah dijamin masuk surga-pun tidak pernah meninggalkannya.  Duh Mbak Achi, saya seringkali meninggalkannya (shalat sunat rawatib-muakkad) dengan seribu satu macam dalih.



Ya Allah...

Hanya Engkaulah yang Maha Mengetahui kadar Iman dan ketaqwaan seseorang.

Jauhkan aku dari prasangka… Jadikan aku hamba yang tidak merendahkan derajat kekasih2MU.

Karena sejatinya hanya Engkaulah Yang Maha Tahu

*Thanx to Mb.  Achi..

Friday, June 18, 2010

Bumi Cinta

Rating:★★★★
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Habiburrahman El Shirazy

Setelah sukses dengan Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih, kali ini Kang Abik beranjak dari Mesir, negeri yang pernah jadi tempatnya bermukim.

Bumi cinta menceritakan tentang kehidupan Muhammad Ayyas, mahasiswa dari Indonesia yang harus menyelesaikan thesisnya dengan melakukan penelitian di Rusia, negeri yang dulu sangat ditakuti dengan ideologi sosialis komunisnya, yang kini menjelma menjadi negeri yang penuh kebebasan.

Ayyas harus menghadapi sekian banyak ujian sebagai muslim yang taat. Yang paling utama yaitu godaan dari gadis gadis molek Rusia. Diceritakan sejak awal, bagaimana Ayyas yang taat kepada ajaran agama harus berbagi apartemen dengan dua gadis cantik yang menganut faham free sex, yang kemolekan wajah dan tubuhnya sanggup menggoda lelaki manapun.

Ayyas juga berhadapan dengan pembimbing penelitiannya, seorang doctor muda, cantik nan cerdas yang juga menaruh hati padanya dan Ayyas pun menaruh hormat padanya, namun sayangnya mereka berbeda keyakinan.
Konflik lain diciptakan Kang Abik dengan cerita bagaimana pekerjaan sesungguhnya dua teman se-apartemen Ayyas yang molek tersebut. Yang satu ternyata adalah agen Mossad dan yang lainnya adalah pelacur kelas atas di Rusia.

Seperti biasanya, Kang Abik selalu berusaha menceritakan dengan detil keadaan Negara yang menjadi tempat setting cerita. Di Rusia inipun Kang Abik berusaha mendeskripsikan eksotisme negeri beruang merah ini, lengkap dengan cerita2 kekejaman yang dilakukan Stalin dan Lenin, dua diantara pelaku sejarah yang terkenal kebengisannya karena bertanggungjawab menghilangkan jutaan nyawa umat manusia.

Sayangnya ceritanya agak dipaksakan untuk selesai. Menurut saya jumlah halamannya bisa diperbanyak dengan sedikit menyinggung mengenai keluarga Ayyas di tanah air. Juga bagaimana Ayyas membiayai hidupnya, sama sekali tidak disinggung. Satu lagi detil yang diabaikan Kang Abik yaitu proses Ayyas melaksanakan penelitiannya sama sekali tidak disinggung. Malahan Ayyas dijadikan pembicara di seminar dan berakhir dengan talk show di sebuah stasiun televisi.

Penyelesaian konfliknya pun saya rasa kurang tuntas. Mestinya Kang Abik bisa lebih mendramatisir akhir hubungan Ayyas dengan Doktor Anastasia, pembimbingnya. Tentang akhir gadis Mossad yang ternyata adalah putri muslim Palestina juga tidak jelas. Bumbu percintaan yang menjadi nilai jual Ayat-Ayat Cinta dan KCB tidak saya temukan disini.

Bagaimanapun, sebagaimana tujuannya sebagai Novel Pembangun Jiwa novel2 Kang Abik saya rekomendasikan untuk dibaca, termasuk yang satu ini.

Saturday, May 29, 2010

Pelajaran Cinta Dari Ainun-Habibie

“Ainun dilahirkan untuk Habibie”, kata Pak Habibie.  Ahh..tak dinyana, betapa romantisnya mantan presiden kita yang pernah jadi icon orang pintar di Indonesia ini.  Sang Mr.  ‘Crack’ ini (disebut demikian karena konon beliau mampu menghitung keretakan pesawat terbang), tidak hanya sekedar bicara.  Kata kata tersebut diucapkan mengiringi kepergian istri tercintanya, Ainun.

Tak pelak lagi kisah cinta mereka segera menjadi trending topics di twitter.  Bagi saya beliau jauh lebih romantis ketimbang pasangan penyanyi yang di awal pernikahannya melejitkan hits hits duet lagu bertemakan keagungan cinta.  Setidaknya Pak Habibie membuktikan ikrar cinta “Till death do us part”, dibandingkan usia pernikahan pasangan penyanyi tersebut yang mungkin hanya seperempat atau sepertiga usia pernikahan Pak Habibie.

Bu Ainun telah mengorbankan cita-citanya sejak kecil, yakni menjadi Dokter Spesialis Anak, demi mendampingi suami tercintanya kemanapun beliau bertugas.  Pak Habibie membalasnya dengan menjadikan beliau istri tercintanya, setia sampai akhir hayat pejuang kemanusiaan tersebut.

Fenomena kawin cerai di kalangan selebritis agaknya mulai membuat masyarakat jengah.  Kisah cinta Ainun- Habibie terbukti mendapat simpati dari banyak pihak.  Betapa banyak bahtera pasangan pasangan cinta yang kandas di tengah jalan dengan alasan yang sederhana, ‘adanya orang ketiga’.

Tak salah jika kita mengagumi seseorang yang bukan pasangan hidup kita.  Namun hendaknya kekaguman kita tidak membuat kita hanyut dalam cinta terlarang yang berkepanjangan.  Percayalah bahwa urusan jodoh termasuk salah satu yang telah menjadi ketetapanNya.  Betapapun seringnya kita melihat ‘rumput tetangga’ yang lebih hijau, hendaknya jangan sekali-sekali kita mencoba invasi untuk menguasai ataupun mengakuisisinya.
Meminjam bahasa teman saya, “Sudah jadi kavling orang tuh, buat apa juga masih didemenin”.

Untuk alasan yang lebih agamis, beberapa memilih jalur poligami.  Saya bukan orang yang anti poligami, karena memang hal ini dibenarkan secara syar’i.  Namun secara kodrati manusia memiliki kecemburuan dan sifat possessive terhadap orang-orang yang dicintainya.  Ini yang menyebabkan hampir semua kaum hawa (tidak semua, lho!) tidak bersedia dimadu.

Bukankah Rasulullah SAW tetap setia dengan istri tercintanya Khadijah Al Kubro sampai beliau wafat?  Saat itu beliau sudah berumur sekitar 50 tahun, yang berarti usia pernikahan beliau dengan Khadijah sekitar 25 tahun dan beliau tetap setia hingga akhir hayat istri tercintanya tersebut.  Disebutkan dalam riwayat hadits, betapa berdukanya Baginda Rasul dengan kepergian istri tercintanya tersebut yang menjadi salah satu sebab Allah menghiburnya dengan meng- Isra’ Mi’rajkan beliau.

Dua tahun berikutnya beliau baru berpoligami, dengan alasan lebih pada sifat ‘menyantuni’ wanita wanita (janda-janda) ketimbang alasan pemuasan nafsu lahiriah.  Belakangan saya baru dengar dari ustad saya bahwa salah satu hikmah Rasulullah menikahi Aisyah yang usianya sangat muda adalah; Aisyah banyak meriwayatkan hadits-hadits tentang hubungan suami-istri yang didasarkan dari pengalamannya, hidup bersama Rasulullah.  Ini membuat saya berpikir bahwa hal tersebut sudah dipikirkan masak-masak oleh Rasulullah dan bukan mustahil itu merupakan perintah dari Allah.  Siapa lagi yang akan menyampaikan hadits2 tadi, kalau bukan istrinya yang masih muda, dan juga sangat dicintainya tersebut.

Kembali ke Ainun-Habibie, beliau adalah potret keagungan cinta masa kini, yang bukan sekedar teori dalam bentuk indahnya syair, puisi ataupun lagu.  Cinta Pak Habibie terhadap Bu Ainun adalah cinta dalam dalam mahligai perkawinan yang Insya Allah mendapat keridhaan Allah SWT.  Meski tak ada syair-syair puitis seperti puisi cinta Qays sang ‘Majnun’ terhadap Layla.  Meski beliau tak sanggup membangun 1000 candi dalam semalam seperti bukti cinta Bandung Bondowoso terhadap Roro Jonggrang.  Beliau adalah teladan kita yang nyata dalam hal ini.

Saat terjadi prahara dalam rumah tangga seorang sahabat, saya kirimi ia bait-bait lagu “Prahara”,



Harapku….
Jangan dulu berpisah
Kenanglah saat cinta merekah

                                                          
Pintaku….
Jangan dulu menyerah
Sebelum sesal nanti terlambat sudah
                                                         

Semoga kita bisa mencontoh teladan Ainun-Habibie dan diberikan rumah tangga yang awet dalam ridha Allah SWT.

Sebab, bukankah cinta datang untuk menyatukan dua hati yang berbeda?


Jatiwaringin, long weekend (Lagi sok romantis)