Wednesday, January 15, 2014

Real Adventure To Dondolang Coret (Tinalapu) - Bagian Pertama




Trip dengan tujuan awal Pulau Dondolang kali ini sungguh meninggalkan kesan yang sangat dalam buat kami. Pasalnya, kami mendapatkan pelajaran yang sangat berharga dalam trip kali ini. Hal berharga yang tak boleh dilupakan dan harus dijadikan sebagai pegangan dalam merencanakan trip-trip di masa yang akan datang.

Sabtu malam (11/01/14) dengan menggunakan enam mobil penumpang kami meluncur ke Pagimana, daratan terdekat dari pulau yang akan kami kunjungi keesokan harinya, yaitu Pulau Dondolang. Sudah lama saya mendengar nama Pulau Dondolang ini dari website pariwisata Luwuk Banggai dan baru kali ini kami bermaksud mengunjunginya.

Kali ini kami berangkat membawa rombongan yang cukup besar, yaitu sebanyak 36 orang. Jumlah yang cukup banyak untuk sebuah kunjungan ke pulau kecil yang tidak berpenghuni. 

Dari H-1 hingga perjalanan berkendara di darat,  aroma ‘kegagalan’ trip kali ini sebenarnya sudah mulai terasa. Dimulai dengan pemblokiran satu2nya akses jalan utama oleh masyarakat lokal (yang sebenarnya sudah kerap terjadi) dan baru dibuka pada hari-H (siangnya), hingga beberapa masalah yang terjadi dengan mobil2 yang kami pakai seperti : 2 mobil harus mengganti ban di tengah jalan dan mobil yang lain kehilangan penutup tengki bahan bakar (lepas dan terjatuh).

Bagaimanapun, hal2 tsb merupakan suatu hal yg lumrah terjadi. Tidak mungkin jika kami lantas mengurungkan niat nge-trip hanya dengan berasumsikan ‘pertanda’ tsb, karena sepertinya tak terdapat diantara kami  seorang dengan kemampuan “weruh sak durunge winarah” (tahu hal2 yg akan terjadi dimasa yg akan datang). Kemampuan yang hanya mungkin dimiliki oleh segelintir orang dari dua golongan dengan latar belakang yg sangat bertolak belakang yaitu mereka yang sangat dekat dariNya dan yang sangat jauh dariNya.

Lho, koq jadi ngomongin soal supranatural ?

Okehh, kembali ke laptopppppp…!!

Singkat cerita, tengah malam kami tiba di lokasi penginapan langganan kami di Pagimana dan segera beristirahat guna mengumpulkan energi di perjalanan keesokan harinya.

Minggu (12/01/14) saat azan subuh berkumandang, beberapa diantara kami bergegas beranjak ke masjid untuk menunaikan sholat subuh berjamaah.
Hal menarik yang kami jumpai di masjid tsb : Cuma ada satu orang penduduk setempat yang sholat. BeliauIah yang melantunkan azan dan iqomat, sekaligus menjadi imam sholat berjamaah kami. Sekiranya rombongan kami tidak ada, maka titel ybs akan tambah satu lagi, yaitu “MAKMUM” 

Dari obrolan pagi, seorang kawan menginformasikan bahwa ayah seorang teman kami (Meilty) yang tinggal di sekitar Pagimana mengatakan bahwa cuaca sedang tidak bersahabat belakangan ini. Peringatan ini sebenarnya sudah bukan berupa ‘ramalan’ lagi. Namun berdasarkan fakta empiris dari para nelayan setempat yg jerih untuk melaut bbrp hari belakangan ini. Juga fakta bahwa beberapa minggu sebelumnya bupati beserta rombongan gagal bersandar ke Pulau Poat dengan speed boat kecil dikarenakan besarnya terjangan ombak. Fakta yang -dengan cerobohnya- kami abaikan.

Akhirnya, sebelum menginjakkan kaki di dermaga kami sepakat untuk mengkonfirmasinya ke perantara sewa kapal kami, apakah perjalanan menyeberang masih dimungkinkan atau tidak. Saat itu beliau menjawab dengan yakin, “Bisa…saya yg akan tanggungjawab mengenai keamanan dan keselamatan seluruh penumpang”. 

Dan sebelum berangkat, kami berdo'a bersama untuk keselamatan selama dalam perjalanan.

Maka, dengan penuh semangat ‘45, ditemani angkatan ‘66 dan tak ketinggalan pula angkatan reformasi ’98, kamipun segera naik keatas kapal.


Pagimana - Dondolang Tinalapu Yang Mendebarkan

Ombak yang terlihat tenang di pagi hari menjelang saat penyebrangan

Awalnya, tak ada yang istimewa dalam perjalanan di atas kapal menuju Dondolang. Kapal kami melaju pasti membelah samudra.


Kapal yg kami tumpangi kali ini kecepatannya relatif lebih cepat dari yg kami sewa sebelumnya. Banyak diantara kami yang membawa ear-plug untuk mengurangi kebisingan yg ditimbulkan dari mesin kapal.
Kamipun sarapan pagi bersama dengan nasi goreng yang sudah dipersiapkan sebelumnya.

Sebelum terjadinya horor di atas kapal

Beberapa kali perahu kecil (digunakan untuk merapat) yg ditarik di belakang kapal yg kami tumpangi terlepas tali penariknya. Otomatis mesin kapal dimatikan sambil menunggu perahu kecil yg didayung secara manual. Akibat mesin kapal dihentikan maka kapal segera terayun ayun oleh ombak dan membuat perut jadi mual. Setelah diikat kembali maka mesin kapalpun dinyalakan kembali.

Beberapa saat kemudian, saat melaju kencang kapal terasa terombang ambing lagi oleh ombak. Ombak di depan mata yang terlihat bergolak membuat kami mulai saling berpandangan dan menggelengkan kepala. Saya sendiri merasakan mual yg hebat. Seorang teman mulai membagikan obat anti mabok dan anti masuk angin. Saat gejala mual makin meningkat, saya segera menyusul teman yang tidur berbaring melantai di dek kapal yang sempit. Barangkali saat itulah - dengan tanpa permisi-  HP saya meluncur dari kantong dan jatuh ke ruang hampa di bawah dek kapal yang terisi sedikit air. 

Ombak semakin besar dan kapal kami beberapa kali oleng. Kami perkirakan tingginya ombak sekitar dua meteran. Hati saya tambah menciut. Terus terang, kejadian ini adalah yang pertama kalinya dalam petualangan antar pulau yang kami lakukan selama ini. Kapal sederhana kami dimuati 40 orang termasuk awak kapal. Sepuluh orang diantara rombongan kami adalah cewek2. Saat kapal berayun hebat saya mulai membayangkan hal terburuk jika kapal kami tidak kuat menerima hempasan ombak dan terbalik. Hwidiiiyyy….

Rasa mual yang menghebat membuat saya melompat ke pinggiran kapal dan bersiap untuk muntah dan menghibahkan semua sarapan pagi yang sudah masuk ke perut ke Dewa Poseidon atau Nyi Roro Lor (utara)-nya Sulawesi. Ajaibnya begitu saya duduk di pinggiran kapal menghadap ke laut dan bersiap untuk muntah, tiba2  air laut datang menghempas dan menyiram kepala dan separuh tubuh saya.  Akibatnya mual yg saya rasakan berkurang secara drastis dan menyelamatkan saya dari kehilangan muka karena jackpot…hehe..

Diombang ambingkan ombak besar berkelanjutan, sontak membuat saya merasa diri saya ini kecil. Sebuah noktah kecil yg tak ada artinya sama sekali di tengah hamparan samudra luas. Sebutir debu di tengah semesta yang jiwanya ada dalam genggamanNYA

Apalah artinya kemampuan berenang di tengah samudra dengan ombak yang mengganas seperti ini. Dalam benak, saya putar kilas balik beberapa perjalanan antar pulau yang kami lalui dan berlangsung dengan hampir tanpa hambatan yg berarti. Kami terlalu memandang remeh kekuatan alam dan mengabaikan peringatan dari orang tua kali ini.

"Sepandai pandai tupai melompat pasti 'kan jatuh juga"

Entah cocok atau tidak dengan ungkapan peribahasa diatas (kalo ngga cocok ya dicocok-cocokin aja lah..), rupanya inilah antiklimaks dari semangat yang menggebu-gebu dan rasa jumawa kami sebagai petualang penjelajah dan penakhluk pulau2 di sekitar lokasi tempat kami bertugas. 

Ya, kami langsung ‘down’ saat itu juga.

Dengan nyali yg tersisa kami memutuskan untuk membatalkan kunjungan ke Pulau Dondolang dan beralih ke Pulau Tinalapu yang relatif lebih dekat. Kami tak mau menjadi bintang surat kabar di keesokan harinya jika kapal kami terbalik. Terlebih lagi kami membawa tiga orang ekspat dalam rombongan kami. Bakal jadi santapan nyamuk pers, pastinya.

Sayangnya kuatnya gelombang ombak tak kunjung mereda.

Dan perjalanan menuju Pulau Tinalapu ini pun menjadi perjalanan terpanjang dan terlama yang pernah kami rasakan.


Bersambung ke Bagian Kedua










Monday, January 6, 2014

Curhat Soal Kamera



Melulu membuat tulisan berisi catatan perjalanan (traveling) belakangan ini mulai membuat saya jenuh dan hanya merasa menjadi travel blogger. 

Ingin sekali merefleksikan pemikiran dengan membuat tulisan yg lebih serius. Namun semua ide dan gagasan telah terbang. Entah kemana perginya hasrat menulis saya. Project pembuatan cerpen yg pernah saya gagas juga mandeg, hanya dua cerpen yang selesai. 

Hufffhh…betapa sulitnya membangkitkan kembali naluri (bukan bakat loohh..) yang sekian lama terkubur. Bagaimana cara memulainya, yach ? 

Artikel ? Essai ? Puisi ? wuidiiiyyy…kayaknya udah ngga sanggup lagi.
Coba cerita tentang kamera dehhh…(ini bukan berarti saya mengerti tentang kamera)

Baru sekitar 1,5 – 2 tahun belakangan ini (saya lupa persisnya) saya tertarik dengan kamera yang lebih serius. Sebelumnya saya tidak pernah peduli dengan kualitas foto yang dihasilkan sebuah kamera. 

Di awal era kamera digital dengan kualitas megapixel, saya membeli sebuah kamera saku bermerk Polaroid. Kalau tidak salah dulu harganya 1,6 jutaan (cukup mahal juga pada waktu itu). Cukup lama juga kamera tsb saya pakai dan sudah cukup banyak jasanya dalam mendokumentasikan perjalanan hidup keluarga kami hingga akhirnya saya nyatakan almarhum sekembalinya dipinjam oleh adik ipar saya untuk berbulan madu.

Setelah itu saya coba beli kamera saku digital yang murah, berharga sekitar 800 ribuan. Saat itu saya masih cuek aja dengan hasil foto2 yg saya buat. 

Kemudian datanglah booming  kamera DSLR. Harga DSLR low-end yang terjangkau membuat orang berbondong bondong membelinya. Entah sekedar gaya2 an atau menjurus ke serius, nyatanya melihat orang kemana mana menenteng DSLR mulai menjadi suatu hal yang lumrah.

Awalnya saya meminjam CANON EOS 600 D  lensa kit II 55-135mm milik kakak ipar saya dengan maksud ingin belajar menggunakan kamera DSLR. Trip ke Sawarna, 4 pulau di Kepulauan Seribu,  Gunung Pancar dan Kota Tua adalah pengalaman awal saya bersentuhan dengan DSLR (lihat foto2 di postingan tentang trip ke tempat2 tsb).

Saat itu pula saya mulai mencari2 referensi mengenai teknik2 dalam photography. Senior di kantor juga sempat memberi workshop kilat mengenai Aperture, Shutter Speed, DOF dan Komposisi. Sedikit pengetahuan mengenai cara2 pengaturan kamera ini coba saya terapkan secara trial n error dalam beberapa kali ‘hunting’.

Saat akan mengadakan perjalanan ke Dieng, tiba2 saya ingin punya DSLR sendiri. Malam sebelum keberangkatan ke Dieng, saya coba memboyong Canon EOS 600 D yg sudah cukup familiar buat saya. Saya membelinya dalam keadaan bekas pakai, namun kondisinya masih seperti baru. Kondisi budget saya pada waktu tsb membuat saya memutuskan membeli lensa murah meriah Canon EF 50 mm f 1.8. Sebuah keputusan bodoh yang baru saya sadari dalam aksi jeprat-jepret di Dieng.

Memangnya kenapa ?
Lensa 50 mm ini hanya Ok untuk dipakai foto portrait (meskipun saya rasa hasilnya masih kurang tajam). Efek bokehnya juga juga Ok dengan bukaannya yang lebar. Namun hobi traveling saya membutuhkan lensa dengan focal length yang lebih lebar untuk mendapatkan foto landscape ataupun bergaya narsis dengan background landscape. Lensa ini membuat saya mati gaya karena rasanya seperti memakai kacamata kuda.

Banyaknya keperluan membuat saya menunda-nunda membeli lensa yg lebih lebar hingga akhirnya saya ditugaskan ke Sulawesi. Dalam banyak trip, kamera tsb setia menemani perjalanan saya ngebolang di bumi celebes ini. Hingga pada suatu titik saya merasa DSLR terlalu berat dan sangat ribet untuk teman ngebolang. Apalagi fokus kami saat ini adalah eksplorasi alam bawah laut dan saya mulai memikirkan untuk membeli snorkel set sendiri. Otomatis barang bawaan saya bakal semakin berat.

Saat cuti terakhir, saya putuskan untuk ‘menceraikan’ kamera tersebut (sebetulnya dikarenakan lagi BU juga…hehe..). Akhirnya sekarang saya nggak punya kamera yg ‘serius’ lagi deh…(hikkss..hikss..)

Saat ini (sembari ngumpulin budget) saya sedang menimbang nimbang kamera yg akan saya pinang selanjutnya. 

Ini daftar incarannya :


1. Sony alpha Nex-6 or (at least) Sony alpha Nex-5N


Keduanya masuk kategori mirrorless interchangeable. Ya! Karena saya merasa DSLR terlalu berat, maka saya ingin kamera yg lebih ringan dengan kualitas yg tidak kalah dengan DSLR. Mirrorless-lah jawabannya. Dan dari hasil membaca beberapa review, saya tertarik dengan dua kamera diatas.





2. Sony RX 100 Mark II
 
Ganti alirannya koq terlalu ekstrim ? Dari DSLR ke kamera saku (compaq/prosumer).
Saya membayangkan betapa praktisnya bepergian dengan kamera yg bisa dimasukkan ke dalam kantong. Apalagi nanti kalau pergi haji, kamera ini bakal lebih aman untuk mendekati ka’bah. Ngga terlalu khawatir dirampas ‘asykar’. Tinggal beli tripod kecil, bisa narsis sama istri di bumi rasulullah :)
Bagaimana dengan kualitas gambar ? Kamera saku dengan sensor 1 inch (terbesar di kelasnya) ini cukup mumpuni koq. Lihat saja lensa premium Carl Zeiss yg disematkan di kamera ini. Bukaannya pun lebar sehingga cukup bisa diandalkan untuk memotret dalam kondisi kurang cahaya (low light). Barangkali ini yg membuat harga barunya melebihi DSLR pemula.

Saya suka Sony pada detail warnanya dan fitur panoramanya (nggak perlu software photo stitcher lagi). 


3. Olympus Stylus (Tough) TG-2

Ini dia kamera yang cocok untuk traveler sejati. Bisa dibawa nyilem sampai 15 meter, punya fitur GPS, tahan jatuh dari ketinggian 2 meter, tahan di suhu yang ekstrim dan ditindih bobot seberat 100 kg (wow). Yang jelas, hasil foto2 bawah laut seorang teman yg menggunakan kamera ini membuat saya ngeces. Setelah saya baca lagi reviewnya, ternyata kamera ini punya fitur canggih microscopic yang sangat membantu kita dalam membuat foto2 makro karena konon mampu memperbesar detail yg tidak terlihat dengan mata telanjang. Bukaannya pun cukup lebar untuk bisa memotret dalam kondisi low light.
Hasil foto2 teman saya tersebut menyadarkan saya bahwa kamera kompak pun bisa membuat foto2 yang enak dilihat, meskipun harus melalui proses editing juga (bukankah fotografi itu 50% nya adalah editing?).
Dalam dua trip terakhir, saya meminjam kamera underwater punya Bos. Ternyata asyik juga moto keindahan bawah laut meskipun tingkat kesulitannya tinggi.
Saya rasa kamera ini sudah bisa memenuhi kebutuhan saya. Bisa dipakai menyelam, tahan banting, ringan dan kompak namun tidak terlalu mengorbankan kualitas.
Kemana mana menenteng kamera ini masih cukup nyaman tanpa berkesan sebagai fotografer profesional. DSLR ataupun mirrorless menurut saya berpotensi membuat obyek yg kita ambil secara diam2 (candid) merasa terintimidasi.


4. Canon EOS 60 D (DSLR menengah)












Lho, koq balik lagi ke DSLR?
Kata istri saya, lebih gaya kalo make DSLR :)

Dah ahhh…mau bobo dulu.
Siapa tahu mimpi bisa ngeboyong keempat-empatnya :P



Desa Uso, malam kelima di tahun 2014




Wednesday, December 18, 2013

Pulau Anonim (Boba ?) - Dekat Pulau Puah a.k.a Poat - Emang Juara !!



AWASSS....ARTIKEL & GAMBAR-2 DI BAWAH INI MENGANDUNG RATJOEN !!


Lecet-lecet karena terkena karang, saya sudah biasa mengalaminya. Namun eksplorasi keindahan bawah laut Sulawesi yang kali ini betul-betul membuat saya babak belur. Sekujur kaki dan tangan lecet-lecet terkena karang. Untungnya, apa yang saya dapat trip kali ini sangatlah sepadan dan 'worthed banget' (istilah sok Inggris yang dipaksakan utk di-Indonesiakan :p).

Sebetulnya saya pribadi sudah penasaran dengan Pulau yang bernama Poat a.k.a Puah ini sejak sebelum trip ke Tinalapu. Seorang diver pernah kasih ulasan singkat tentang keindahan bawah laut pulau ini di situs yg memetakan dive sites di sekitar Kepulauan Togean dan Kepulauan Banggai. Namun mengingat jaraknya yang lumayan jauh, Dewan Syuro ‘Nyilem Kleb’ memutuskan mengunjungi Tinalapu terlebih dahulu di trip sebelumnya.


Route perjalanan kali ini
Dan akhirnya, setelah dua minggu sebelumnya batal ke Poat karena ada pemblokiran jalan dan mengalihkan trip ke Pulau Banyak, Sasumpuan dan Tikus di Kepulauan Banggai, perjalanan ke Pulau Poat bisa terlaksana juga akhir pekan kemarin. Meski nggak betul betul menginjakkan kaki ke Pulau Poat, paling tidak jarak dari pulau yang kami singgahi ke Pulau Poat tinggal selemparan kolor -lah (yang ngelempar minimal sekelas Hulk atau Sri Kresna saat sedang ber- triwikrama…hehe..).

Setelah menginap semalam di Pagimana, pagi harinya jam 06.15 kapal perahu kami sudah angkat sauh menuju Pulau Poat. Untuk menghemat waktu, sarapan nasi goreng kami lakukan di atas kapal. Singkat cerita, sekira 2 jam telinga terpapar polusi suara akibat suara mesin kapal kayu yang meraung raung dan bikin suara serak juga karena harus selalu teriak ketika harus ngomong dengan orang lain, akhirnya kapal kami mendekat ke Pulau Poat. (Ingat : next trip kudu bawa ear-plug !!)

Para Manusia Perahu - Photo by Yulian DK & Yuto Hori
 
Sebelumnya kami mendapat info bahwa Pulau Poat merupakan pulau yang berpenghuni. Terdapat sedikitnya empat desa di pulau tersebut. Menurut pengalaman kami, di pulau berpenghuni biasanya keindahan bawah lautnya kurang terjaga. Oleh sebab itu, melihat beberapa pulau kecil cantik di sekitar Pulau Poat lebih membuat kami tertarik dan segera melabuhkan kapal di sebuah pulau yang awalnya kami tidak tahu namanya. Belakangan makelar kapal kami, Pak Nurlan (dengan ragu) mengatakan  bahwa pulau tersebut bernama Pulau Boba.

Terlepas benar tidaknya nama tsb, yang jelas pulau ini sudah membuat saya jatuh hati dan timbul hasrat untuk membelinya (loe kate kayak cukong-2 kita yg mampu dan demen beli pulau?).

Pulau Boba, berlatar belakang Pulau Poat - Photo by Khoirul
Pertama kali melompat terjun dari kapal dan langsung menyelam, first impression-nya “ruarrrr… biasa….”. Mata yang sehari-hari kebanyakan dipakai cuma buat melototin benda persegi empat bernama layar monitor komputer ini secara spontan termanjakan oleh hamparan terumbu karang di area palung eksotik dengan kualitas air yang -meminjam istilah bos saya- extra ordinary !


Photo by Khoirul

Pokoke Te-O-Pe   Be-Ge-Te, deh.

Eiittss...sebelum kita lanjut,  iklan dulu yaaa......

Me & Nyilemers in Action - Photo by Yulian DK & Yuto Hori

Yang potonya ngga kepajang disini jangan ngiri yeee...(sono...bikin blog sendiri...hehe... )


Photo by Yulian DK
Yang warna kuning Octopus-kah ? - Photo by Yulian DK

Sejauh pengalaman saya menikmati keindahan bawah laut di Pulau Jawa dan Sulawesi, harus saya akui bahwa ini adalah pemandangan bawah laut terbaik yang pernah saya lihat.

Nemo Carnival - Photo by Yuto Hori & Andi E. Wibowo



Hamparan terumbu karang  selebar gambar di samping ini konon hanya mungkin tumbuh di tempat yang kualitas air lautnya sangat bagus.

































So colorful, meski sebagian diantaranya beracun - Photo by Yulian DK


Seekor ikan yang saya duga termasuk keluarga Puffer Fish alias Ikan Buntal saya kejar-kejar untuk saya foto, meski saya tahu ikan tersebut termasuk kategori ikan beracun. Habis lucu sih, perutnya buntal dan mukanya belang kaya guk-guk.


Penampakan Puffer Fish yang saya kejar-kejar - Photo by Khoirul



















Sayangnya belum puas kami berenang dan bersnorkel, arus kuat segera datang. Mempertimbangkan unsur safety, terpaksa kami segera minggir ke pantai. Saat itulah bencana itu bermula sekaligus mencapai klimaksnya. Ketika bermaksud menepi dan sedang berjalan di bagian yang dangkal, beberapa kali saya roboh terhempas kuatnya arus dan dengan sukses menimpa terumbu2 karang yang sudah mati dan mengeras itu (wadawww…... !!)


Ternyata setelah minggir dan berendam di pantai ada kegiatan lain yang nggak kalah serunya. Ombak2 kecil yang tiba2 datang seiring arus yang tiba2 kencang menghempas kami yang tidur2an di pasir  dengan separuh badan terendam di dalam air. Ssssstttttt…..ada yg bilang lohhh…kalo suasananya kayak kolam ombak di Dufan……(Atlantis kaleee……qiqiqi…)

Lupa sama kerjaan, what a beautiful life ! - Photo by Yuto Hori


Setelah ritual wajib masak indomie dan memakannya bersama-sama, akhirnya kami harus segera pulang. Oya, kapal kami yang berukuran cukup besar memang tidak bisa bersandar. Untungnya hal ini sudah mereka antisipasi dan sebauh perahu kecil sudah dipersiapkan dan ditarik di belakang kapal sepanjang perjalanan. Perahu kecil inilah yang mengangkut kami berikut seperangkat peralatan lenong dari perahu ke pantai dan juga sebaliknya ketika akan pulang.

Proses Transfer - Photo by Khoirul

Saat akan kembali ke kapal terjadilah insiden yang menimpa seorang teman kami,  Yadi. 2 ekor HaPe dan 1 power bank-nya ‘nyemplung’ dan esoknya diumumkan RIP  gara-2 ngambek sebelumnya nggak diajak snorkeling (update : HP yg satunya berhasil diselamatkan). Seinget saya udah tiga kali kejadian HaPe ikutan nyilem kayak gini. Pertama Si Arya, trus Pak Romz, trus kali ini giliran Si Yadi. Barangkali perlu juga beli dry-bag, yach ?

Saat perjalanan kembali ke Pagimana, sekawanan lumba lumba melengkapi tour kami dengan menari mengiringi kapal kami. Suatu hal yang sering saya bayangkan akan saya temui di petualangan dari pulau ke pulau, akhirnya bisa saya dapatkan. Kamera yang menggantung di leher segera saya setel ke mode video. Sayangnya saya belum familiar dengan kamera pinjeman dari bos ini. Menunya bahasa Jepun pula, sehingga modenya berpindah-pindah dari mode rekam-pindah ke photo (takut videonya ngga jalan)-video lagi.

Lumba Lumba di Perjalanan Boba-Pagimana - Photo by Khoirul & Yuto Hori

So, momen langka yang sangat singkat tsb tidak komplit saya nikmati karena sibuk dengan settingan kamera. Tapi lumayan lah, tarian lumba-lumbanya sempat kami rekam meskipun tidak komplit dan seindah video tarian lumba-lumba di Raja Ampatnya Farid Gaban di 'Expedisi Khatulistiwa' yang keren abisss.



Dancing Dolphins



Ini gambar-gambar para 'penguasa' pesisir Pagimana yang saya ambil secara iseng sambil ngantri giliran mandi di Restoran Ester.

Preman-Preman Pagimana






















Paling kiri (celana putih) kayaknya "The Next Spiderman"
setelah Tobey Maguire dan Andrew Garfield - Photo by Khoirul






Tuesday, November 26, 2013

TANGGA SERATUS

Sebagai selingan diantara cerita petualangan dari pulau ke pulau, kali ini saya posting cerita mengenai Tangga Seratus, satu diantara beberapa spot menarik di Luwuk yang terabaikan.

Pertama saya tahu mengenai tempat ini yaitu dari artikel yang ditulis di blog milik seseorang. Secara kayaknya hampir seluruh spot menarik di Luwuk telah habis saya kunjungi, di suatu hari yang cerah kami coba jelajahi seperti apakah Tangga Seratus ini.

Lokasi Tangga Seratus yaitu di seberang RSUD Luwuk. Kalo ada yang nanya, "dimanakah lokasi RSUD Luwuk itu ?" Silahkan tanya aja ke orang2 yang kalian temui di Luwuk, coz Rumah Sakit itu adalah satu2nya yang terdapat di kota Luwuk.

Dari pengalaman selama menjelajahi kota Luwuk dan sekitarnya, lokasi-lokasi wisata hampir semuanya tidak ada penunjuk jalannya. Maka sesampainya di seberang RSUD Luwuk saya coba tanya ke penduduk sekitar. Kebetulan ada dua anak kecil yang sedang sedang bermain di pinggir jalan. Dengan bersemangat kedua anak ini menunjukkan lokasi sekaligus mengantarkan kami menuruni anak tangga di Tangga Seratus tersebut.

Lalu mulailah kami menuruni anak tangga diantara semak belukar yang kemiringannya lumayan curam tersebut. Tangga tangga yang terbuat dari beton tersebut tidak memiliki pegangan/hand-rail. So, buat yang mau coba kesana hati hati yaaa...apalagi kalo musim hujan. Lagipula di beberapa tempat tangganya ada yang hancur karena longsor.

Bagi yang memiliki penyakit asma, epilepsi, lemah jantung dan lemah syahwat (apa hubungannya, coba?) sangat tidak saya sarankan menuruni anak tangga ini.

Capek juga nurunin anak tangganya. Apalagi pas naiknya, ngos-ngosan pastinya..
Lumayan juga pas nurunin anak tangganya. Bikin ragu2, "Gimana nanti pas naiknya ya ?" Mengingat udah kepalang tanggung, mau nggak mau ya kudu diteruskan...hehe..

Dan atas perjuangan dan pergerakan rakyat Indonesia, telah sampailah kepada saat yang berbahagia, dengan selamat sentosa, mengantarkan para bolang ini kepada akhir dari anak tangga 'Tangga Seratus'. Ngosh...ngoshhh...Finally...............

Sempat juga timbul pertanyaan, "Apakah jumlah anak tangganya hingga kebawah benar2 seratus ?" Wah..maap ngga sempat ngitung coz ngatur napas aja udah mpot-mpotan :) 

Dengan tanpa persiapan adventure dan hanya bermodalkan  HaPe buat sekedar jepret2-an, berikut gambar2 yang sempat kami ambil di Tangga Seratus.

Kalo ada yg mau kesana, tolong itungin, apakah jumlah anak tangganya betul2 seratus ?


Sampai di bawah ternyata bagus juga viewnya


Adaptasi gaya narsis taon '90-an yang masih laku sampe sekarang :P


Lumayan kaaan ? (modelnya, maksudnya..hehe..)